Oleh : Ruslan Ismail Mage
Segerombolan burung yang terbang melintasi langit Indonesia tiba-tiba bertasbih memuji Tuhan. “Maha Besar Engkau ya Allah telah menciptakan negeri seindah dan sekaya ini. Maha Kuasa Engkau ya Allah memindahkan surgamu ke negeri ini”. Bangga menjadi orang Indonesia, itu sudah pasti dan tidak perlu diragukan lagi. Rasa cinta tanah air tidak pernah akan bergeser sejengkal pun walau rupiah tidak mencintai kami (rakyat kecil walaupun sudah bekerja seharian baru cukup untuk tidak kelaparan besok harinya). Bangga menjadi orang Indonesia, karena pendiri bangsa ini menyiapkan konsep kenegaraan yang jelas, menitipkan filosofi hidup yang agung, menyiapkan navigasi penunjuk arah perjalanan bangsa ke depan, dan mewariskan dasar negara yang luar biasa dahsyatnya.
Kalau sejarah perjalanan bangsa Indonesia mampu melewati beberapa badai, itu karena kekuatan “Pancasila” dengan lima silanya dan 36 butirnya. Lalu kenapa mesti ada pemikiran ngawur menurut istilah Prof. Dr. Yudi Latif yang hendak memeras lima silanya. Kalau burung garuda bisa berteriak, ia pasti sudah kehabisan suara berteriak mengingatkan, “Wahai anak-anak bangsa yang hidup di negeri surga, kalian telah melakukan kesalahan fatal kalau membiarkan lima silaku diperas menjadi trisila yang berujung ekasila. Suatu saat tanah negeri yang engkau cintai sebatas mulut saja, perlahan akan hilang dalam peta dunia”.
Menyedihkan sekaligus mengkhawatirkan. Menyedihkan karena penguasa pasca reformasi hanya membiarkan Pancasila sebagai simbol yang diteriakkan di forum-forum, tanpa mengaplikasikan secara sistematis dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Mengkhawatirkan, karena pelanggaran nilai-nilai Pancasila setiap saat bisa dijumpai tanpa punishment. Sedemikian bergesernya nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-sehari sampai budayawan Sudjiwo Tejo mengungkapkan kekecewaannya, “Pancasila itu tidak ada, yang ada hanya gambar garuda Pancasila dan teks Pancasila”.
Pernyataan menyadarkan itu disampaikan Sudjiwo Tejo di acara Indonesia Lawyers Club (ILC) yang dipandu oleh Karni Ilyas di TVone. Menurutnya jika Pancasila ada, lapangan pekerjaan tidak sulit dan iuran BPJS tidak akan memberatkan masyarakat. Kalau Pancasila itu ada, air kita tidak beli, dan perusahaan-perusahaan milik negara saldonya nol karena tidak mengejar keuntungan. Kalau Pancasila ada, kenapa bayar iuran BPJS sampai gencet-gencet masyarakat, diancam tidak boleh perpanjang SIM. Mana Pancasilanya? Jelasnya.
Pernyataan sekaligus pertanyaan Sudjiwo Tejo di atas bisa menyadarkan dan membiarkannya. Menyadarkan bagi pemimpin yang memiliki keberpihakan kepada rakyat, dan pemahaman bahwa setiap tingkatan kepemimpinan akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah Swt. Membiarkannya seperti angin lalu bagi pemimpin yang tidak memikirkan nasib rakyat dan mementingkan keuntungan diri sendiri dan kelompoknya. Dari sinilah pentingnya Indonesia memiliki pemimpin yang mampu mengembalikan kedigdayaan Garuda Pancasila dalam pengelolaan negara sebesar Indonesia dengan segala macam keanekaragamannya.
Pancasila Ditumbuhkan Bukan Ditanam
Menyadari pentingnya Pancasila sebagai pedoman pengelolaan negara dan pemersatu bangsa, Anies Rasyid Baswedan sebagai Gubenur ketika pertama kali memasuki balai kota DKI Jakarta langsung mengatakan, “Pancasila harus diterapkan dalam memimpin ibukota. Pancasila harus menjadi kenyataan di Ibu kota”. Komitmen itu sudah dibuktikannya selama menjadi Gubernur DKI Jakarta.
Menjamin kemerdekaan setiap warga DKI Jakarta tanpa diskriminasi untuk beribadah menurut agama dan kepercayaannya kepada Tuhan Yang Maha Esa. Pendekatannya kemanusiaan dalam membangun tempat tinggal bagi warga yang digusur pemerintah sebelumnya. Jakarta damai dan aman menunjukkan persatuan tercipta dalam kehidupan masyarakat. Balai kota DKI selalu terbuka untuk bermusyawarah mendengar suara rakyat. Tidak ada diskriminasi dalam pelayanan, warga kelas bawah difasilitasi sebagai perwujudan keadilan sosial untuk semua.
Karena itu, menurut Anies, Pancasila harus “Ditumbuhkan bukan ditanamkan”. Jika ditanam bisa dicabut atau lepas dari akarnya. Itulah yang selama ini terjadi, ditanamkan lewat penataran makanya tidak tumbuh. Namun kalau ditumbuhkan tidak akan lepas karena akarnya jauh masuk ke dalam tanah. Jadi kalau Pancasila tumbuh dalam jiwa anak-anak negeri, akarnya sudah jauh masuk menelusuri urat nadi, dan sudah susah lagi tercabut. Dengan sendirinya berpancasila itu menjadi sebuah kebiasaan, dan kalau sudah kebiasaan itu nanti menjadi kebudayaan.
Sebagaimana dikutip dari detik.com, Anies menjelaskan, Pancasila sebagai sebuah prinsip dasar negara sudah menjadi rujukan bagi semua. Karena itu harus diperjuangkan terus agar pancasila menjadi kenyataan dalam kehidupan kita sehari-hari. Penerapan Pancasila dalam kehidupan berbangsa, akan terealisasi bilamana sila kelima “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia” terwujud. Karena begitu keadilan tercapai, muncul kedamaian, persatuan dan kita bisa menjaga agar suasana kemanusiaan yang beradab bisa kita lakukan.
Menurut Anies, warga negara harus dijamin kemerdekaannya menjalankan agama dan kepercayaan masing-masing. Ketuhanan selayaknya menjadi landasan kehidupan warga dan bernegara sebagaimana sila pertama Pancasila, “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Hidup di negara kesatuan jangan sampai ada yang terpinggirkan. Negara harus dikelola secara manusiawi dan beradab sebagaimana sila kedua Pancasila, “Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab”.
Untuk mengelola negara yang begitu besar dengan segala macam keanekaragamannya, kita wajib bersatu sesuai sila ketiga Pancasila, “Persatuan Indonesia”. Dikutip dari nusantara.rmol.id, persatuan menurut Anies, harus diwujudkan untuk meruntuhkan sekat-sekat antara ruang yang berkemampuan ekonomi dan yang tidak.
Dalam mewujudkan prinsip itu, tidak dengan cara topdown tetapi mengembalikan musyawarah sebagai tradisi. Negara harus dengarkan kata rakyat untuk menghadirkan kesepakatan, karena dalam kesepakatan itu terdapat kebermanfaatan. Ujungnya yang paling penting kita perjuangkan adalah pelaksanaan sila kelima Pancasila yaitu “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.
Pemahaman Anies terhadap lima sila Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sungguh mendalam dan membuat optimisme sebagai anak bangsa menyala kembali. Sejatinya lima sila Itulah yang akan menjadi kompas perjalanan Indonesia ke depan. Terima kasih telah mengembalikan dan menumbuhkan garuda di dadaku.
*Inspirator dan penggerak, penulis buku-buku motivasi dan politik