BENGKELNARASI.COM – Beberapa waktu yang lewat, aku mampir di sebuah gerai penjual ayam goreng lokal Hisana di daerah Kalegowa. Anakku yang mondok memesan agar dibelikan ayam goreng gerai itu, saya menjenguknya hari ini. Sungguh terlalu rasanya bila tak memenuhi pintanya.

Setelah memarkir kendaraan, aku masuk gerai dan berdiri dalam antrian, ada dua orang pembeli di depan saya, keduanya perempuan. Sekilas kulihat, keduanya mengenakan jilbab, aku mengatur jarak sepantasnya, tak elok terlalu rapat pada yang bukan mahram.

Tak lama, pembeli pertama membayar belanjaannya. Aku semringah, tinggal seorang pembeli di depanku, yang segera dilayani oleh pramuniaga dengan cekatan. Mulai dari beberapa potong ayam goreng, serta dua gelas teh, disiapkan tanpa jeda.

Saat pramuniaga masih menyiapkan pesanan pembeli kedua, sekelebat bayangan hitam melintas di sampingku, seorang perempuan paruh baya, berkacamata, lengkap dengan purdah, tiba-tiba telah berdiri di depan tempatku mengantri, memilih posisi di sebelah kiri pembeli yang sedang dilayani pramuniaga.

Aku terdiam, kuelus dada meredakan masygul, masih ada juga yang tak paham perlunya mengantre. Kupandang pramuniaga berharap ada respon darinya perihal tingkah calon pembelinya. Tapi sepertinya ia terlalu khusyuk menyiapkan pesanan pembeli.

Pesanan pembeli kedua telah siap, pramuniaga menghitung jumlah yang harus dibayarnya. Sesosok bayangan kembali berkelebat, lagi-lagi seorang perempuan, berniqab, kali ini berwarna cokelat tua. Dia tak ikut mengantre, memilih langsung berdiri di sisi kanan pembeli yang membayar.

Begitu pembeli kedua beranjak meninggalkan posisi di depan kasir, kedua perempuan yang menyalip posisiku tersebut, berebut menyebut pesanan ke pramusaji. Lalu celakanya, dengan cekatan pramusaji lalu melayani si jilbab hitam. Suaraku yang mengajukan pesanan, menguap di udara siang.

Kesabaranku sampai di batasnya, dengan suara pelan tetapi bergetar, aku mengajukan protes.”Di sini tak perlu antre, ya Bu? Repot juga kalau begini, setiap orang seenaknya menyalip.” Sambil menatap ke arah pramusaji yang hanya memasang muka tak berdosa, sambil tetap melanjutnya aktivitasnya menyiapkan pesanan.

Justru si jilbab hitam yang kemudian merespon protes yang kuajukan, “Ini, ibu ini lambat sekali pelayanannya. Padahal saya buru-buru.” Sambil menunjuk pramusaji yang keheranan.

“Ini bukan soal layanan yang lambat, Bu. Ini soal ibu yang menyalip antrian. Kalau soal buru-buru, saya juga buru-buru. Seandainya ibu bilang tadi, mungkin bisa dimaklumi. Tapi ini langsung saja nyosor.” Omelku.

Melihat responku, si jilbab hitam diam saja tak lagi menanggapi, si jilbab cokelat yang tadi juga sudah memesan, memilih diam. Sedang pramusaji tetap saja melayani dan menyiapkan pesana si jilbab hitam. Aku juga ikutan diam, tak lagi melanjutkan protes. Tak lama, si jilbab hitam berlalu membawa pesanannya tanpa merasa bersalah.

Mungkin karena menyadari kekeliruannya, atau khawatir aku akan mengeluarkan kata-kata protes lagi, si jilbab cokelat memilih membiarkanku dilayani lebih dahulu. Padahal, sebelum aku protes tadi, dia juga ngotot menyebut pesanannya, dan menyodorkan uangnya. Setelah pesananku selesai dan pembayaran telah kulakukan, sebelum meninggalkan gerai ayam goreng lokal Hisana, kusempatkan diri menatap tajam ke arah pramusaji dan berucap, “Lain kali, tolong agar pembelinya diperhatikan, yang datang duluan, dilayani duluan, jangan seenaknya.” Ujarku lalu beranjak pergi.

Saat di kendaraan, karena melihatku cemberut, istriku bertanya, “Kenapa, Kak?”

“Ternyata kesalehan dalam berpakaian, tidak menjamin seseorang akan beretika secara sosial.” Jawabku.

“Maksudnya?”

“Itu, ibu-ibu yang parkir di belakang kita tadi, masuk-masuk langsung menyerobot, apa sih susahnya antre?”

Sambil merenung, kujalankan kendaraan. Dari kejadian tadi, yang kusesalkan sebetulnya adalah karena keduanya mengenakan pakaian yang secara simbolik merepresentasikan seorang muslimah yang taat, tetapi tak mampu menjaga etika sosial. Aku akan turut merasa malu bila ada yang berkomentar negatif tentang mereka dan mengaitkannya dengan agama yang dianutnya.

Sesampainya di pondok, saat kendaraan kuparkir, mobil yang ditumpangi si jilbab hitam melintas. “Seperti yang kubilang tadi, sepertinya mereka juga akan menjenguk anaknya di sini.” Komentarku yang cuma disambut senyum oleh istriku. Bahkan, tak berapa lama, anak saya, Aditnya ikut nimbrung, “Coba lihat, Abi. Pemilik motor itu juga belanja ayam goreng, tadi”. Rupanya, yang dia maksud adalah si jilbab cokelat.

Sungguh, aku jadi kian meradang. Melihat dari lingkaran pergaulannya, tentu mereka adalah orang-orang yang punya pemahaman keagamaan di atas rata-rata masyarakat. Tapi entah mengapa, perkara antre mereka alpa. Apakah soal antre tidak menjadi penting, karena tak ada ayat dan hadis yang mengaturnya secara detail?Bila demikian, rasa-rasanya ada yang keliru dalam pemahaman keagamaan kita, bukankan menyerobot antrean merupakan sebentuk tindakan perampasan hak orang lain? Lalu mengapa kita seperti abai? Entahlah.

Sumber ilustrasi di sini

(Visited 51 times, 1 visits today)
Avatar photo

By Kasman McTutu

ASN yang mencintai puisi, hujan dinihari, dan embun pagi. Menerbitkan kumpulan cerpen Mata Itu Aku Kenal (LeutikaPrio, Januari 2012), Kumpulan artikel Reinventing Tjokro (Ellunar Publisher, Oktober 2020), dan kumpulan cerpen Adikku Daeng Serang (Pakalawaki, Maret 2021)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

%d blogger menyukai ini: