Oleh: Gugun Gunardi*

Pengantar:

Kampus diidentikkan sebagai lembaga terhormat tempat berhimpunnya para calon cendekia yang akan digodok di kawah candradimuka keilmuan. Tetapi di kampus juga digodok calon pemimpin yang berintegritas tinggi, bermoral, berkarakter, yang akan menggantikan para seniornya, setelah matang dari godokan kawah candradimuka keilmuan dan karakter. Jadi, kampus diibaratkan sebagai tempat penggemblengan manusia-manusia pilihan yang bila lulus dari penggemblengan, mereka diharapkan menjadi manusia yang istimewa.

Oleh sebab itulah, tidak sedikit masyarakat (orang tua) yang kaya, yang menengah, maupun yang pas-pasan, berusaha menitipkan anaknya di kampus, agar kelak setelah lulus menjadi sarjana, akan menjadi sarjana yang sujana, manusia yang andal, manusia istimewa yang dibutuhkan masyarakat. Manusia yang siap memimpin masyarakat melangkah ke era yang lebih baik dari sebelumnya.

Maka di mata masyarakat, kampus dan perguruan tinggi menempati posisi terhormat. Mereka bangga jika generasi penerusnya mendapatkan penggemblengan di kampus. Apa pun yang berasal dari kampus selalu bernilai positif. Mulai dari istilah dosen, mahasiswa, rektor, dekan, dan ketua program studi, terdengar indah di telinga masyarakat. Begitu pun istilah lembaga kemahasiswaan seperti Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM), dan Badan Perwakilan Mahasiswa (BPM), terasa keren diucapkan oleh masyarakat. Pendek kata, apa pun yang bersangkut dengan kampus dan perguruan tinggi, selalu positif di mata masyarakat.

Pembahasan:

Belakangan, kata kampus yang terdengar indah di telinga masyarakat, ternodai oleh beberapa kejadian yang sangat tidak diharapkan. Ibarat “nila setitik rusak susu sebelanga”. Ada dua tiga kampus yang dinodai penghuninya. Tapi nama keren yang disandang kampus, membuat prihatin khalayak banyak yang memberi nilai positif terhadap keberadaan kampus.

Diawali dengan tercorengnya nama baik orang nomor satu di kampus (Rektor) yang menyandang jabatan fungsional tertinggi (Profesor), dan bergelar akademik tertinggi (Doktor), mencoreng nama baiknya melewati jalan gratifikasi. Memasukkan mahasiswa baru pada fakultas favorit, yaitu bermain-main dengan uang sogokan. Padahal selama ini masyarakat sangat percaya bahwa para pimpinan perguruan tinggi dianggap bersih dari praktik gratifikasi. Apalagi dilakukan oleh seorang Rektor yang Profesor. Nyesek rasanya mendengar dan membaca berita tersebut.

Berikutnya, statement salah seorang pimpinan tertinggi di kampus; bahwa “pada tanggal 30 Juni 2023, bukan tidak mungkin, Rektor harus mengeluarkan surat keterangan putus studi (Do) bagi 900 orang mahasiswa angkatan 2016”.

14 semester atau 7 tahun mengikuti proses belajar mengajar (PBM), jika diakhiri dengan kendaraan yang namanya “Wisuda”, tentu sangat menggembirakan mahasiswa ybs., dan orang tuanya. Meskipun dengan PBM sistem kredit semester (SKS) hal tersebut termasuk lama. Tapi pasti disambut dengan senyuman lebar dan kebanggaan mahasiswa ybs., dan orang tuanya.

Sedangkan di perguruan tinggi ini, para mahasiswa yang berjumlah 900 orang akan pergi meninggalkan kampus dengan menggunakan gerbong drop out (DO), yang selama ini menjadi momok yang menakutkan bagi para mahasiswa ybs., orang tua, dan keluarganya. Sungguh sangat menyesakkan dada, perjalanan waktu 7 tahun dan dana yang tidak sedikit dikeluarkan, diakhiri perjalanannya menggunakan gerbong dengan “tiket”, “mahasiswa dengan nama Fulan dinyatakan putus studi (DO)”. Ke mana para dosen wali yang mengawasi dan membina mahasiswa sejak semester 1, 2, 4, 6, 7, dan 8 yang seharusnya bisa mengantarkan mahasiswa lulus di semester 7 atau 8.

Narkoba adalah fenomena masyarakat, apalagi di negara yang melegalkan benda penghancur kehidupan masyarakat tersebut. Pantas jika salah satu kotanya disebut kota zombie. Sedangkan negara kita, adalah negera yang memerangi peredaran narkoba karena sangat sadar akan akibat yang menyertainya.

Kampus, diharapkan menjadi benteng yang sangat kokoh terhadap racun moral ini. Kini benteng itu sudah jebol. Malah di salah satu kampus kedapatan ada bunker narkoba. Meskipun selama ini juga kita tutup mata terhadap oknum pengguna narkoba di kampus. Tapi belum pernah kita dengar ada gudang narkoba di kampus. Entah kurang dipelihara atau lengah, benteng moral itu roboh. Sangat memprihatinkan.

Dari dulu ada kita dengar, ada kampus yang dicabut izin operasionalnya atau ditutup karena terjadi penyimpangan dalam pengelolaanya oleh oknum. Penyimpangan tersebut, berupa penerbitan ijazah Aspal, pemberian nilai mata kuliah yang tidak proporsional, serta penyalahgunaan bea siswa bagi mahasiswa S1. Tetapi jumlahnya tidak melebihi jumlah jari tangan. Kali ini, penyimpangan tersebut dilakukan berombongan, yang tidak pernah terjadi sebelumnya. Lalu, mengapa terjadi pengulangan kekeliruan tersebut. Tidak pernahkah kita menengok ke belakang, sebagai bahan pembelajaran untuk melangkah ke depan lebih baik lagi. Bukankah ada ungkapan; “adalah orang bodoh yang terjerumus pada lubang yang sama”. Padahal kita ada di rumah pembelajaran. “Pengalaman adalah pelajaran terbaik”.

Penutup:

Apa yang penulis ungkapkan adalah sebuah perenungan terhadap kejadian yang kita hadapi. Mengapa hal-hal di atas terjadi setelah Indonesia melewati gerbang proses pembelajaran yang lebih baik. Di mana kekeliruan itu terjadi; Apakah karena kesalahan penempatan orang? Apakah karena kebebasan yang diberikan kepada kampus karena pemerintah percaya. Apakah dunia kampus menjadi lengah karena sudah kurang atau tidak ada yang perlu dikritisi. Tidak seperti dulu. Apakah kita jadi terlena karena banyak kampus menjadi BLU? Apakah karena hubungan civitas akademika kurang solid?

Mari kita analisis bersama untuk mendapatkan formula terbaik untuk memperbaiki kehidupan kampus mendatang. Belajar tidak dibatasi waktu, kita lakukan hingga akhir hayat.

*Penulis: Doktor dan Lektor Kepala, dosen tetap Univ. Al Ghifari Bandung.

(Visited 149 times, 1 visits today)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.