Tulisan ini merupakan rasa dan penasaran saya terhadap peristiwa ini, yang waktu kecil di kampung selalu mendengar musu Belo, rasa keinginan tahu itu lah, mencoba cari sumber intuk indepth interview. Walaupun terbatas sumber karena beberapa hal, dengan menulis minimal ada koreksi dan masukan khususnya bagi yang paham dan mengerti peristiwa ini. Sesungguhnya ini soal yang sensitif karena ini peristiwa sejarah yang melibatkan antara keluarga, tentu ikatan genetika dan secara psikologi mempengaruhi hubungan sesama keluarga, olehnya itu penulis tidak bermaksud mengorek luka lama, tapi benar benar keinginan intuk tahu. Mohonmaaf kalau data kurang lengkap karena beberapa kendala.
Sudirman Muhammadiyah (lahir d CennoE. Belo)
Sebagai orang yang lahir di Kampung ini tentu bangga dan merasa perlu tahu berbagai perisyiwa bersejarah dan monumental yang selalu dibicarakan orang dan di ingat dan dikenang , peristiwa- peristiwa itu sebagai jembatan masa lalu,sekarang dan yang akan datang untuk memberi pengetahuan dan motivasi yang bisavterwujud dalam kebanggaan tersendiri. Desa Belo Kecamatan Ganra Kabupaten Soppeng, Ganra menurut tokoh lokal H. Badaruddin Andi Abd. Rahman yaitu berasal dari kata Anra, dalam bahasa bugis yang bermakna “umpan untuk ayam hutan”, menurutnya Ganra dulu merupakan hutan belantara. Olehnya itu anak Arung Ganra saat itu sering memanfaatkannya sebagai suatu kegemaran untuk menangkap ayam-ayam hutan dengan cara memasang Anra tersebut.
Pendapat lain mengatakan bahwa Ganra sebenarnya berasal dari kata Ganra itu sendiri, dalam bahasa bugis kuno Ganra diartikan sebagai alat pemintal benang yang berbentuk melingkar. hal tersebut dibenarkan karena secara teritorial desa Ganra memang terlihat seperti lingkaran.
Ganra memiliki tokoh patriotik seperti Petta TellariE yang telah berjuang mempertahankan wilayah teritorial kerajaan pada saat terjadinya perang saudara antara Arung Ganra dengan Datu Mari-Mari atau yang umum disebut Musu Belo (Perang Belo). Selain itu Tokoh kharismatik yang religius seperti Wali H. Katu, seorang penyebar agama Islam yang pernah menetap di Ganra.
sejarah Lamba Ato Lekko” berarti lekukan
Belo merupakan salah satu Daerah atau distrik pada era kerajaan Latemmamala
Lammba Belo sesungguhnya adalah nama” Tappii Lamba Tellu, ” ( Sejenis keris) yang mempunyai tiga lekukan yang mempunyai makna historis.
Dalam menghadapi musuh, keris ini dapat memberi dua petunjuk yang pertama, jika siap bertempur dan peperangan akan dimenangkan maka keris Lamba Belo akan terangkat dari sarungnya sejauh 2 cm, yang ke 2 jika tidak siap bertempur dan kemungkinan kalah dalam peperangan maka keris Lamba Belo sama sekali tidak bergerak dari sarungnya (mappejje’)Menurut tetuah d desa Belo.
Sejarah adalah interpretasi dari signifikansi masa lalu bagi kita.”
Johan Huizinga
Penyebab Peperangan /musu Belo
Perang Belo berawal dari pembahagian daerah kewarisan dari kedatuan Soppeng ( Datu Soppeng) dengan tiga keluarga keturunan pada waktu itu yang mana terdiri dari tiga kekuasaan daerah masing-masing. Ketiga pembahagian wilayah tersebut diantaranya :
1. Daerah Arung Ganra : sebelah barat
2. Daerah Arung Belo : sebelah timur
3. Daerah Datu Mari-mari : sebelah selatan
Dari pembahagian inilah asal mula terjadinya perang musuh Belo antara tiga bersaudara. Perang ini merupakan peperangan yang paling dahsyat ditanah bugis karena melibatkan tiga bersaudara. Dari hari kehari peperangan ini semakin dahsyat, ribuan nyawa menjadi korban pada peristiwa peperangan tersebut.
Bahkan banyak bantuan prajurit dari beberapa kerajaan disekitar Soppeng. Untuk mengetahui lebih lengkapnya lagi tentang asal mula peristiwa perang Belo, mari kita ketahui terlebih dahulu faktor yang menyebabkan terjadinya peristiwa ini.
2. Faktor Penyebab Terjadinya
Penyebab terjadinya musuh Perang Belo ( tahun 1890 ) adalah karena adanya niat buruk daripada Arung Ganra dan Arung Belo kepada Datu Mari-mari untuk merampas daerah kekuasaan Datu Mari-mari secara paksa atau membujuk meminta tempat perumahan. Namun, hal yang mereka inginkan tidak disetujui oleh Datu Mari-mari.
Kepada Arung Ganra dan Arung Belo, Datu Mari-mari memberikan alasan bahwa semua pembahagian tanah kewarisan dari Kedatuan Soppeng tidak boleh dirubah sesuai dengan adat yang sudah ditentukan ( ada na’ gau ) oleh Kedatuan Soppeng di Salassae.
Namun, Arung Ganra dan Arung Belo sangat marah karena menurutnya hal pembahagian tidak usah dijadikan masalah.
Menurutnya, pada waktu itulah, timbul huru-hara dan pertentangan terhadap Datu Mari-mari antara Arung Ganra bersama Arung Belo didaerah perbatasan Belo dan daerah Mari-mari, maka terjadilah perang yang merupakan perang bugis yang sangat dahsyat di tanah bugis, antara keluarga masing-masing tak bisa terpisahkan antara yang satu dengan yang lainnya.
Bahkan, pihak keluarga terdekatnya pun sudah tak mampu untuk mendamaikan ketiganya. Karena, rasa angkuh dan rakus yang dimiliki oleh Arung Ganra dan Arung Mari-mari menyebabkan perang Belo tidak mampu untuk dipadamkan. (Sumber ilmiah belum jelas)
Bahkan, dari hari kehari perang ini semakin rumit karena telah membawa pihak keluarga dari kerajaan dibeberapa kabupaten yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Soppeng.
Jika kamu tidak tahu sejarah maka kamu tidak tahu apa-apa. Kamu adalah daun yang tidak tahu bahwa itu adalah bagian dari pohon
Michael Crichton
3). Proses Terjadinya Perang Belo
Musuh Belo ( Perang Belo ) terjadi sekitar tahun 1890 ( perlu data dan sumber). Diawali dengan adanya pembahagian daerah kewarisan dari Kedatuan Soppeng ( Datu ) dengan tiga keluarga keturunan pada waktu itu yang mana terdiri dari kekuasaan daerah pertama, yaitu : Daerah Arung Ganra, kedua : daerah Arung Belo, ketiga : Datu Mari-mari.
Dengan daerah segitiga perbatasan sungai Belo, sebelah barat adalah daerah Arung Ganra dan sebelah timur adalah daerah Arung Belo, sebelah selatan daerah kekuasaan Datu Mari-mari. Pada waktu itu, Arung Ganra dan Arung Belo memunyai niat tidak baik kepada Datu Mari-mari untuk merampas daerah kekuasaan Datu Mari-mari secara paksa atau membujuk meminta tempat perumahan.
Maka Datu Mari-mari tidak menyetujui ajakan ( permintaan ) dengan alasan Datu Mari-mari bahwa seluruh pembahagian daerah kewarisan yang telah ditetapkan dan ditentukan (ada na’ gau ) tidak boleh dirubah sesuai dengan adat yang telah ditentukan oleh Datu Soppeng di Salassae.
Faktor itu buntu nya komunikasi politik diantara penguasa padahal mereka satu rumpun dari nenek dan keturunan bangsawan yang sama genetika darah biru.
Pada waktu itu, timbullah huru-hara terhadap Datu Mari-mari antara Arung Ganra dan Arung Belo di daerah perbatasan Belo dan Mari-mari. Maka terjadilah perang, yang merupakan perang bugis yang sangat dahsyat di tanah bugis.
Antara keluarga masing-masing tidak dapat saling dipisahkan, dari hari ke hari ribuan korban nyawa meninggal dunia karena peperangan ini.
Pada waktu itu, Arung Ganra dan Arung Belo meminta bantuan kepada keluarganya dari Sidenreng. Sepanjang perang berkecamuk bertebaran dan bergelimpangan mayat dimana-mana disekitar daerah itu. Dari hari ke hari, Datu Mari-mari juga meminta bantuan kepada keluarganya mulai dari keluarga : Arung Appanang, Arung Galung, Arung Macanre, Arung Baringeng, Arung Talagae hingga keluar jauh dari kerajaan Bone.
Setelah menghubungi keluarganya di kerajaan Bone maka diketahuilah oleh keluarga Petta Ponggawae Bone, maka diperintahkanlah anaknya yang bernama Andi Baso Pagiling ( dikenal dengan nama Andi Abd. Hamid ).
Pada waktu itu, Andi Baso Pagiling memimpin pasukan pemberangkatan pertama ribuan orang Bone menuju di kerajaan Soppeng tepat tiba di kampung Appanang selanjutnya berjalan menuju ke daerah Mari-mari untuk langsung berperang antara kelompok orang Ganra bersama orang Belo dengan menggunakan tombak, parang, saling pukul-memukul dalam arti bahasa buigis silanro-lanro, yang memimpin perang pada saat itu adalah Andi Cubbe Arung Galung, Baso macanre, Arung Lompeneng, Arung Baringeng, Arung Talaga. Waktu itu tempat yang paling sengit dilakukannya pertempuran yaitu sekarang namanya Laballili, ditempat itu peperangan berlangsung selama tiga hari tiga malam.
Tidak ada yang ingin terkalahkan, sementara perang sedang berkecamuk, timbullah pemikiran busuk dari Arung Ganra untuk berangkat menuju ke istana kedatuan Soppeng menghadap kepada Datu Soppeng.
Dihadapan Datu Soppeng, ia menjelaskan bahwa perang yang sementara berlangsung selama tiga hari tiga malam semakin sangat sengit karena tidak ada yang ingin terkalahkan.
Kedatuan Soppeng lalu memberikan perintah kepada Arung Ganra untuk kembali ke Ganra dan menyampaikan pesan bahwa insya allah besok lewat tengah hari ( pajapi lesang matanna esso’e ) barulah pihak Kedatuan Soppeng datang disekitar tempat peperangan untuk menghentikan perang sengit yang terjadi dan menyelesaikan perang kedua belah pihak.
Keesokan harinya datanglah pihak Kedatuan Soppeng tiba di tempat itu dipanggil oleh dua belah pihak. Kedatuan Soppeng pun akhirnya mengeluarkan keputusan atau pemberhentian perang keduanya.
Kedatuan Soppeng mengatakan sekarang waktunya telah lewat tengah hari ( pajani lesang matnna esso’e ). Kedua belah pihak pun menghentikan perang yang terjadi dan kembali ke daerah kekuasaannnya masing-masing.
Perjanjian Perdamaian
Kedatuan Soppeng membuat perjanjian keputusan sebagai berikut, isinya adalah :
(1). Barangsiapa yang memulai perang ( musuh ) daerahnya akan diambil alih atau dikembalikan haknya pada kedatuan Soppeng.
(2) Maka ia akan hancur berkeping-keping seperti piring dan hancur pecah telur dan dikutuk oleh Yang Maha Kuasa.
Setelah keputusan perang ( musuh ) ditetapkan oleh kedatuan Soppeng, maka diberikanlah nama tempat itu pajani lesang matanna essoe yang disebut dengan pajalesang.
Keputusan perang telah henti, namun masih ada rombongan bantuan dari Kabupaten Bone tiba di daerah kampung Appang/Cangadi bertemu dengan Andi Cubbe, Arung Macanre, Arung Lompengeng, Arung Appanang bertanya kepada rombongan.
Mereka bertanya “apakah rombongan akan pulang kembali ke Bone atau menetap di Soppeng ?” . Sebagian dari mereka ada yang memilih tinggal dan menetap di Soppeng, maka diberilah nama kampung itu dengan nama Kampung Tobone di Cangadi Kec. Liliriaja. Begitupun, dengan orang Sidenreng Rappang ada diantara mereka yang memilih untuk menetap di daerah Ganra, Belo.
Itulah sebabnya di daerah Ganra ada salah satu kampung yang disebut dengan nama kampung Tosidenreng. Begitulah akhir dari peristiwa perang Belo kedua belah pihak telah saling memadamkan perang satu sama lain.
Mohon dukungan dan supportnya untuk kajian ini, saya sebagai putra belo wajib meriset tentang ini, waktu kecil sering dapat cerita cerita, ttg musuh Belo, laballili, Mari mari, paja lesang, cennoe ma cennoe.
Perlu penelusuran yang lebih mendalam demi pelurusan sejarah untuk generasi milineal.
Penghimpun.
Bahan Referensi, dari hasil percakapan dan diskusi dari berbahai sumber dan literasi dari penulis.
Setelah tulisan saya ini diposting di web ada berbagai masukan dan tambahan maka dari itu perlu kirannya di sunting dari masukan tersebut:
Catatan masukan di kolom komentar yang saya ambil penuh dari saudara : Irsyad (IMPS) putra Ganra yang telah melakukan indept interview ,
Musu Belo (1890)
Istilah “maseke’pi na musu Belo” masih sering terdengar dari ungkapan orang tua kita ketika mendapat pangggilan mendadak dari orang lain untuk melakukan sesuatu.
Musu Belo memang adalah peristiwa kelam di masa lalu karena perang melibatkan dua raja yang masih memiliki pertalian darah. awal mula perang ini juga terbilang sepeleh karena hanya mempersoalkan “tana abbolang”.
Arung Ganra berdalih bahwa tanah yang ditempati Datu Mari-Mari mendirikan istana sebagian masuk wilayah Ganra. Datu Mari-Mari juga kukuh bahwa ini murni adalah haknya yang harus dipertahankan. setelah perdebatan cukup panjang dan masing-masing tidak ada yang mengalah, akhirnya Arung Ganra dengan nada tinggi spontan berucap “rekko teako mareangnGa sesa’ tana abbolangmu Datu Mari-Mari, lebbi Ko To Mammusu’. dijawab berani oleh Datu Mari-Mari, Rekkoa Iyae Pattujungmu Arung Ganra, To Mammusu’na.
Akhirnya kedua Raja ini berjanji dalam waktu yang tidak terlalu lama akan menghimpun kekuatan masing-masing. Datu Mari-Mari berhasil membujuk Arung Appanang, Arung Galung, Arung Lompengeng, Baso Macanre, Bahkan sampai wilayah Kerajaan Bone dan jauh ke barat melibatkan Kerajaan Balusu (Barru), dimana Pasukan Balusu dipimpin langsung oleh Andi Muhammad Saleh Daeng Parani Arung Balusu.
Sedangkan Arung Ganra dalam waktu yang terbilang singkat berhasil pula menggandeng koalisi dari wilayah Mario (riawa), Kerajaan Sidenreng bahkan sampai ke wilayah Kerajaan Wajo. Pasukan Sidenreng sendiri dipimpin langsung oleh La Pakerrangi Petta Pabbicara Sidenreng.
Dari usaha kedua belah pihak inilah, muncul istilah di kalangan masyarakat Bugis “Maseke’ i Musu Belo” (Mendadak-nya Perang Belo).
Setelah berhasil menghimpun kekuatan, terjadilah peperangan dahsyat itu. di sebelah timur, koalisi perang Datu Mari-Mari meletakkan posisi Ballili’ (meriam) mereka yang menggunakan peluru (tumera) di batang pohon asam. itulah sebabnya daerah itu disebut La Ballili’. sedangkan pertempuran sengit antara orang Balusu dan Sidenreng terjadi di wilayah barat. sangking dahsyatnya pertempuran itu orang Bugis menyebutnya silanro-lanro tau Sidenreng na BalusuE. itulah juga sebabnya daerah itu disebut MallanroE sekarang.
Di tempat yang berbeda dikisahkan bahwa di selatan Ganra terjadi juga pertempuran hebat, hampir-hampir saja pertahahan Ganra dibobol oleh orang-orang Balusu setelah berhasil menyebrangi sungai Belo. maka tampillah seorang komandan perang yang berasal dari sidenreng adapula mengatakan berasal dari Daerah Laringgi, Mario (riawa) yang berani di garis terdepan pertahanan Ganra.
Dikisahkan bahwa tokoh ini mengubur dirinya sedalam betis untuk membuktikan bahwa dia tidak akan lari dari medan perang dan di kemudian hari orang Ganra memujinya dengan gelar Petta TellariE (Tuan yang Tidak Mau Lari) yang makamnya tepat berada di selatan Pasar Ganra sekarang.
Dikisahkan pula bahwa pasukan Sidenreng selama peperangan mengalami kelaparan sehingga semua/beberapa pohon kelapa yang ada di sekitar wilayah Belo & Ganra ditebangnya dan memakan buah kelapa bahkan yang sudah tua, sehingga masyarakat di Ganra untuk menggambarkan peristiwa itu masih sering terdengar istilah “Anre To Sidenreng na” (makanannya orang Sidenreng) untuk menyebut nama lain dari Kelapa yang sudah tua.
Dalam Perang Belo juga dikisahkan bahwa Lanrang Asena Belo (lumbung Padi Belo) telah dibakar, sehingga muncul “Tanro” (sumpah) dari orang-orang Belo bahwa “Niga-Niga Tuno i Lanrang Asena Belo Pura De’ Jaji Asena Ri MonriE” (Siapa saja yang telah membakar Lumbung Padinya Belo, maka tidak akan pernah jadi tanaman padinya mereka).
Perang Belo juga disebutkan memakan banyak korban di kedua belah pihak. sebagai buktinya di Ganra terdapat banyak lokasi perkuburan tak bertuan yang terletak di Timur Ganra, konon itulah makam para prajurit dari Sidenreng. Hal yang sama di sebelah utara Akkampeng (Uttu) terdapat banyak makam yang disebut sebagai pemilik makamnya orang-orang Balusu.
Perang Belo disebutkan terjadi 15 tahun sebelum peristiwa Rumpa’na Bone (1905). peperangan berlangsung selama 3 hari adapula menyebutnya 5 hari atau 7 hari.
Pasukan Bone dikisahkan datang sesudah perang Belo dihentikan oleh Datu Soppeng. Datu Soppeng atas permintaan Arung Ganra datang ke lokasi peperangan setelah berpesan bahwa “Lesangpi EssoE Baja Unoo Papajai Musu’E” (Besok setelah Matahari menyingsing ke Barat saya akan turun menghentikan perang itu). terjadi pada pemerintahan Datu Soppeng ke 34 yaitu Abdul Gani Baso Batu Pute Petta MattinroE ri Pakkasalo. berdasar dari pesan Datu Soppeng tersebut maka sejak itu terdapat wilayah yang dinamakan Pajalesang.
Objek sengketa “Tana Abbolang” antara Arung Ganra dan Datu Mari-Mari, beberapa pihak meyakini letaknya yaitu sepetak tanah yang berada di tengah Persimpangan Jalan Mari-Mari sekarang (di depan warung Cendol).
sampai detik ini belum diperoleh keterangan apa motivasi Arung Ganra untuk memiliki sebagian tanah tersebut. apakah tanah tersebut adalah tanah pusaka ? atau jangan-jangan terdapat harta yang bernilai tinggi terkubur di bawahnya ? Allahu Allam Bissawab.
*Narasumber:
Wawancara dilakukan oleh Sdr Irsyad (IMPS Ganra) pada tahun 2012 kepada beberapa Narasumber:
- Alm. Bapak H. Andi Badaruddin Andi Abd. Rahman di Ganra;
- Alm. H. Halide di Ganra;
- Bapak Hasan di Akkampeng;
- Bapak H. Ismail di Watansoppeng; dan
- Bapak H. Hamruddin Laide di Lapajung.
*Catatan ;
- Perang Besar terakhir di Tana Bugis;
- Terdapatnya beberapa perbedaan keterangan dari para Narasumber;
- Sejarah Musu Belo masih mengandalkan sumber lisan;
- Narasumber menganggap bahwa peristiwa Musu Belo adalah hal yang sensitif karena melibatkan persoalan keluarga, sehingga menimbulkan kekhawatiran ketika akan menulisnya dalam bentuk buku.
*Kontroversi;
- Perbedaan pendapat tentang Petta PonggawaE yang memimpin Pasukan Bone di Perang Belo;
- Keterlibatan langsung Pasukan Bone dalam perang Belo.
- Perbedaan keterangan mengenai koalisi masing-masing Kedua Raja yang bertikai; dan
- Objek Sengketa “Tana Abbolang” Perang Belo. Adapula yang menyebutnya Persoalan Perbatasan.

Kita bukan pembuat sejarah. Kita diciptakan oleh SEJARAH.
Martin Luther King Jr
Tulisan ini di himpun dan edit oleh :
Dr.Sudirman, M.Si.
Akademisi.
Membuka cakrawala.
Terimakasih pak.
Ternyata ada sejarahnya Musu Belo. Saya cuma sering mendengar kata2 “Makencang na Musu Belo”.Dan saya tidak tahu menahu apa maksud dari perkataan itu. Mgkn juga yg mengeluarkan kata2 itu jg tidak tahu arti dan sejarahnya. Dan tulisan bapak membuka cakrawala pengetahuan saya.
Congrats…..
Salam Literasi.. ..
Musu Belo (1890)
Istilah “maseke’pi na musu Belo” masih sering terdengar dari ungkapan orang tua kita ketika mendapat pangggilan mendadak dari orang lain untuk melakukan sesuatu.
Musu Belo memang adalah peristiwa kelam di masa lalu karena perang melibatkan dua raja yang masih memiliki pertalian darah. awal mula perang ini juga terbilang sepeleh karena hanya mempersoalkan “tana abbolang”. Arung Ganra berdalih bahwa tanah yang ditempati Datu Mari-Mari mendirikan istana sebagian masuk wilayah Ganra. Datu Mari-Mari juga kukuh bahwa ini murni adalah haknya yang harus dipertahankan. setelah perdebatan cukup panjang dan masing-masing tidak ada yang mengalah, akhirnya Arung Ganra dengan nada tinggi spontan berucap “rekko teako mareangnGa sesa’ tana abbolangmu Datu Mari-Mari, lebbi Ko To Mammusu’. dijawab berani oleh Datu Mari-Mari, Rekkoa Iyae Pattujungmu Arung Ganra, To Mammusu’na.
Akhirnya kedua Raja ini berjanji dalam waktu yang tidak terlalu lama akan menghimpun kekuatan masing-masing. Datu Mari-Mari berhasil membujuk Arung Appanang, Arung Galung, Arung Lompengeng, Baso Macanre, Bahkan sampai wilayah Kerajaan Bone dan jauh ke barat melibatkan Kerajaan Balusu (Barru), dimana Pasukan Balusu dipimpin langsung oleh Andi Muhammad Saleh Daeng Parani Arung Balusu.
Sedangkan Arung Ganra dalam waktu yang terbilang singkat berhasil pula menggandeng koalisi dari wilayah Mario (riawa), Kerajaan Sidenreng bahkan sampai ke wilayah Kerajaan Wajo. Pasukan Sidenreng sendiri dipimpin langsung oleh La Pakerrangi Petta Pabbicara Sidenreng.
Dari usaha kedua belah pihak inilah, muncul istilah di kalangan masyarakat Bugis “Maseke’ i Musu Belo” (Mendadak-nya Perang Belo).
Setelah berhasil menghimpun kekuatan, terjadilah peperangan dahsyat itu. di sebelah timur, koalisi perang Datu Mari-Mari meletakkan posisi Ballili’ (meriam) mereka yang menggunakan peluru (tumera) di batang pohon asam. itulah sebabnya daerah itu disebut La Ballili’. sedangkan pertempuran sengit antara orang Balusu dan Sidenreng terjadi di wilayah barat. sangking dahsyatnya pertempuran itu orang Bugis menyebutnya silanro-lanro tau Sidenreng na BalusuE. itulah juga sebabnya daerah itu disebut MallanroE sekarang. Di tempat yang berbeda dikisahkan bahwa di selatan Ganra terjadi juga pertempuran hebat, hampir-hampir saja pertahahan Ganra dibobol oleh orang-orang Balusu setelah berhasil menyebrangi sungai Belo. maka tampillah seorang komandan perang yang berasal dari sidenreng adapula mengatakan berasal dari Daerah Laringgi, Mario (riawa) yang berani di garis terdepan pertahanan Ganra. dikisahkan bahwa tokoh ini mengubur dirinya sedalam betis untuk membuktikan bahwa dia tidak akan lari dari medan perang dan di kemudian hari orang Ganra memujinya dengan gelar Petta TellariE (Tuan yang Tidak Mau Lari) yang makamnya tepat berada di selatan Pasar Ganra sekarang.
Dikisahkan pula bahwa pasukan Sidenreng selama peperangan mengalami kelaparan sehingga semua/beberapa pohon kelapa yang ada di sekitar wilayah Belo & Ganra ditebangnya dan memakan buah kelapa bahkan yang sudah tua, sehingga masyarakat di Ganra untuk menggambarkan peristiwa itu masih sering terdengar istilah “Anre To Sidenreng na” (makanannya orang Sidenreng) untuk menyebut nama lain dari Kelapa yang sudah tua. dalam Perang Belo juga dikisahkan bahwa Lanrang Asena Belo (lumbung Padi Belo) telah dibakar, sehingga muncul “Tanro” (sumpah) dari orang-orang Belo bahwa “Niga-Niga Tuno i Lanrang Asena Belo Pura De’ Jaji Asena Ri MonriE” (Siapa saja yang telah membakar Lumbung Padinya Belo, maka tidak akan pernah jadi tanaman padinya mereka).
Perang Belo juga disebutkan memakan banyak korban di kedua belah pihak. sebagai buktinya di Ganra terdapat banyak lokasi perkuburan tak bertuan yang terletak di Timur Ganra, konon itulah makam para prajurit dari Sidenreng. Hal yang sama di sebelah utara Akkampeng (Uttu) terdapat banyak makam yang disebut sebagai pemilik makamnya orang-orang Balusu.
Perang Belo disebutkan terjadi 15 tahun sebelum peristiwa Rumpa’na Bone (1905). peperangan berlangsung selama 3 hari adapula menyebutnya 5 hari atau 7 hari. Pasukan Bone dikisahkan datang sesudah perang Belo dihentikan oleh Datu Soppeng. Datu Soppeng atas permintaan Arung Ganra datang ke lokasi peperangan setelah berpesan bahwa “Lesangpi EssoE Baja Unoo Papajai Musu’E” (Besok setelah Matahari menyingsing ke Barat saya akan turun menghentikan perang itu). terjadi pada pemerintahan Datu Soppeng ke 34 yaitu Abdul Gani Baso Batu Pute Petta MattinroE ri Pakkasalo. berdasar dari pesan Datu Soppeng tersebut maka sejak itu terdapat wilayah yang dinamakan Pajalesang.
Objek sengketa “Tana Abbolang” antara Arung Ganra dan Datu Mari-Mari, beberapa pihak meyakini letaknya yaitu sepetak tanah yang berada di tengah Persimpangan Jalan Mari-Mari sekarang (di depan warung Cendol). sampai detik ini belum diperoleh keterangan apa motivasi Arung Ganra untuk memiliki sebagian tanah tersebut. apakah tanah tersebut adalah tanah pusaka ? atau jangan-jangan terdapat harta yang bernilai tinggi terkubur di bawahnya ? Allahu Allam Bissawab.
*Narasumber:
Wawancara dilakukan oleh Sdr Irsyad (IMPS Ganra) pada tahun 2012 kepada beberapa Narasumber:
1. Alm. Bapak H. Andi Badaruddin Andi Abd. Rahman di Ganra;
2. Alm. H. Halide di Ganra;
3. Bapak Hasan di Akkampeng;
4. Bapak H. Ismail di Watansoppeng; dan
5. Bapak H. Hamruddin Laide di Lapajung.
*Catatan ;
1. Perang Besar terakhir di Tana Bugis;
2. Terdapatnya beberapa perbedaan keterangan dari para Narasumber;
3. Sejarah Musu Belo masih mengandalkan sumber lisan;
4. Narasumber menganggap bahwa peristiwa Musu Belo adalah hal yang sensitif karena melibatkan persoalan keluarga, sehingga menimbulkan kekhawatiran ketika akan menulisnya dalam bentuk buku.
*Kontroversi;
1. Perbedaan pendapat tentang Petta PonggawaE yang memimpin Pasukan Bone di Perang Belo;
2. Keterlibatan langsung Pasukan Bone dalam perang Belo.
3. Perbedaan keterangan mengenai koalisi masing-masing Kedua Raja yang bertikai; dan
4. Objek Sengketa “Tana Abbolang” Perang Belo. Adapula yang menyebutnya Persoalan Perbatasan.