Oleh: Ruslan Ismail Mage*

“Mulut itu pada dasarnya kebun binatang. Berilah makan adab dan minuman akhlak sebelum dibuka. Sekali ucapan lepas, susah lagi dikendalikan.”

Kalimat ini layak menjadi pengingat nasional, terlebih di tengah kekacauan etika komunikasi pejabat publik yang kian sering terjadi. Ini bukan sekadar perihal tutur kata, melainkan tentang tanggung jawab moral seorang pejabat yang suaranya mewakili wajah negara.

Beberapa waktu lalu, dunia jurnalistik Indonesia kembali diguncang. Koran Tempo, salah satu tonggak penting pers nasional, menerima teror bertubi-tubi. Mulai dari paket berisi kepala babi tanpa telinga, kiriman enam ekor tikus mati yang dikebiri, hingga aksi doxing terhadap jurnalis muda Francisca Christy Rosana, yang dikenal kritis dan konsisten mengangkat isu-isu strategis politik dalam siniar Bocor Alus.

Tentu kita sadar, ini bukan hanya teror terhadap institusi media, tetapi bentuk kekerasan simbolik terhadap kebebasan berpendapat. Dan lebih jauh lagi, sebuah ancaman serius terhadap demokrasi. Seketika ruang redaksi murung, ruang publik memanas. Pers meradang, netizen berduyun-duyun menyuarakan pembelaan: #KamiBersamaTempo. Dalam sorak sunyi itu, publik tahu bahwa bila suara pers dibungkam, maka demokrasi hanya tinggal plakat kosong di dinding museum sejarah.

Namun, di tengah simpati yang melimpah, sebuah pernyataan dari Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan Hasan Nasbi justru menyulut kemarahan moral. Dalam nada bercanda yang jauh dari jenaka, ia menyarankan, “Sebaiknya kepala babi itu dimasak saja.” Selesai. Sebaris kalimat itu mewakili sejuta kerusakan pada komunikasi publik pemerintahan.

Pernyataan itu tidak hanya menghina logika, tetapi juga menusuk akal sehat. Ia meremehkan luka simbolik yang sangat dalam. Apa pun motif dan alasannya, ucapan tersebut bukan hanya tak pantas—tetapi memalukan. Komunikasi pejabat publik adalah jantung dari kepercayaan publik. Sekali tergelincir, bukan hanya dirinya yang dipertaruhkan, tetapi juga institusi yang diwakilinya. Di sinilah kita kembali pada pertanyaan fundamental: apakah ia komunikator, atau justru komunikakotor?

Setiap pejabat publik, terlebih yang menangani komunikasi presiden, harus sadar bahwa dirinya bukan individu semata. Ia adalah perpanjangan tangan institusi negara. Setiap gestur, setiap diksi, setiap jeda dalam kalimatnya, adalah representasi dari sikap resmi pemerintah. Dalam tataran ini, kecerdasan intelektual saja tak cukup. Gelar akademik sehebat apa pun tak menjamin kematangan moral. Justru yang utama adalah adab, empati, dan kepekaan nurani dalam bersuara.

Inilah barangkali akar masalah utama yang kerap terjadi dalam lingkaran kuasa: keberlimpahan kecerdasan, tapi kelangkaan kehalusan budi. Ketika posisi lebih cepat diraih daripada kedewasaan berpikir. Ketika lidah lebih tajam dari logika. Dan ketika pejabat publik tidak menyadari bahwa, dalam sistem demokrasi, kata-katanya adalah suara negara.

Seorang juru bicara, seharusnya bicara. Tapi bicara yang jernih, lugas, dan menjaga muruah jabatan. Bila narasinya liar, penuh olok-olok, dan mengabaikan sensitivitas publik, maka publik punya hak bertanya: masihkah pantas ia disebut komunikator?

Kita sedang berada di zaman ketika kepercayaan publik terhadap negara dipertaruhkan dalam setiap kalimat. Demokrasi bisa tumbuh subur bila komunikasi publik sehat dan beretika. Tapi jika yang terjadi justru sebaliknya—komunikasi dijadikan alat pembenaran, bukan pencerdas nalar publik—maka negara ini tak lebih dari panggung sandiwara buruk.

Karena itu, kembali pada pertanyaan awal tulisan ini: Komunikator atau KomunikaKOtor?

*Penulis adalah akademisi dan penulis buku-buku motivasi dan kepemimpinan.

(Visited 56 times, 3 visits today)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.