Wahai warga Internet Citizen (Netizen) budiman yang berkomentar positif. Tetaplah konsisten berkomentar positif, jangan plin-plan apalagi munafik.
Sebab komentar positifmu menjadi imun bagi maling kelas teri yang beraksi ketangkap basah warga, lalu dimassa.
Komentar seperti kasihan malingnya buka saja pintunya, lepas ikatannya biar dia bisa pulang ke rumahnya, dia seorang ayah yang mencari nafkah buat anak-anak dan istri, adalah hal positif.
“Jangan dipukuli bisa-bisa mati malingnya. Jangan main hakim sendiri, kasih saja dia uang,” kata netizen budiman tadi.
Nah, ketika netizen budiman yang berkomentar positif tadi rumahnya disamperin maling, giliran dia jadi provokator “bakar malingnya”, sadis!.
Cerita diatas tadi menguji konsistensi netizen berkomentar di media sosial yang lumrah terjadi di masyarakat netizen atau warganet, terutama di era media sosial, di mana empati bisa berubah menjadi emosi massa dalam sekejap tergantung siapa yang terkena dampaknya.
Netizen budiman yang awalnya terkesan bijak dan penuh empati, menyerukan kebaikan, belas kasih dan menentang kekerasan terhadap bromocorah. Tapi ketika giliran dia sendiri menjadi korban, responsnya justru bertolak belakang dari komentarnya. Mendadak bengis, hilang rasa empatinya.
Banyak orang mudah bersikap adil dan berbelas kasih… selama mereka tidak menjadi korban. Tapi ketika realita menyentuh langsung kehidupan mereka, idealisme bisa runtuh dan tergantikan oleh naluri balas dendam.
Kadang empati yang ditunjukkan di media sosial bukanlah empati sejati, tapi lebih kepada pencitraan atau tren.
Dari “rasa kasihan” sampai umpatan “bakar!”, hal ini memantik reaksi massa berubah dengan cepat dan tidak rasional.
Komentar netizen di media sosial seringkali tidak mencerminkan sikap aslinya. Mudah bicara di hadapan publik, tapi sulit bersikap konsisten saat dirinya jadi korban oleh keadaan nyata.
Bukankah, plintat plintut itu tidak konsisten, tidak tegas dalam mengambil keputusan, mudah berubah-ubah berkomentar.
Sedangkan orang munafik itu berpura-pura baik, tetapi menyembunyikan niat jahat; mengatakan atau menampilkan sesuatu yang bertolak belakang dengan isi hati atau niat sebenarnya.
Orang munafik bisa saja bersikap plin-plan untuk menutupi niatnya. Tapi tidak semua orang plin-plan itu munafik, bisa jadi mereka hanya bingung, kurang berani, atau tidak tegas
Ini merupakan sindiran sosial yang tajam dan penting untuk direnungkan bersama, apakah kita benar-benar peduli dan konsisten dalam menilai perbuatan negatif seseorang? Atau hanya terlihat baik di media sosial, sebelum merasakan menderita menjadi korban?.