Oleh: Gugun Gunardi*

“Goweser” adalah istilah yang menjadi trending saat ini yang menjadi identitas para pencinta pengayuh pedal yang setia bersepeda. Baik untuk yang sehari-hari biasa menggunakan sepeda sebagai alat transportasi. Bisa juga bagi yang menggunakan sepeda untuk rekreasi, sendiri maupun berkelompok.

Akhir-akhir ini para goweser semakin banyak karena aktivitas menggenjot pedal sepeda ini, selain menyehatkan, juga membangun silaturahmi antar pencintanya. Pemerintah pun memfasilitasi dengan membuat jalur khusus untuk para goweser. Meskipun hanya dengan mengecat sebagian jalan untuk para goweser, hal tersebut menunjukkan perhatian pemerintah untuk para goweser.

Saat ini, para goweser pada umumnya lebih suka memakai semacam sepeda balap. Sepeda dengan ban sepeda yang kecil dan pelek sepeda yang ramping. Dulu bentuk pelek dan ban sepeda seperti ini hanya diperuntukkan bagi para pembalap sepeda saja. Kalau sekarang, kebanyakan dari para goweser yang bertualang dengan menempuh jarak jauh menggunakan sepeda dengan pelek ramping dan ban kecil ini.

Kebiasaan bersepeda dari zaman dahulu sebetulnya sudah ramai. Malah sebelum banyak pengguna motor produk Jepang, pada dekade tahun 70-an, para pelajar lebih suka menggunakan sepeda, terutama sepeda yang dianggap trendi saat itu yaitu sepeda kumbang.

Penulis sendiri sejak kelas 4 SD, yaitu tahun 1968 karena pindah tempat tinggal, dari Jl. Ciateul ke Jl. Moch. Toha – Cigereleng untuk pergi ke sekolah menggunakan sepeda. Sepeda yang digunakan adalah sepeda ontel pemberian Kakakku R.H. Samsikin Wangsaatmadja (Kang Kingking alm). Alm yang mengajarkan bagaimana hidup berhemat dengan bersepeda, biar badan menjadi lebih sehat, karena tiap hari berolah raga yang tidak terasa dan tidak disengaja. Menurut alm, dengan bersepeda bisa pergi keliling kota Bandung, hemat, aman, dan menyehatkan.

Meskipun tidak kelihatan modern, tapi saat itu hampir kebanyakan para pesepeda menggunakan sepeda jenis itu. Adapun yang menggunakan sepeda kumbang adalah mereka (siswa-siswa) yang orang tuanya termasuk golongan berada atau orang kaya, karena harga sepeda kumbang termasuk mahal.

Kini sepeda ontel banyak digunakan sebagai fashion. Para pencintanya melengkapi diri dengan berpakaian seragam ala pejuang jaman baheula. Terlihat menarik dan lucu layaknya sebuah carnaval para pejuang yang bersepeda. Mengulang kenangan lama memang sangat mengasyikkan. Apalagi dilakukan bersama-sama dengan komunitas dalam perkumpulan pencinta sepeda ontel.

Kalau saja bergowes saat ini menjadi kebiasaan transportasi masyarakat, maka akan lebih banyak sisi positifnya. Pertama, polusi udara di lingkungan perkotaan dapat terkendali. Kedua, transportasi murah meriah dapat diraih lagi, terutama bagi para pelajar. Ketiga, secara tidak langsung dengan bergowes, masyarakat menjadi lebih sehat, karena melakukan olah raga tiap hari. Keempat, kebiasaan anak di bawah umur yang suka menggunakan sepeda motor dapat ditekan. Kelima, lahan parkir tidak perlu luas-luas. Dan keenam, bisa jadi kecelakaan lalu lintas akibat banyaknya pengguna sepeda motor bisa ditekan.

Masyarakat biasanya perlu contoh. Mungkin jika para pejabat, para pesohor (artis), para tokoh masyarakat mau menggunakan kembali sepeda sebagai alat transportasi jarak dekat dan menengah. Bisa jadi, masyarakat Indonesia menjadi goweser, menjadi pencinta berkendaraan sepeda, fisiknya lebih sehat, dan bisa menekan uang transpor harian. Maka, gowes akan menjadi kebiasaan masyarakat kita, bukan fashion lagi.

Kalau hal tersebut terwujud, tentu pengusaha angkot dan sopir angkot akan mengeluh. Tetapi, mereka masih punya lahan garapan transportasi jarak menengah dan jarak jauh, bagi mereka yang enggan bersepeda.

Jika budaya gowes dihidupkan kembali, maka dengan dihidupkannya budaya bersepeda, tanaman dan taman kota akan hijau royo-royo, seperti pada awal pandemi covid karena udara sekitar menjadi bersih. Dan yang lebih penting, bisa menekan pengguna sepeda motor di bawah umur, yang rentan akan kecelakaan lalu-lintas. Semoga pencinta gowes membudaya, agar udara sekitar menjadi lebih sehat, dan lalu lintas menjadi lebih tertib.

Semoga pemberi sepada ontel kepada penulis, Alm R.H. Samsikin Wangsaatmadja, termasuk ahli surga. Aamiin Yaa Rabbal Alamiin.

*Penulis: Dosen Tetap FASA Unfari Bandung.

(Visited 125 times, 1 visits today)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.