Oleh: Gugun Gunardi*
Hari itu, hari peluncuran Kereta Api Baru, trayek Bandung-Banjar, yang akan berlanjut ke Pangandaran. Aku sudah memesan tiket dari seminggu sebelumnya untuk pergi ke Pangandaran bersama Istriku. Tiket itu tidak bisa dibeli di stasiun tapi harus dibeli secara online. Pembelian tiketku pun mengikuti cara itu. Seperti biasa boarding pass baru diperoleh saat 60 menit sebelum keberangkatan.
Betapa banyak para penumpang yang ingin mencoba kereta baru itu. Terlihat lokomotifnya antik sekali dengan warna hitam seperti loko zaman dahulu, tetapi tampil lebih berkesan dengan warna hitam yang bercahaya. Loko kereta tersebut kelihatan bentuk loko lama tetapi sudah dimodifikasi. Moncong kepalanya mirip dengan loko yang biasa digunakan di zaman Belanda. Loko antik yang ini terlihat indah sekali dengan beberapa variasi warna kuning emas di beberapa bagian dan lukisan batik mega mendung Cirebon. Aku mendapatkan tempat duduk di gerbong kelima dari loko.
Seperti biasa, kalau bepergian menggunakan kereta api, istriku meminta duduk di dekat jendela. Karena kebiasaan menikmati perjalanan sambil melihat ke luar jika perjalanan siang hari. Dia sangat menikmati sekali perjalanan kali ini, apalagi hampir tiga tahun tidak menikmati perjalanan kereta api karena Covid. Dengan gerbong kereta yang antik, nyaman dan resik, membuat perjalanan kali ini sangat istimewa dan menyenangkan.
Ternyata di tangan kursi sebelah kiri, ada lubang headseat, dan headseatnya terselip di depan tempat duduk kita. Sementara istriku menikmati perjalanan sambil sesekali melihat ke jendela, aku mendengarkan musik yang disajikan oleh operator, sambil bersandar dan memejamkan mata. Betapa nikmatnya perjalanan ini.
Kurang lebih 90 menit perjalanan, tiba-tiba kereta berhenti. Aku terbangun dan mendongak ke jendela sebelah kanan. Terlihat samar-samar tulisan di pintu gerbang “Cibatu”. Ohw, sudah sampai Stasiun Cibatu, pikirku. Aku melihat ke belakang, ternyata kondektur sedang memeriksa tiket para penumpang. Aku baru sadar bahwa tiketku dan tiket istriku berbeda warna dengan tiket penumpang yang lainnya.
Tiket kami berdua berwarna putih dengan beberapa dari jumlah penumpang di gerbongku. Sementara, kebanyakan dari para penumpang kereta antik ini berwarna kuning. Kami yang memegang tiket warna putih, dipersilakan pindah ke gerbong dan loko lain yang sudah ada di stasiun tersebut. Kereta itu masih sama bagus seperti yang kami tumpangi dari Bandung. Bedanya loko dan gerbong yang sekarang terlihat lebih modern.
Kami semua yang bertiket putih, pindah ke kereta api tersebut. Ternyata, di dalam gerbong itu sudah banyak penumpangnya, tetapi tempat duduk kami masing-masing masih tersedia. Dalam hatiku berkata; “Hebat perusahaan KAI saat ini, betul-betul tertata rapi”. Aku dan istriku dipersilakan untuk duduk di gerbong ketiga dari loko.
Beberapa saat kemudian, kereta yang kami tumpangi dari Bandung, berjalan perlahan mendahului kereta yang kami tumpangi selanjutnya. Lima menit kemudian, pelan-pelan keretaku bergerak pergi, semakin jauh dari stasiun transit, bertambah kecepatannya, suara duk-dok berirama lembut karena peredamnya canggih, mengiringi perjalanan kereta ini. Suara itu bagai irama musik yang merdu di telingaku. Sementara istriku menikmati perjalanan ini dengan melihat pemandangan dari jendela, aku terlelap karena suara duk-dok yang terasa lembut di telingaku. Hingga tak terasa keretaku sudah sampai di Banjar, itupun karena aku dibangunkan istriku.
Sambil menepuk pahaku; “Bah, udah sampai di Banjar”.
Aku melihat ke belakang, terlihat para penumpang berkemas bersiap-siap turun, berganti kereta, untuk perjalanan khusus Banjar-Pangandaran.
“Wah, luar biasa menggunakan kereta ini, terasa seperti tidur di hotel bintang lima, kata hatiku”.
Kami semua beralih lagi ke kereta khusus Banjar-Pangandaran, yang gerbong dan lokonya mirip dengan yang kami tumpangi dari Bandung sampai Cibatu. Beberapa saat kemudian, kereta itu meluncur dan konektur memeriksa tiket kami. Ketika kondektur sampai di kursiku, aku serahkan tiket kami.
Iseng-iseng aku bertanya mengenai kereta antik yang kutumpangi dari Bandung sampai Cibatu. Dengan ciri-cirinya yang mirip dengan kereta sekarang, kepada kondektur.
“Ini kereta yang kami tumpangi dari Bandung sampai Cibatu ya..?”
“Bukan Pak, tidak ada kereta seperti ini dari Bandung. Kereta ini hanya disiapkan untuk trayek Banjar – Pangandaran. Karena merupakan kereta wisata.”
“Yang dari Bandung, ya kereta yang Bapak tumpangi tadi, yang sampai di Banjar.”
“Jadi, kereta yang kami tumpangi dari Bandung, sampai Cibatu, kereta apa itu..?”
Sedikit berkelakar, konektur menjawab; “Mungkin kereta jurusan ke Surga Pak”, sambil tersenyum.
“Haaahhh”, aku dan istriku terbelalak sambil berpandangan. “Jadi, Kereta apa yang kutumpangi dari Bandung sampai ke Cibatu..?”
*Penulis adalah dosen tetap Universitas Al Ghifari Bandung.