Oleh: Tammasse Balla
Ada tiga sumpah sakral yang pernah diucapkan anak-anak muda negeri ini, 28 Oktober 1928, hampir seabad lalu. Pertama, bertumpah darah satu, tanah air Indonesia. Kedua, berbangsa satu, bangsa Indonesia. Ketiga, menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia. Tiga kalimat sederhana, tapi mampu mengguncang langit penjajahan, menyatukan ribuan pulau yang sebelumnya hanya saling menatap dari jauh.
Hari ini, generasi yang disebut Gen Z berdiri di persimpangan sejarah. Mereka lahir pada era layar dan sinyal, zaman ketika batas negeri seakan cair, dan dunia tak lagi selebar daun kelor, tapi selebar layar ponsel. Namun, di tengah banjir informasi dan derasnya budaya global, tiga sumpah itu masih tetap menunggu untuk dihidupkan terus—bukan sekadar dihafal, tapi dirasakan.
Wahai anak muda zaman digital, dulu para pemuda berjuang dengan darah dan peluh. Mereka tidak punya Wi-Fi, tapi punya semangat yang tak pernah “offline”. Mereka tidak sibuk membuat konten, tapi hidup mereka sendiri adalah konten perjuangan. Sekarang, kalianlah yang memegang obor itu. Pertanyaannya: apakah nyala obor itu akan menerangi masa depan, atau padam di tangan yang sibuk menggenggam gawai?
Sumpah Pemuda bukan sekadar sejarah. Ia adalah perjanjian batin antara masa lalu dan masa depan. Ia adalah kompas moral agar kita tidak tersesat di tengah jalan modernitas. Ketika banyak bangsa kehilangan jati diri karena silau oleh dunia luar, sumpah itu adalah jangkar yang meneguhkan: kita satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa.
Namun, menjadi Indonesia hari ini bukan perkara mudah. Musuhnya bukan lagi penjajahan berseragam, melainkan penjajahan yang berwujud gaya hidup, hoaks, dan sikap acuh. Jika dulu kita berperang dengan senjata, kini kita berperang melawan kebodohan dan kemalasan berpikir. Di sinilah Sumpah Pemuda Gen Z diuji: apakah kalian cukup berani berpikir jernih di tengah kabut digital yang serimgkali menyesatkan?
Bahasa Indonesia kini berkelana ke dunia maya, menari di media sosial, serimg sopan, sering terluka. Di situlah perjuangan baru dimulai: menjaga bahasa agar tetap santun di ruang yang bebas, menjaga makna agar tak tenggelam di balik emoji dan kata singkat. Karena bahasa bukan sekadar alat bicara—ia adalah jiwa bangsa.
Gen Z, kalian hidup di zaman yang luar biasa. Dunia membuka diri untukmu, ilmu bisa kalian genggam tanpa batas. Jangan pernah lupa, kebesaran sejati bukan datang dari kecepatan jari mengetik, melainkan dari kedalaman hati memahami makna hidup. Jadilah pemuda yang tidak hanya melek digital, tapi juga melek nurani.
Sumpah Pemuda Gen Z bukan sekadar pengulangan dari tahun 1928. Ia harus menjadi kesadaran baru: bahwa mencintai Indonesia berarti merawat perbedaan, memeluk keberagaman tanpa merasa paling benar. Di tengah kebisingan dunia, jadilah suara yang menenangkan. Di tengah gelapnya zaman, jadilah cahaya kecil yang tak pernah padam.
Pada.suatu masa, ketika kalian menatap layar ponsel di tengah malam sunyi, ingatlah bahwa jari-jari kalian sedang menulis sejarah baru bangsa ini. Gunakanlah teknologi bukan untuk memecah, tapi untuk menyatukan. Gunakan kecerdasan bukan untuk sombong, tapi untuk menolong. Pada akhirnya, Sumpah Pemuda itu bukan hanya warisan—ia adalah panggilan hati agar kita semua tetap setia kepada Indonesia, di dunia nyata maupun di dunia maya.
Doa untuk Pemuda Indonesia
Ya Allah, Tuhan yang menanamkan semangat pada hati para pemuda 1928, tiupkanlah kembali ruh itu ke dada anak-anak zaman ini. Jadikanlah jari mereka bukan sekadar alat mengetik, tapi alat menebar kebaikan. Jadikan pikiran mereka bukan sekadar cerdas, tapi juga ikhlas. Tanamkan cinta pada tanah air, bukan hanya lisan, tapi juga pada tindakan. Bila kelak mereka berdiri di panggung sejarah, jadikanlah mereka generasi yang tidak hanya bangga berkata “Aku Indonesia,” tapi juga siap berbuat agar Indonesia selalu bermartabat di bawah cahaya-Mu.
Segovia-Spanyol, 28 Oktober 2025
Pk. 11.57 Waktu Segovia, Spanyol
