Oleh: Hamsah*

Air mata memang tidak mampu menerangkan bagaimana sedihnya ditinggal bulan ramadan. Apalagi bagi mereka yang betul-betul serius menjalani bulan ramadan. Namun hal yang berbeda jika ramadan berlalu, tetapi kita tidak merasakan apa-apa, bisa jadi memang kita hanya bercanda dalam mengisi bulan ramadan.

Bagi saya tahun, 2023 adalah momentum ramadan dengan atmosfir yang baru. Saya katakan baru dikarenakan tahun-tahun sebelumnya saya menjalani ramadan di kota yang berbeda. Setiap momentum ada cerita dan pengalaman yang menarik. Hal ini pun pernah saya sampaikan sebagai prolog dalam memberikan kultum di kampung halaman. Oleh kerena itu, saya tidak ingin mengulangi cerita yang sama.

Sebelum sibuk membalas permohonan maaf dari teman-teman yang ada dikontak whatsapp, saya ingin mengurai secara singkat tentang ujian kesetiaan dalam momentum hari yang fitri ini.

Secara pribadi banyak hal yang telah terlewati di bulan ramadan yang rasa-rasanya belum begitu maksimal. Baik ibadah wajib yang belum semua dimaksimalkan, apalagi yang sunnah masih begitu banyak yang belum tersentuh.

Tetapi paling tidak di antara sekian banyak amalan, mungkin ada satu dua yang berjalan begitu konsisten. Karena itu, yang telah diperbuat hari-hari kemarin sebisa mungkin dapat dipertahankan meskipun di luar ramadan. Tentu tidak bisa digeneralkan tentang apa yang telah konsisten dilakukan selama bulan ramadan, akan tetapi coba dipikir-pikir pasti ada. Itulah ujian kesetiaan yang pertama.

Termasuk ujian kesetiaan berikutnya adalah bagaimana kita mengawali ramadan dengan mengikuti pemerintah maka bentuk kesetiaan kita adalah mengakhiri ramadan pula dengan mengikuti lebaran yang ditetapkan melalui sidang isbat oleh pemerintah. Bagaimama yang lebaran lebih awal? Yah, itu juga bagian dari ujian kesetiaan bagi mereka terhadap apa yang diyakini sejak awal. Apakah ia berubah atau tetap konsisten.

Selanjutnya, mudik juga adalah bentuk kesetiaan yang harus dijaga. Jangan seperti Bang Toyyib, yang pergi tetapi tidak pulang-pulang. Meskipun rasanya mudik ini memang terasa berat apalagi jika tidak cukup alasan untuk apa mudik.

Hari yang fitri selalu identik dengan mudik, tetapi harus diperhatikan jangan karena mudik kita mengabaikan kesetiaan pada yang lain. Seperti kesetiaan pada pekerjaan. Sebenarnya ini pukulan untuk diri sendiri, karena tidak sabar ingin mudik sehingga mengambil waktu mudik lebih awal. Artinya mudik sebelum cuti bersama, itu adalah bentuk kegagalan ujian kesetiaan dari pekerjaan. Kecuali jika ada alasan-alasan pendukung. Hehe

Kesetiaan berikutnya yang ingin saya sampaikan di hari yang fitri ini adalah setia ingin menikmati masakan mama di kala lebaran. Bagi yang punya mertua, berarti masakan mama mertua.

Yang terakhir sekaligus yang paling utama sebenarnya ingin saya sampaikan adalah jaga kesetiaan untuk selalu memohon maaf. Maaf dari segala kesalahan yang disengaja maupun yang tidak disengaja, sebagai bentuk pengakuan bahwa kita manusia yang tak pernah luput dari kesalahan.

Selamat Idul Fitri 1444 H. Mohon Maaf Lahir dan Batin.

*Akademisi Universitas Negeri Manado

(Visited 24 times, 1 visits today)
Avatar photo

By Hamsah

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.