Siang itu, wajah cerah Ati Sriati sukses menepis awan mendung yang bergelayut di atas bilangan Dago, Kota Bandung. Beruntung Bengkel Narasi mendapat kesempatan untuk bertemu langsung dengan penyanyi sopran berumur 74 tahun tersebut. Dengan balutan pakaian bernada hijau muda, istri dari Soedaryanto (alm) itu nampak memesona di antara teman-temannya para lansia yang rutin berkumpul dan berlatih bernyanyi dengan iringan organ tunggal.
Sejak berumur enam tahun, Ati terbiasa mendengarkan musik klasik lewat piringan hitam yang diputar orang tuanya. “Kebetulan ayah saya lama bertugas di Amerika Serikat. Jadi, setiap ayah pulang, bukan mainan yang dibawa, melainkan piringan hitam lagu-lagu klasik,” jelasnya.
Ketika berumur 15 tahun, perempuan kelahiran Sukabumi ini bergabung dengan kelompok angklung SMP Negeri 5 Bandung. Ati pun mulai sering tampil dari panggung ke panggung. Namun, faktanya Ati baru belajar bernyanyi pada umur 22 tahun.
“Bisa dikatakan terlambat dibandingkan dengan kebanyakan penyanyi yang berlatih vokal sejak kecil. Waktu itu tahun 1969, Saya sudah punya satu anak. Dalam sebuah penampilan bersama grup angklung Guriang, saya bertemu dengan Daeng Soetigna, maestro angklung sekaligus teman ayah. Beliau menyarankan agar saya belajar bernyanyi ke Corry Tobing, juga menganjurkan saya untuk mendengarkan lagu-lagu Maria Callas, salah satu penyanyi opera paling terkenal di abad ke-20.”
Selanjutnya, Ati melanjutkan belajar vokal kepada tetangganya, Elga Oe, selama delapan bulan. Setelah itu, Ati lebih banyak berlatih sendiri. Selain mendengarkan lagu-lagu Maria Callas, Ati pun memperkaya referensi dengan mendengarkan lagu-lagu Nellie Melba, Dame Joan Alston Sutherland, dan Maria Caniglia.
Nama Ati Sriati semakin dikenal setelah menjuarai Bintang Radio dan Televisi Jenis Suara Seriosa Tingkat Jabar tujuh kali berturut-turut dalam kurun waktu 1975-1982. Selanjutnya, dia menjuarai kompetisi serupa untuk tingkat nasional pada 1982.
Prestasi itu kian melambungkan namanya. Dia tampil dalam banyak konser di kota-kota besar di Indonesia, seperti Jakarta, Bandung, dan Surabaya. Pada pertengahan 1980-an, Ati berkesempatan mengenalkan suara emasnya ke luar negeri. Dia tampil dalam konser di Singapura dan beberapa kota di Australia. Tidak hanya di Asia, suara emas Ati juga mengantarkannya ke Eropa. Dia mendapat undangan pribadi tampil di Perancis dan Inggris.
Kualitas vokal Ati tidak luntur dikikis waktu. Konser demi konser tidak hanya menempa vokalnya, juga menempa kepribadiannya. Meskipun demikian, Ati tetap merasa penampilannya tidak pernah sempurna. Dia tetap rendah hati. Bahkan, dia tidak gengsi bertanya kepada musisi yang lebih muda, bertanya kepada banyak orang, termasuk kepada penonton yang menyaksikan konsernya.
Lebih dari setengah abad ibu dari tiga anak ini konsisten melantunkan lagu-lagu seriosa. Sebelum pandemi COVID-19, lengkingan suaranya banyak didedikasikan untuk konser amal. Terakhir, suara tinggi Ati memecah keheningan Auditorium Institut Francais Indonesia (IFI), Kota Bandung, Minggu (3/11/2019), dalam konser amal “Nada-Nada Nan Tak Bertepi”.

Sekilas, sebagian orang mungkin tidak akan percaya bagaimana Ati yang sehari-hari berbicara dengan suara lembut bisa tampil dengan suara yang tinggi dan bergema di atas panggung, bahkan tanpa mikrofon sekalipun.
“Sebetulnya, berbicara dan teknik vokal itu materinya sama, yaitu dari leher dan udara yang kita hidup saat bernapas. Hanya saja, penempatannya yang berbeda. Dalam bernyanyi, rongga pernapasan kita buka, sel-sel lembut kita getarkan sehingga beresonansi, keluarlah suara yang indah dan bergema. Itu adalah kebesaran Tuhan.”
Bagi Ati, menyanyi adalah bagian dari terapi. Tentu saja hidup tidak selalu berada dalam kesenangan, pasti ada masa-masa sulit. Dengan menyanyi, menikmati setiap lagu yang dibawakan, hal-hal sulit dalam pikiran terasa hilang.
Saat ini, secara pribadi Ati sudah merasa cukup dan bersyukur dengan apa yang didapat, terutama masih diberi kesempatan untuk berbagi. Namun, Ati agak menyayangkan karena kebanyakan generasi muda saat ini kurang berminat pada lagu-lagu seriosa.
“Kalau di Jakarta cukup bagus perkembangannya. Ada teman saya di sana, Ibu Stefani namanya. Tadinya, mulai Desember ini kami akan mulai mengadakan konser-konser kecil untuk membawakan lagu-lagu seriosa Indonesia. Perlu direncanakan ulang mungkin, ya?”
Terakhir, Ati berpesan agar generasi muda tidak takut untuk belajar lagu-lagu seriosa. “Bukan untuk menjadi penyanyi seriosa, ya? Belajar dan berlatih untuk mempermudah kita bernyanyi secara umum,” pungkas Ati. []
Referensi tambahan:
https://www.kompas.id/baca/utama/2019/11/23/ati-sriati-soprano-berusia-72-tahun-yang-masih-terus-bernyanyi
Mantap. Sayang skl generasi mileneal tdk kenal lagi lagu seriosa ini.
[…] Baca juga: Ati Sriati, Setengah Abad Soprano Nan Memesona […]
[…] Baca juga: Ati Sriati, Setengah Abad Soprano Nan Memesona […]