Memelihara tanaman hias saat ini bukan lagi sekadar hobi. Makin banyak penggemar tanaman hias di Indonesia terjun ke bisnis ini. Pangsa pasar tanaman hias tengah mengalami tren peningkatan yang sangat baik, di dalam negeri maupun di luar negeri.

Di era new normal ini, salah satu kegiatan yang cukup banyak diminati adalah menanam tanaman hias. Penggemar tanaman hias meningkat seiring dengan diterapkannya kebijakan pembatasan berkegiatan berkumpul di luar rumah. Dengan demikian, kegiatan di rumah menjadi pilihan masyarakat.

Salah satu tanaman hias yang kembali menggeliat akibat tren baru ini adalah Aglonema. Tanaman yang sedang populer di Indonesia ini bahkan sempat dijuluki ratunya tanaman hias. Tanaman ini pernah booming dan harganya mencapai puluhan juta rupiah per tanaman sejak tahun 2006. Setelah tren taman berakhir, tanaman ini tidak kehilangan pencintanya dan tetap banyak ditemui di pekarangan rumah warg. Hanya saja harganya tidak sefantatis dulu.

Namun, sejak masa pandemi COVID-19 harga Aglonema meroket kembali, terutama varietas impor. Saking trennya, baru-baru ini di Kolaka Utara diadakan lomba tanaman hias Aglonema antar Unit Dharma Wanita.

Merawat aglonema membutuhkan kesabaran tersendiri. Kita harus merawatnya seperti merawat bayi sendiri, harus dengan penuh kasih sayang. Bahkan, kita perlu memperlakukan Aglonema seperti halnya keluarga, sahabat, dan teman sendiri. Ketika ingin meninggalkan rumah, kita harus berpesan kepadanya agar tetap bertahan hidup selama kita tidak berada bersamanya.

Sebenarnya tanaman hias Aglonema merupakan salah satu jenis tanaman hias yang mudah dalam perawatannya. Di Indonesia, tanaman ini disebut “Sri Rejeki”. Entah mengapa bisa dinamakan seperti itu.

Orang tua dulu mengharuskan kita menanam Aglonema di halaman rumah. Mereka yakin jika memiliki tanaman ini maka akan mendatangkan rezeki. Apakah sebatas mitos atau fakta, wallahu a’lam, masih menjadi misteri .

Aglonema merupakan tanaman yang memiliki keindahan yang sangat mempesona sehingga laris manis di pasaran, baik secara daring maupun luring. Pasukan emak-emak sampai harus menyisikan uang belanja demi Aglonema. Sebagai ibu rumah tangga, terkadang mereka diprotes oleh para suami karena tidak jarang sebagian waktunya lebih banyak dihabiskan bersama Aglonema. tetapi penulis tidak segitunya juga, ya?

Berikut ini penulis akan berbagi tentang cara merawat bunga, khususnya Aglonema. Tentu saja ini bukan cara yang terbaik. Sampai sekarang pun saya masih sering mengalami bonyok. Namun, saya yakin jika tempat kita merawat Aglonema cukup sinar matahari, cukup sirkulasi udara, dan kita juga cukup sabar untuk menyiram atau menunggu tumbuhnya daun baru, hasilnya akan lumayan memuaskan

Media

Bagi penulis, media adalah kunci utama merawat Aglonema. Pendek kata, kita butuh media fermen. Tanpa media fermen, cepat atau lambat akan timbul masalah (kecuali menanam Aglonema di tanah). Entah itu bintik merah, coklat, batang melepuh, bahkan sampai menjalar ke bagian Aglonema di atas media. Penulis sudah sering dan lama memakai media nonfermen. Beberapa bulan tidak nampak masalah, tetapi dalam rentang kurun waktu setahun dimana musim/cuaca berganti, mulailah timbul masalah.

Bahan media apa pun hasilnya kurang lebih sama, asalkan bisa rapat mencengkeram akar, porous, dan tidak cepat terdekomposisi (lapuk), kecuali bahan media tertentu yang cepat bersifat asam atau media yang cepat menjadi padat (tidak porous).

Media asam akan menyebabkan pertumbuhan akar terhambat dan bahkan lonyot. Pengertian porous di sini mungkin sedikit bias, karena porous yang dimaksudkan di sini adalah berpori, air mudah tiris, dan media cepat jadi lembab (bukan basah). Jika media terlalu kasar, air juga mudah tiris, tetapi bagian dalam media lama basah (bukannya lembab). Hal ini sebetulnya kurang baik bagi Aglonema. Hal ini masih bisa ditoleransi dengan pemakaian media fermen. Meskipun demikian, jika terlalu lama basah (bukan lembab), lambat laun juga bisa menyebabkan akar/bonggol bonyok. Terutama setelah sekian bulan pemakaian media fermen, dimana jumlah bakteri penyubur (pencegah bonyok) berkurang atau bahasa sederhananya kesehatan media menurun.

Beberapa jenis (campuran) media yang pernah saya kenal, entah itu dari pemakaian sendiri atau dari kawan, antara lain sekam mentah, sekam bakar, daun bambu kering, cocopeat (serbuk sabut kelapa), cocochip (potongan-potongan kecil sabut kelapa), kompos (kotoran sapi, kerbau, kambing, ayam, burung wallet, dll), pasir Malang, tanah humus bekas “sengsong” (istilah lokal), dan tanah kebun coklat.

Dari pengalaman, yang paling cepat menumbuhkan akar adalah sekam bakar, sekam mentah, lalu kotoran binatang (tentunya semua sudah difermentasi dan dicampur dengan bahan lain dengan komposisi tertentu, tergantung kesukaan dan disesuaikan dengan bahan yang tersedia).

Media “terbaik” dan awet yang penulis amati dari pengalaman pribadi dan juga kawan-kawan disiapkan dengan perbandingan kira-kira 1: 1 (agar mudah diingat dan tentu saja bisa divariasikan) adalah sekam mentah+sekam bakar dan cocopeat. Sekam mentah untuk menjaga media tetap porous dan awet (tidak mudah lapuk). Cocopeat untuk menjaga media cepat lembab (tidak lama basah) dan mudah kering (tidak mudah lapuk). Pasir malang (kira-kira ukuran 1-3 mm, terlalu kasar atau terlalu halus kurang bagus) untuk menjaga porositas dan media tetap rapat mencengkeram akar saat media kering (tidak mudah mengembang, sehingga media tetap lembab dan bakteri penyubur tetap hidup). Di luar itu, tentu saja bisa dicoba berbagai komposisi, asal FERMEN, POROUS, dan MUDAH JADI LEMBAB.

Menyiapkan media untuk difermentasi

Sebelum media difermentasi, pastikan bahan media tidak mengandung bakteri yang merusak dengan cara merebus, menyiram dengan air panas, atau minimal dijemur hingga kering. Bahan media sekam mentah harus difermentasi dulu. Bahan media yang ‘tidak sehat’ apabila difermentasi tetap akan tidak sehat (bakteri perusak tambah banyak, ‘memakan’ bakteri penyubur, tandanya apabila media difermentasi tidak keluar gas atau keluar gas sedikit saja).

Bahan media cocopeat atau cocochip sebaiknya dikukus untuk menghilangkan kandungan tannin atau dikenakan hujan-panas minimal dua mingguan atau lebih atau dicuci dengan detergen lalu dibilas.

Sekali lagi, semua yang penulis uraikan di atas adalah sebatas teori dan pengalaman, selebihnya bisa improvisasi sendiri atau bahkan teori di atas dilanggar (diby-pass) agar lebih sederhana.

Demikian sekadar sharing. kurang lebihnya mohon dimaafkan dan dikoreksi. Mengenai perawatan Aglonema berikutnya akan dilanjutkan pada tulisan bagian kedua. []

(Visited 41 times, 1 visits today)
2 thoughts on “Geliat Tanaman Hias di Masa Pandemi (Bagian 1)”
  1. Hmmm…. Pecah telur nih…. Aku akui Bundaku memamg pencinta bunga. Aglonema susah peliharax Bun…

  2. Saya dan istri juga jadi sibuk dengan bunga bunga sejak pandemi, Tapi saat ini istriku sudah tidak mau menambah bunga lagi dirumah, sudah tidak punya tempat hahahaha…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

%d blogger menyukai ini: