Oleh: Ruslan Ismail Mage*

Media sosial tidak hentinya memakan korban lagi. Fenomena beberapa suami yang sedang menjabat di instansi pemerintah akhirnya dicopot atau diperiksa KPK, karena kegemaran istrinya flexing di media sosial menarik dianalisa. Mengutip Urban Dictionary, flexing adalah tindakan menyombongkan diri tentang hal-hal yang berhubungan dengan uang, seperti berapa banyak uang yang kita miliki atau barang mahal apa saja yang kita koleksi. Dengan demikian, secara sederhana, flexing adalah pamer.

Seorang pejabat dicopot dari jabatannya sebagai buntut tindakan istrinya yang kerap flexing atau memamerkan kekayaan di media sosial. Sang istri sering membagikan gaya hidup mewahnya di Instagram pribadinya, seperti berpose di luar negeri dengan memegang tas mewah merek Hermes. Entah kenapa tas adalah salah satu jenis barang mewah yang kerap kali dipamerkan di media sosial.

Lalu apa hubungan tas dengan Anies Rasyid Baswedan? Apakah ada keluarganya gemar flexing tas Hermes di media sosial? Jangan keburu sinis dulu sebelum selesai membacanya. Walaupun pembahasan masih seputar tas juga, namun yang pasti tidak ada hubungannya dengan flexing. Kata flexing tidak ada dalam kamus kehidupan keluarga Anies.

Tiga TAS mewah yang dimiliki Anies harganya terlalu mahal kalau hendak disandingkan dengan tas merek Hermes. Bahkan bisa jadi mesin kalkulator sekali pun tidak mampu menghitung berapa digit harganya. Salah satu TAS paling mahal yang dimiliki adalah kombinasi produk lokal dan internasional. Kalau dipersentasekan, bisa disebut 50 persen produk lokal 50 persen produk internasional. Setelah setengahnya selesai di Yogyakarta dikirim lagi ke Jepang dan Amerika Serikat untuk disempurnakan. Itulah yang membuatnya sangat mahal, karena didesain di tiga negara. Lebih jelasnya berikut tiga TAS mewah Anies yang dimaksud.

EtikabiliTAS

Konsep etikabilitas yang dipopulerkan Rocky Gerung untuk mengukur perilaku pemimpin berasal dari kata etika. Sementara etika dalam berbagai perspektif ahli memiliki narasi berbeda, tetapi intinya sama yaitu, “Suatu nilai yang menjadi pandangan atau pegangan moral dan norma berperilaku dalam kehidupan”. Dari beberapa ahli mendefinisikan etika, satu diantaranya perlu dijadikan acuan. Menurut Aristoteles dalam bukunya “Ethika Nikomakheia” menekankan kepada kebijakan dan moral, tata cara dan adat yang melekat dalam diri individu, serta terkait dengan baik dan buruknya tingkah laku.

Dalam Islam, etika diistilahkan dengan akhlak yang berarti budi pekerti, tabiat atau watak. Berdasarkan itu etikabilitas dalam perspektif tulisan ini adalah, “Kemampuan yang dimiliki seseorang untuk konsisten memilih jalan norma. Suatu jalan sunyi di tengah keramaian orang melanggar norma”. Ada empat norma yang membingkai etika, yaitu norma agama, hukum, kesopanan, dan kesusilaan. Kalau terjadi pelanggaran secara sadar satu saja dari empat norma itu, dipastikan etika seseorang akan jatuh berkeping-keping di ruang publik.

Coba membedah etikabilitas Anies menggunakan pisau empat norma di atas. Pertama, norma agama sebagai panduan apa yang harus dilakukan dan tidak dilakukan dalam kehidupan berdasarkan ajaran agama. Dalam konteks ini belum pernah ada etika dan perilaku Anies yang sengaja melanggar nilai-nilai agamanya Islam. Kedua, norma hukum sebagai aturan yang dibuat untuk mengatur tingkah laku manusia hidup bermasyarakat. Dalam konteks ini, belum ada etika dan perilaku Anies melanggar ketertiban umum, mengambil hak orang lain, atau menyalahgunakan wewenang dan kekuasaan yang menyebabkan kerugian banyak pihak, terlebih merugikan negara.

Ketiga, norma kesopanan sebagai aturan perilaku yang pantas dan tidak pantas, sopan dan tidak sopan dalam melakukan interaksi sosial sehari-hari. Sebagai makhluk sosial Anies sangat humanis menghargai sesama. Sebagai pemimpin tidak membeda-bedakan rakyatnya, semua diakomodasi dan diberi solusi permasalahan yang dihadapi secara santun. Jangankan menghardik atau membentak rakyat yang menemuinya, mengabaikannya saja tidak dilakukan. Hidup apa adanya tanpa kepalsuan.

Keempat, norma kesusilaan sebagai aturan yang terdapat di masyarakat yang bersumber dalam hati nurani seseorang untuk melakukan tindakan yang baik dan menghindari tindakan buruk. Sebagai anggota masyarakat, Anies bersama seluruh keluarga konsisten hidup lurus berpatokan pada agama yang diyakini. Sangat menjaga dan menjunjung tinggi nilai-nilai moralitasnya sebagai suami, ayah, sahabat, kolega, dan pemimpin.

Jadi konsistensinya memilih jalan norma, membuat etikabilitas Anies tinggi tidak tergoyahkan oleh badai hedonis dunia yang datang berhembus dari seluruh penjuru mata angin. Baik sebagai makhluk sosial terlebih sebagai pemimpin yang diberi amanah tidak tergoyah moralitasnya. Etikabilitas sangat penting bagi seorang pemimpin, karena menurut filsuf Prancis abad 14 Nicholas de Farand, “Membangun di atas kebohongan dan kepalsuan adalah laknat bagi peradaban masa depan”. Jadi inilah TAS mewah pertama Anies bermerek etikabiliTAS.

IntelektualiTAS

Intelektualitas adalah kemampuan seseorang dalam berpikir, menalar, dan memecahkan masalah secara logis dan sistematis. Karena itu memiliki posisi sentral dalam melakukan perubahan di hampir segala dimensi kehidupan, tidak terkecuali dalam politik. Namun tidak bisa lahir secara instan, tetapi harus melalui proses belajar yang terus-menerus dan konsisten.

Bung Hatta menyebut kaum inteligensia punya peran yang signifikan membawa arah perubahan dalam lintasan sejarah bangsa Indonesia, salah satunya dalam membentuk kesadaran politik modern”. Bagi Bung Hatta seorang intelektual tidak boleh bersikap pasif, harus aktif melakukan pergerakan menuju perbaikan bangsanya.

Bisa jadi Anies Rasyid Baswedan terinspirasi dari Bung Hatta, sehingga sejak di bangku sekolah sampai perguruan tinggi tidak pernah pasif. Selalu aktif meningkatkan kadar intelektualitasnya hingga dianggap cekatan dan dipercaya bergabung dalam Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS) dari SMP sampai SMA. Pertumbuhan intelektualitasnya di atas rata-rata ditambah jiwa kepemimpinannya yang terus diasah membuatnya dipercaya sebagai ketua senat universitas di UGM Jogyakarta.

Sebagai seorang intelektual, kehidupannya tidak jauh dari dunia kampus. Setelah menyelesaikan studi S3 ilmu politik di Northern Illionis University, Anies masuk kampus lagi. Pada 15 Mei 2007 dalam usia 38 tahun, Anies secara resmi dilantik menjadi Rektor Universitas Paramadina Jakarta, dan dinyatakan sebagai rektor termuda di Indonesia. Pada Pemilu Presiden 2009, Anies salah satu tokoh muda intelektual yang dipercaya menjadi moderator dalam debat capres dengan tema “Mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih serta menegakkan supremasi hukum.”

Kalau berbicara intelektual pasti muaranya adalah kampus, karena kampus adalah industri otak. Itu berarti kadar intelektualitas Anies sangat tinggi, karena hidupnya sebagian besar di kampus. Mulai dari mahasiswa, sarjana S1, S2, S3, sampai menjadi rektor yang mencetak intelektual. Jadi Anies adalah intelektual yang mencetak intelektual. Inilah mungkin yang disebut maha terpelajar.

Dalam studi terhadap 90 pemimpin dari berbagai bidang, ahli kepemimpinan dunia, Warren Bennis dan Burt Nanus menemukan hubungan antara pertumbuhan dengan kepemimpinan. Menurutnya, “Pemimpin sejati adalah orang yang belajar berkelanjutan, sebagai hasil dari disiplin diri dan ketekunan”. Itulah kenapa intelektualitas penting dalam kepemimpinan, agar ketika merumuskan dan mengambil kebijakan tidak memakai kepala orang lain. Nelson Mandela sudah mengingatkan, “Kalau pemimpin membaca teks atau konsep berarti dalam kepala pemimpin tersebut sudah ada kepala orang lain”. Jadi sangat fatal akibatnya kalau seorang pemimpin tidak memiliki daya jelajah intelektual. Anies adalah contoh terbaik pemimpin yang memiliki intelektualitas tinggi yang dimiliki negeri ini. Jadi TAS mewah kedua yang dimiliki Anies adalah intelektualiTAS yang didesain tiga negara, Indonesia, Jepang, dan Amerika serikat.

ElektabiliTAS

Sesungguhnya tidak terlalu sulit untuk mendapatkan deskripsi awal mengenai elektabilitas seorang tokoh publik. Cukup menggunakan dua alat ukur saja, yaitu etikabilitasnya dan intelektualitasnya. Kalau etikabilitasnya tinggi ditandai dengan tidak adanya pelanggaran norma, ditambah dengan rekam jejak intelektualitasnya dalam proses merumuskan dan mengambil kebijakan yang berpihak kepada rakyat, pasti berbanding lurus dengan elektabilitasnya di ruang publik.

Maksudnya, kelau nilai etikabilitasnya dan intelektualitasnya tinggi mewarnai dalam setiap proses pengambilan kebijakan yang merakyat, dipastikan juga elektabilitasnya tinggi. Persoalannya kemudian, elektabilitas di panggung demokrasi bukan lagi murni suara hati publik, tetapi sudah ada intervensi kepentingan ekonomi dan politik di dalamnya.

Dalam ruang demokrasi, sulit dihindari kepentingan ekonomi dan politik sudah berselingkuh dalam mengukur elektabilitas seseorang. Modal dibutuhkan karena menggunakan metode survei berbiaya tinggi untuk mengetahui persepsi publik sebagai alat ukur merancang dan mendesain bangunan elektabilitas. Artinya hanya orang atau kelompok bermodal yang bisa membiayai survei. Artinya lagi secara otomatis bisa diarahkan sesuai kepentingan pemodal.

Lalu bagaimana dengan elektabilitas Anies menuju Pemilu 2024? Kalau berdasarkan survei berbayar seperti yang sering dipublish hasilnya selama ini, nampak jelas Anies selalu berada di posisi ketiga di bawah Ganjar Pranowo dan Prabowo Subianto. Kalau pun ada hasil survei yang berbeda, yang bergeser hanya posisi pertama dan kedua, sementara Anies mentok di posisi ketiga.

Pertanyaan menarik yang mengikuti hasil survei berbayar itu, bagaimana menyikapi hasil survei politik yang hasilnya seragam selalu memposisikan Anies pada posisi ketiga? Jawabannya, silakan berjalan mundur ke hasil Pilkada DKI Jakarta 2017 sebagai perbandingan.

Dikutip dari republika.co.id ada lima survei pada Pilkada DKI 2017 yang hasil surveinya dijungkirbalikkan oleh Anies Rasyid Baswedan. Hasilnya bertolak belakang dengan kenyataan di lapangan. Kelima lembaga survei itu Poltracking pimpinan Hanta Yuda, Indikator Politik Indonesia pimpinan Burhanuddin Muhtadi, Charta Politika pimpinan Yunarto Wijaya, Lingkaran Survei Indonesia (LSI) pimpinan Denny JA, dan Lembaga Survei Indonesia (LSI) pimpinan Dodi Ambardi. Hasil kelima lembaga survei itu menjelaskan Anies gagal masuk putaran kedua, tetapi kenyataannya Anies-Sandi berselancar masuk putaran kedua dan menang telak lawan Ahok-Djarot.

Dengan melihat realitas survei berbayar yang hasilnya bisa bertolak belakang dengan kenyataan, berarti menuju Pemilu 2024 suatu kekeliruan kalau percaya elektabiltas Anies konsisten di posisi ketiga. Bisa jadi kenyataan yang terjadi sebaliknya seperti pada Pilkada DKI 2017. Jadi biarlah elektabilitas Anies selalu nomor tiga di mata survei berbayar, yang penting elektabilitas Anies tinggi di hati rakyat. Karena Anies ingin menjadi presiden rakyat bukan presiden survei. Inilah TAS mewah ketiga Anies elektabiliTAS di hati rakyat.

*Inspirator dan penggerak, penulis buku-buku motivasi dan politik

(Visited 111 times, 1 visits today)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.