Oleh: Syarief A. Barmawi

Setelah 4 kali terjun bebas bersama tim Pakhas yang TC untuk Kejurnas, kami berangkat ke Jakarta untuk ikut Kejurnas mengatasnamakan diri tim Jawa Barat. Ikut kejurnas, padahal baru 4 kali terjun bebas, konyol memang, tapi mimpi terjun payung menjadi olah raga itu tampaknya terus memanggil, dan selalu ada di hela napasku.

Keren rasanya menggantungkan gogles di leher, sebagai tanda saya penerjun bebas. Saya ingat sahabatku Yapto berkata; “Waah, lu ninggalin kita, janjinya kan mau maju bareng-bareng.”

Sorry Yap, gua duluan dilatih di Thailand, gua udah mampu ten seconds delay – padahal bohong.

Sesungguhnya, saat itu melakukan terjun bebas sangatlah menegangkan. Hanya keberanian yang cenderung nekad sajalah modalnya. 4 kali terjun di Bandung, ada Jump Master. Kita hanya siap dan menunggu instruksi untuk exit. Tapi di kejurnas, semua prosedur kita lakukan sendiri, dan tidak ada yang mengajar kami. Saya hanya meniru gaya para jago dari Paskhas, dari Brimob, dan dari TNI AD. Saya meniru bagaimana berkomunikasi dengan Pilot, tepuk tangan 2x, kasih tanda 2 jari dan ibu jari ke arah kiri yang artinya minta pilot ke arah kiri 2 derajat, tepuk lagi, 2 jari dan ibu jari ke kanan. Sebetulnya kan angger tidak ada perubahan arah, kemudian saya beri tanda tangan seperti memotong leher, artinya minta kecepatan pesawat dikurangi. Kami berdiri dan saya beri tanda ke tim, saatnya exit.

Pagi itu subuh 25 Maret 1972, siap-siap menuju Halim, lokasi Kejurnas. Rasanya saya sakit kepala yang sangat, serasa dihimpit lemari. Saya periksa parachuteku yang sudah siap dipakai. Lha ko ada pertanyaan di hati, kembang ngga ya payungku..? Trus kepalaku ko sakit banget… aah. Mungkin karena ketegangan saja, hatiku menyanggah.

Tiba di Halim, seperti biasa melakukan pemanasan, sementara kepala berdenyut makin terasa.
Saya pasang parachute, saling periksa dengan teman. Semua beres dan kami masuk pesawat Dakota DC 3, lepas landas menuju ketinggian 4500 feet untuk nomor ketepatan mendarat beregu. Tiba saatnya regu kami. Setelah prosedur spotting dilaksanakan, kami exit dan dihantam angin propeller yang saat itu masih mengagetkan. Saya melayang dan cabut handle membuka parachute, lha ko hentakan payung kembangnya ringan. Saya berusaha melihat parachute, tapi kepala rasanya nyangkut di risers, dan alangkah saya kaget ketika bisa melihat parachuteku trouble.

Masa itu, jangankan bisa melakukan cut away (parachute utama yang trouble dilepaskan, kemudian melayang lagi dan secepatnya cabut payung cadangan), istilahnya saja blom pernah denger.
Saya cabut handle payung cadangan. Saya berharap segera berkembang, ternyata bukan mengembang tetapi membalik dan menutupi badan dan tali-talinya tak menentu di tubuh saya. Saya sadar dalam situasi berbahaya. Kepala tertutup canopy payung cadangan, payung utama bermasalah. Muncul satu kata di hati saya, mati..!!

Bila saat itu wajahku di shoot camera, mungkin terlihat ekspresi tidak mau. Namun saya sadar situasinya memang menuju kematian. Tiba-tiba muncul serangkai kata di dalam hati, Yaa Allah, kalau hamba harus mati sekarang, mangga. Hanya saya ingin melihat bumi menyambutku, dan selesai. Maka saya berusaha melepas canopy cadangan yang membungkus kepalaku supaya saya bisa melihat detik takdirku sebelum terhempas. Anehnya, payung cadangan yang menutup tubuhku lepas dan tali-talinya terurai dengan sendirinya. Saya melihat masih ada ketinggian yang membuat saya semangat berusaha agar cadanganku bisa mengembang. Entah mulutku, entah hatiku, saya hanya tahu, saya berteriak Allahu Akbar tak berhenti.

Dalam saat kritis itu, tiba-tiba saya melihat wajah adik perempuanku, sangat jelas. Belakangan hari saya paham maknanya. Payung cadangan sudah mau naik, colaps lagi berulang seperti itu sampai akhirnya Alhamdulillah payung cadanganku terbuka sekitar 300 feet dari tanah. Saya mencari titik pendaratan, sementara di bawah saya lihat banyak orang berlarian dan ada mobil yang ternyata ambulance yang siap menolong. Saya mendarat dengan posisi berdiri untuk memperlihatkan kepada siapa pun saya tidak apa-apa. Setelah itu baru saya bersujud.

Banyak yang memelukku, mensyukuri. Saya diperiksa dokter, dan dokter mengatakan, anda tidak boleh lanjut kejurnas ini. Saya protes habis. Saya ga apa-apa. Saya oke, mendarat pun saya berdiri. Dokter masih berkata, ya, tapi anda kan schok. Saya jawab, ya, saya hanya perlu istirahat.
Sorenya, lipat lagi parachute dan besok pagi saya terjun lagi, ikut kejurnas sampai selesai.

(Visited 61 times, 1 visits today)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.