Oleh: Ruslan Ismail Mage*

Masih ingat jargon “Saya Indonesia, Saya Pancasila” yang dipopulerkan oleh Presiden Joko Widodo pada awal pemerintahannya? Jargon ini, meskipun terdengar sederhana, justru menyimpan potensi problematika. Menurut Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) kala itu, Hafid Abbas, jargon tersebut rawan disalahgunakan. Ia bahkan menyebutnya bisa menjadi alat bagi kelompok tertentu untuk menyerang kelompok lain.

Menurut Hafid Abbas, seharusnya jargon itu mengedepankan kata “kita,” bukan “saya.” Pancasila dan NKRI bukan milik individu, melainkan milik bersama. “Pancasila untuk kita, NKRI untuk kita” adalah semangat yang lebih inklusif. Ketika jargon “Saya Indonesia, Saya Pancasila” digaungkan pada Hari Lahir Pancasila, 1 Juni 2017, ia dengan mudahnya digunakan untuk menuding kelompok lain sebagai anti-Pancasila hanya karena memiliki pandangan yang berbeda.

Hal serupa juga terlihat pada jargon “Pelajar Pancasila” yang diperkenalkan oleh Nadiem Makarim saat menjabat sebagai Menteri Pendidikan. Jargon ini mendefinisikan pelajar Pancasila sebagai individu yang memiliki enam dimensi utama: beriman, bertakwa, berakhlak mulia; berkebinekaan global; bergotong royong; mandiri; bernalar kritis; dan kreatif.

Secara konseptual, jargon ini mulia. Namun, tanpa disadari, jargon ini berpotensi menjadi alat justifikasi untuk menghakimi pelajar lain yang dianggap tidak memenuhi enam dimensi tersebut. Alih-alih menciptakan kesetaraan dan iklim kebersamaan, sistem pendidikan yang seharusnya mendukung inklusivitas justru dapat memicu polarisasi di antara siswa.

Politisasi Kebhinekaan: Manipulasi dalam Narasi

Fenomena ini adalah contoh nyata bagaimana jargon sering kali dimanfaatkan untuk kepentingan politik. Entah disengaja atau tidak, inilah yang saya sebut sebagai “politisasi kebhinekaan.” Sebelum mendalami konsep ini, mari kita lihat definisi politisasi secara umum.

Dikutip dari Wikipedia, politisasi adalah sebuah konsep dalam ilmu politik yang menjelaskan bagaimana ide, entitas, atau fakta diberi nada atau karakter politik. Politisasi sering kali mengorbankan objektivitas dan berujung pada polarisasi politik.

Dalam konteks kebhinekaan, politisasi ini berarti manipulasi pemahaman tentang keanekaragaman suku, bahasa, bangsa, dan agama untuk mencapai target tertentu di ruang publik. Dengan kata lain, kebhinekaan tidak lagi menjadi alat pemersatu, melainkan instrumen untuk mempertegas perbedaan demi kepentingan politik kelompok tertentu.

Tidak sedikit elite politik yang berteriak lantang menjunjung Pancasila sebagai dasar hukum tertinggi, namun pada saat yang sama mengambil kebijakan yang bertentangan dengan nilai-nilai dasar Pancasila. Ironisnya, beberapa organisasi masyarakat yang mengklaim dirinya paling Pancasilais justru menjadi aktor utama dalam merusak nilai-nilai kebhinekaan.

Menjaga Kebhinekaan dari Kepentingan Sempit

Elite politik dan kelompok masyarakat seperti ini secara sadar atau tidak telah melakukan politisasi kebhinekaan. Mereka lantang berbicara tentang Pancasila, tetapi membiarkan nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya terkubur. Mereka mengaku menjaga Pancasila, namun terjebak dalam kapitalisasi ekonomi yang merugikan kaum lemah—melanggar sila kedua. Mereka berteriak soal demokrasi, tetapi menghancurkan nilai musyawarah untuk mufakat—mengkhianati sila keempat. Semua itu akhirnya meruntuhkan semangat persatuan—sila ketiga.

Jadi, jangan pernah berteriak Pancasila jika Anda gemar memanipulasi kebhinekaan untuk kepentingan sempit. Pancasila bukan sekadar jargon kosong yang bisa dijual demi pencitraan politik. Ia adalah ruh bangsa yang harus diterjemahkan dengan tindakan nyata, bukan hanya kata-kata.

Maka, mari kita kembali ke esensi Pancasila dan kebhinekaan—bukan sekadar sebagai alat politik, melainkan sebagai fondasi untuk membangun Indonesia yang benar-benar adil dan sejahtera.

Akademisi, penulis buku-buku politik, kepemimpinan, dan demokrasi.

(Visited 20 times, 1 visits today)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.