Oleh : Ruslan Ismail Mage*
Sudah ada satu dasawarsa saya konsisten menjadikan menulis sebagai terapi jiwa dan pikiran yang menyehatkan. Sebagaimana kata Fatima Mernisi seorang feminis Muslim asal Maroko yang mengatakan, “Usahakan menulis setiap hari, niscaya kulitnya akan menjadi segar kembali akibat kandungan manfaat yang luar biasa”. Karena itulah saya senantiasa konsisten menulis apa yang saya pikirkan, lihat, dengar, dan rasakan.
Di antara sekian banyak fenomena kehidupan yang menarik di renungi seminggu terakhir ini, salah satunya adalah suasana setiap menjelang hari-hari terakhir bulan suci ramadan. Entah kebetulan atau tidak, yang pasti setiap detik-detik terakhir bulan puasa, suasana alam semesta sepertinya merasakan kesedihan yang mendalam.
Birunya langit tertutup awan seakan hendak menangis mencurahkan hujannya, namun gerimis pun tidak menyentuh bumi. Matahari yang teriknya membakar kulit, juga meredup seakan menutupi kesedihan. Kubuang pandanganku ke sekeliling, tak nampak selembar pun daun-daun bergerak. Hijaunya daun yang biasanya selalu bergoyang mengikuti irama angin mengipas kehidupan, kini diam membisu laksana seorang gadis yang akan ditinggal kekasih yang teramat sangat dicintainya. Bahasa alam yang menyampaikan pesan kalau angin pun tak berhembus karena khusu tafakur bersalawat.
Sejenak jiwaku larut dalam suasana keheningan semesta, hingga pikiranku terbang memasuki lorong waktu saat-saat hari pertama memasuki bulan suci ramadan. Masjid dan mushallah ramai dikunjungi para hamba pencari cinta Sang Khaliq lewat malam lailatul qadar. Bersujud, bersalawat, bertasbih, membaca kita suci adalah salah satu manivestasi cinta hamba kepada penciptanya.
Ar-Rahmanu, Ar-Rahimu, As-Salamu, Ar-Razzaqu, adalah empat dari 99 asmaul husna yang seakan menjelma hidup dalam jiwa setiap muslim. Mengasihi dengan menyantuni, menyayangi dengan berbagi, membahagiakan dengan menyiapkan makan buka bersama. Lagi-lagi itulah manivestasi cinta hamba kepada Yang Maha Kuasa menghadiahkan bulan pengampunan setiap tahun kepada umat Muhammad Rasulullah.
Merenungi semua itu, terasa butiran-butiran kristal jatuh di sudut mata yang semakin sayu di makan usia. Begitu cinta Tuhan tak berbatas kepada hambanya dengan menyiapkan bulan pengampunan setiap tahun. Tiba-tiba ada penyesalan menggelayut dalam jiwa karena selama usia memasuki setengah abad begitu banyak waktu tercurah mencintai dunia. Merasa bersalah membandingkan berapa jam jemari ini memegang ponsel dan berapa menit memegang tasbih.
Ya Allah ya Rabb, bulan suci ramadan sebagai bulan penuh ampunan-Mu perlahan tapi pasti akan segera beranjak meninggalkan ruang-ruang jiwa yang belum tertata rapi. Izinkan hamba yang abai ini merawat rumah-Mu dalam hatiku agar Engkau selalu bersemayam di dalamnya. Akan kuhiasi dengan doaku, dzikirku, taubatku, tawaqalku, sedekahku, silaturahmiku, keyakinanku, kebenaranku, keadilanku, kejujuranku, kesopananku, adabku, budiku, kerendahan hatiku, dan nilai humanisku ke sesama. Sebelum terlambat, jemari ini harus lebih banyak memegang tasbih memuja-Mu, mengharap cinta-Mu, dan membalas cinta-Mu, dibanding memegang ponsel yang telah merampas waktuku bersujud kepada-Mu.
*Akademisi, inspirator dan penggerak, penulis buku-buku motivasi