Semakin meragukan dan tidak pasti merupakan kekerasan instrumen telah menjadi dalam hubungan internasional, semakin ia telah mendapatkan reputasi dan daya tarik dalam urusan dalam negeri, khususnya dalam hal revolusi. .

Hannah Arendt


Prolog.

Hannah Arendt adalah seorang teoretikus politik Jerman. Ia sering kali digambarkan seagai seorang filsuf, meskipun ia selalu menolak predikat itu dengan alasan bahwa filsafat berurusan dengan “manusia dalam pengertian singular.

wikipidi


Salah satu sebab yang membuat saya ingin berdayakan pemikiran pemikiran Hannah Arendt, adalah Arendt jelas salah satu di antara bintang-bintang intelektual paling gemilang abad 20. Dengan menulis buku berjudul The Human Condition dan Eichmann in Jerusalem, dia membabar filsafatnya dengan memusatkan perhatian pada kisah dan refleksi pribadi yang disemangati oleh kehidupan pribadinya yang luar biasa. dengan menukik ke politik dan kebebasan. Namun dalam utas ini saya bahas terlebih dahulu buah pemikiran Hannah Arendt tentang politik dan Kebebasan selanjutnya, Human Condition. (Sudirman, sosiologi politik : 2019).

A. Arendt: Politik & Kebebasan

Untuk bebas di usia seperti kita, kita harus berada dalam posisi otoritas. Hal itu sendiri akan cukup untuk membuat saya ambisius

Hannah Arendt

Hannah Arendt lahir di Linden, Hannover, pada 14 Oktober 1906 dan meninggal di New York City, pada 14 Desember 1975, dalam usia 69 tahun. Hannah Arendt seringkali digambarkan sebagai seorang filsuf meskipun ia selalu menolak predikat itu dengan alasan bahwa filsafat berurusan dengan “manusia dalam pengertian singular.”Rahmad Tri Hadi (2020).

Hannah Arendt, menyebut dirinya sebagai seorang teoretikus politik di mana hal itu dibuktikan dengan tulisan-tulisannya yang berpusat pada pengukuhan konsepsi tentang kebebasan yang sinonim dengan aksi politik kolektif.

Hannah Arendt menyusun teorinya tentang kemerdekaan yang bersifat publik dan asosiatif dengan mengambil contoh dari polis Yunani, kota-kota Amerika, komune Paris, dan gerakan hak-hak sipil pada tahun 1960-an untuk menggambarkan konsepsi tentang kemerdekaan. Pandangan Hannah Arendt, konsep politik tidak terlepas dari unsur penting, yaitu kewarganegaraan, ruang publik, dan tindakan di mana ketiganya saling berhubungan (Bagus, dkk., 2008: 6).

Bagi Hannah Arendt, membicarakan kewarganegaraan dan ruang publik tanpa mendasarkannya pada teori tindakan adalah sesuatu yang tidak mungkin. Konsep kewarganegaraan didasarkan pada antropologi khas Arendt yang memandang manusia dalam tiga dimensi vita activa-nya, yaitu kerja (labor), karya (work), tindakan (action).

Dari ketiganya, yang mengekspresikan dan mengkonstitusikan dimensi politik manusia adalah tindakan (Arendt, 1998: 23).

Politik bukanlah bawaan atau keniscayaan, melainkan buatan dan karena itu ia kontingen. Singkatnya, politik adalah suatu tindakan sengaja. Tetapi, tindakan itu sendiri tidak mungkin tanpa masyarakat. Kalau aktivitas lain (kerja dan karya) dapat dimengerti di luar masyarakat, maka tindakan tidak. Bahkan, tindakan adalah prerogatif eksklusif manusia.Oleh karena itu, tindakanlah yang membedakan manusia dari spesies hewan lainnya.

Sepakat dengan Aristoteles, Arendt melihat bahwa dari semua aktivitas manusia, tindakan (praxis) dan ucapan (speech, lexis)-lah yang mengkonstitusikan biospolitikos (kehidupan politik). Bahkan Arendt secara lebih artikulatif melihat bukan hanya hubungan antara tindakan dan ucapan, melainkan bahwa keduanya selalu ada bersama (coeval) dan sama (coequal) (Arendt, 1998: 25).

Teori politik Arendt, dalam konteks ini, adalah sebuah upaya menggembalakan politik. Politik perlu ditebus dari kejatuhannya dengan mengingatkannya pada kebebasan sebagai alasan adanya. Kejatuhan politik terjadi sejak manusia meninggalkan polis, baik secara teoritis maupun praktis. Manusia meninggalkan polis pertama kali dimulai sejak kebebasan manusia terutama dipahami lebih sebagai free will, sebagai sesuatu yang berada dalam ruang dalam (inner sphere), dan bukan sebagai relasi antar-kemanusiaan (Arendt, 2000: 164).

Kalau kebebasan dalam artian free will lebih menekankan individu atomistik manusia, maka kebebasan politik lebih menekankan relasi. Yang pertama lebih menekankan indepedensi, sedangkan yang kedua menempatkan interdependensi sebagai role of being manusia. Gagasan seperti ini tentu bertentangan dengan apa yang pernah diajukan oleh Thomas Hobbes di mana relasi manusia tidak dilihat sebagai relasi kebebasan, melainkan sebagai relasi hak.

Haklah yang alamiah, bukan kebebasan. Kebebasan adalah hak dan hak bukanlah manifestasi dari kebebasan. Politik sebagai relasi hak akan melahirkan implikasi yang mengerikan; hak akan diberikan kepada sang Leviathan, sang rezim otoriter, atau sang despot. Hal itu tidak akan terjadi kalau politik dilihat sebagai relasi kebebasan karena kebebasan tidak pernah diberikan dan tidak pernah bisa dilepaskan. Ia seperti nafas; ia ada bersama adanya manusia dan hilang bersama kematian.

Selama manusia adalah manusia, kebebasan tidak pernah bisa lepas darinya sekalipun kehidupan berakhir. Nyatalah bahwa dengan meninggalkan polis, manusia hanyalah menjadi kumpulan cuitan manusia individualistik. Maka tak heran kalau mereka “semua berperang melawan semua” (benturan yang bersifat kelompok). Implikasi lebih jauh dari manusia yang meninggalkan polis itu adalah terjadinya “penggumpalan manusia”; semua sama, tak terbedakan, yang ada hanyalah satu Manusia tunggal.

Dengan meninggalkan polis, manusia tidak lagi menjadi manusia. Karena itu, menebus manusia berarti membawa mereka pulang ke polis. Hidup di polis tidak lain adalah politik. Politik tidak lain adalah menyalakan terus menerus api kenyataan akan pluralitas manusia, akan kenyataan bahwa ada manusia-manusia, dan bukan Manusia tunggal. Jiwa politik adalah ruang publik. Ruang publiklah yang menjamin manusia tetap sama (tetapi tidak satu), dan kesamaan mereka adalah bahwa mereka berbeda-beda (tetapi tidak sendiri-sendiri).

Ruang publik pula yang memungkinkan manusia saling terhubung sekaligus saling berjarak satu sama lain. Ruang publik ibarat sebuah meja bundar di mana manusia-manusia duduk mengitarinya dalam kesamaan mereka sebagai makhluk yang berbeda-beda, tetapi tidak sendiri karena mereka duduk bersama mengitari meja itu. Jadi, mejalah yang menghubungkan mereka satu sama lain
(Arendt, 1998: 52). Selain itu, meja ini juga memisahkan mereka satu sama lain untuk tidak menjadi satu.

Ruang publik, meja bundar itu, nyawa dari kenyataan pluralitas yang tetap menjadi hidup oleh dan hanya oleh tindakan. Tindakan itulah yang membedakan secara distingtif dan unik antara sesama manusia. Tindakanlah yang menjaga agar nyawa politik itu tetap hidup.

Jika ruang publik adalah jiwa bagi politik, maka kebebasan adalah oksigennya. Dengan demikian, dapatlah disimpulkan bahwa fondasi dari keseluruhan bangunan politik Hannah Arendt adalah kebebasan. Teori dan praktik politik modern terlalu disibukkan dengan interpretasi-interpretasi yang tidak penting dari bangunan politik, sehingga tidak aneh kalau kita lupa akan polis (politik).

Mengutip dari pendapat filsuf abad klasik, Aristoteles (384-322 SM), “Manusia pada dasarnya adalah hewan yang berpolitik”. Tentu, manusia tanpa politik bukanlah manusia karena ia tidak akan ada bedanya dengan hewan yang terikat oleh keniscayaan (necessiaty). Bagi Arendt, keniscayaan bukanlah kebebasan dan keniscayaan juga bukanlah politik. Kematian politik justru akan terjadi ketika segala sesuatu bejalan dalam logika keniscayaan sebagaimana hukum-hukum fisika. Karena kebebasan adalah ekspresi eksistensial manusia, maka ia bersifat khas manusiawi atau, dalam bahasanya Arendt, sebagai human condition (Villa, 2000, 8).

Kebebasan politik adalah sebuah virtue (keahlian, namun bisa juga diartikan sebagai “keutamaan” dalam pengertian etis Aristotelian).Sebagai sebuah virtue, ia hanya akan termanifestasi melalui tindakan, dan di tengah kancah dunia saat ini, tindakan hanya menjadi tindakan sejauh ada keberanian. Meninggalkan keniscayaan dan menggembalakan politik memang memerlukan keberanian dan konsistensi serta memiliki nilai-nilai kebebasan.

B. Arendt : HUMAN CONDITION.

Dalam buku Human Condition, Arendt membahas dua topik besar. Pertama adalah aktivitas manusia yang selanjutnya akan disebut Vita Activa. Kedua adalah kehidupan manusia di ranah privat dan publik.
Kita akan mulai dari Vita Activa yang terdiri dari 3 bagian penting, yakni labor, work, dan action.

Labor itu, dijelaskan Arendt, sebagai aktivitas manusia yang memungkinkan manusia untuk memenuhi kebutuhan fisiknya (aktivitas cyclical manusia untuk bertahan hidup).
Bagian ini disebutkan Arendt sebagai eksistensi yang paling dekat dengan binatang atau the least human.
Kenapa? Karena labor diperintahkan oleh necessity (kebutuhan).

Aktivitas ini sama seperti perbudakan yang penuh ketidakbebasan. But, labor memungkinkan humanity to survive.
Kedua, ada bagian work yang merupakan aktivitas yang menghasilkan produk yang tahan lama dan durable. Work membantu orang mengimajinasikan suatu hal yang permanence.

Untuk mengertinya, kita bisa langsung memperbandingkan labor dan work.
Apabila labor itu terikat pada tuntutan animality, biologis, dan alam, work melanggar keterikatan tersebut dengan membentuk dan mengubah ketiga tuntutan tadi sesuai dengan rencana dan kebutuhan manusia
Bagi Arendt, manusia dibedakan dari hewan-hewan lewat kemampuan manusia yang bisa menciptakan sesuatu yang long lasting, contohnya itu seni dan filsafat.
Ketiga dan terakhir adalah action, yang dibilang sebagai essence of human. Arendt mendeskripsikan action sebagai komunikasi dan aktivitas yang terjadi di antara orang-orang dalam masyarakat.
Action ini menuntun orang buat bekerja bersama untuk mengorganisasi society, mencetak sejarah, dan membuat kemajuan dalam skala yang besar.Bagi Arendt, manusia itu pada dasarnya setara, yang dibuktikan dari ability kita buat berkomunikasi secara meaningful tentang pengalaman kita. Tapi, manusia tidak  hanya setara, tapi juga berbeda (distinct).
Setiap individu itu unik dan manusia harusnya dianggap sebagai “siapa”, bukan “apa”. Lebih lanjut, Arendt memandang tindakan-tindakan manusia itu saling berhubungan yang diportray sebagi jaring relasi (web of relations).
Terakhir, dia berkata bahwa tindakan manusia itu tak bisa diprediksi dan inilah yang membuat impact besar dalam politik, filsafat, dan sejarah. Kondisi masyarakat bisa berubah cepat, bisa berubah ke arah yang lebih baik/buruk, ini semua berhubungan dengan tingkah unpredictablenya
Kita sudah membahas tentang Vita Activa, selanjutnya mari mengupas private dan public realm dari buku Human Condition ini.
Menurut Arendt, kehidupan jaman Yunani kuno itu dipisahkan ke dalam dua realm

1. Public realm dimana action itu dilakukan
2. Private realm dimana pekerjaan-pekerjaan rumah tangga dilakukan.
Tapi, private realm ini bukan intimacy seperti jaman sekarang, tapi biological necessity. Di private realm, yang dipenuhi adalah kebutuhan makanan, tempat tinggal, dan seks.
Sebaliknya, public realm itu adalah ranah kebebasan dari biological necessity, ranah di mana seseorang bisa membedakan dirinya melalui great words & great deeds.
Public realm dalam Yunani kuno cuma bisa dipartisipasi oleh laki-laki, jadi hanya mereka saja yang dapat bersinggungan dengan ide-ide.
Arendt berargumen kalau ranah publik & privat diperlukan untuk kemanusiaan. Kehidupan yang hanya dijalani di ranah publik itu dangkal karena didasarkan pada bagaimana orang lain memandang seseorang/sesuatu.
Kehidupan yang cuma dijalani di ranah privat juga sama, physical needs kita tidak berdasar dan animal-like.
Demikian pendapat ulasan tentang Pemikiran Hannah Arendt, politik dan kebebasan dan Human Condition. semoga bermanfaat.

Daftar Bacaan

1).Arendt, Hannah. 1998. Human Condition. Chicago dan London: University of Chicago Press.

2).Arendt, Hannah. 2000. Between Past and Future: Six Exercises in Political Thought, New York: Viking Press.

3).Takwin, Bagus. 2008.Kembalinya Politik:Pemikiran Politik Kontemporer dari Arendt sampai Zižek.Jakarta: Marjin Kiri.

4).Villa, Dana R. 2000. “Introduction: the Development of Arendt’s Political Thought”, The Cambridge Campanion to Hannah Arendt. Cambridge dan New York: Cambridge University Press.

5).Rahmad Tri Hadi, Politik dan Kebebasan ( 26 Oktober 2020)

(Visited 859 times, 4 visits today)
Avatar photo

By Sudirman Muhammadiyah

Dr. Sudirman, S. Pd., M. Si. Dosen|Peneliti|Penulis| penggiat media sosial| HARTA|TAHTA|BUKU|

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.