Oleh : Hamsah*
Salah satu jaminan dalam demokrasi adalah hak asasi dilindungi. Karena itu, setiap yang berpikir memiliki kebebasan termasuk kebebasan untuk eksis atau dikenal oleh orang lain. Kesadaran akan hak tersebut menjadi sesuatu yang masif untuk setiap orang. Melalui arena digitalisasi, beragam eksistensi bisa dimunculkan, dari yang otentik sampai pada sesuatu yang bias. Maka pada tahap ini tentu membingungkan dan merumitkan untuk saling memahami satu sama lainnya. Jika setiap orang bisa meluapkan apa yang menurutnya bisa eksis, maka terkesan kehidupan masyarakat kita semuanya bahagia, senang, dan gembira. Sebutlah misalnya melihat postingan orang yang sedang berwisata, menikmati kuliner, shoping, dan lain sebagainya, tentu ini mengindikasikan bahwa orang tersebut memiliki tingkat kebahagiaan yang tinggi meskipun pada kenyataannya tidak demikian.
Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Jean Baudrillard tentang simulacra, di mana simbol dan citra yang tampil sebagai kebenaran tidaklah sama dengan kenyataannya. Begitulah perkembangan kehidupan kita hari ini. Kita berlomba dalam menampilkan citra yang tidak selalu merepresentasikan dengan kenyataan yang kita alami.
Hadirnya berbagai media sosial sebagai anak kandung dari perkembangan digitalisasi yang nyaris dari yang muda sampai tua memiliki media sosial. Sehingga bisa dipastikan jika populasi manusia di dunia maya itu jauh lebih banyak dibandingkan dengan dunia nyata. Sebutlah misalnya, mungkin satu orang bisa memiliki lebih dari satu akun media sosial dengan menampilkan gaya dan citra yang berbeda. Muncul akun-akun spam yang sulit dipertanggungjawabkan secara nyata, apakah ia ada dalam kenyataan atau hanyalah semacam bayangan belaka.
Karena itu, melalui evolusi teknologi menyebabkan perubahan paradigma eksistensi manusia. Pada masa revolusi industri, menurut Karl Marx untuk eksis berarti ia yang menguasai produksi. Maka yang terjadi adalah para golongan proletar berusaha merebut alat produksi yang menyebabkan pada konflik antar kelas. Namun, pada perkembangannya dalam arena modern untuk eksis adalah ia yang menguasai konsumsi. Dengan apa yang dikonsumsi oleh masyarakat maka akan menentukan eksistensi dan status sosialnya dalam masyarakat, apakah ia golongan kaya atau menengah ke bawah.
Pada masa kini, untuk bisa eksis tentu berbeda dengan pandangan yang sebelumnya. Eksis berarti menguasai imaji, pada tahapan ini kita sulit menentukan identitas orang lain karena beragamnya image yang ditampilkan dalam dunia. Terkadang apa yang ditampilkan tidak seperti dengan realitasnya. Sehingga eksis dengan identitas sendiri itu sulit, apalagi kita harus berafiliasi dengan dua dunia, dunia nyata dengan dunia maya. Nyaris arena kehidupan kita lebih banyak dihabiskan melalui dunia maya. Sehingga pada tahap ini kita dengan gampangnya menjadi sesuatu meskipun tidak identik dengan identitas kita. Sekejap orang bisa menjadi intelektual hanya karena memposting dirinya sambil membaca buku atau memakai toga sebagai simbol intelektual. Orang sekejap bisa menjadi beragama karena memakai atribut-atribut keagamaan, dan seterusnya.
Kita hidup dalam kesenangan terhadap sesuatu yang viral. Dianggap eksis jika sesuatu itu viral, memiliki jumlah peminat atau view yang tidak seperti pada umumnya. Dalam hal ini seperti yang dipertontonkan dalam media tik tok, youtube. Namun, disadari atau tidak, untuk mempertahankan eksistensi yang lahir dari suatu keviralan itu juga tidak mudah. Karena ia eksis hanya tergantung dari kegembiraan para penikmat. Namun, di saat orang menemukan simpul kegembiraan atau trend yang baru maka trend yang lama akan hilang. Oleh karena itu, tidak salah untuk menciptakan sesuatu yang ideal. Namun, tetaplah harus proporsional dengan keadaan yang sebenarnya.
*Akademisi Universitas Negeri Manado