Timor Leste yang lahir di era modernisasi, kini menghadapi dilematis pendidikan, bagai buah simalakama “kalau dimakan ibu mati, tidak dimakan ayah mati”, itulah pendidikan Timor Leste saat ini.
Dari segi fasilitas pendidikan masih sangat minim dibanding dengan negara-negara berkembang dan maju lainnya. Meski telah berdikari selama 24 tahun lepas dari NKRI, tapi masalah pendidikan tidak pernah tuntas.
Dilihat dari kualitas, pendidikan Timor Leste yang dikelola oleh pihak swasta masih mending dibanding dengan pihak negeri. Anak-anak pejabat dan petinggi negeri ini bermigrasi ke sekolah swasta, sedangkan anak rakyat jelata negeri setengah pulau ini, ditampung di sekolah negeri yang fasilitasnya sangat minim dan tidak berbobot.
Dibanding dengan okupasi Indonesia selama 24 tahun, pendidikan yang dibuka oleh pemerintah lebih unggul dibandingkan dengan swasta, tapi di era kemerdekaan justru terbalik. Entah dari fasilitas, sumber daya manusia, kurikulumnya, tidak mendukung dalam proses belajar mengajar. Pemerintah adopsi pendidikan model Eropa, dari Portugual, sehingga bahasa yang digunakan semuanya dalam bahasa Portugis berdasarkan pada Konstitusi RDTL, sedangkan kebanyakan masyarakat tidak bisa berbahasa portugis. Bahasanya memang dari Portugal, tapi Ilmunya dari Brazil.
Guru-guru kebanyakan belum menguasai bahasa Portugis, ada segelintir yang ikut kursus dasar tapi macet di tengah jalan, karena sehabis kursus, tidak mengaplikasikan ilmu yang diterima di lingkungannya, pulang dengan bahasa daerahnya masing-masing, sehingga tidak bisa berbahasa portugis. Dibanding dengan okupasi Indonesia dulu, mereka datang memenuhi negeri setengah pulau ini, dan bergaul bebas dengan masyarakat, sehingga bahasa Indonesia cepat merakyat. Mereka yang tahu bahasa Portugis adalah di sekolah CAFE (Centro de Aprendizagem e Formação Escolar) atau Pusat Pembelajaran dan Pelatihan Sekolah saja, yang lain macet semua.
Pada suatu hari, saya curhat dengan teman sekolah saya yang juga guru di negara tetangga Indonesia. Ia bertanya padaku, “bagaimana dengan pendidikan di Timor Leste?” Jawabku, “kami disini kurikulumnya dalam bahasa portugis, lalu guru-guru menjelaskan dalam bahasa Tetun dan anak-anak mengerti dalam bahasa Indonesia”. Dia heran, kok githu? Memang kenyataannya demikian. Karena negara kecil ini berada di persimpangan jalan dua negara raksasa Australia dan Indonesia.
Apalagi anak-anak jaman now, yang hanya mementingkan gadget daripada buku, waktu mereka banyak menghabiskan pada gadget dan tidak pernah menyentuh buku untuk membaca. Bagi mereka diluar dan di dalam sekolah sama saja. Apalagi peraturan pemerintah yang mengikat guru dan membebaskan para murid, mereka semakin berkeliaran dan nakal bagai serigala di alam bebas semau gue. Guru tidak berhak membentak, menghukum, apalagi memukulnya, nanti guru yang masuk penjara, murid bebas berkeliaran.
Di sekolah guru masuk sekolah mengajar, sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkannya. Mengajar dan hanya sekedar mengajar tapi tidak memperhatikan tata karma, sopan santun, moralitas, etika kedua belah pihak. Masuk dan tidak masuk sama saja, murid juga mau ikut materi atau tidak terserah. Karena peraturan telah mengikat para guru untuk berdiam diri dan hanya fokus pada materinya, sedangkan murid-murid diberi kebebasan seluas-luasnya. Sehingga hasilnya dipertanyakan? Kemanakah negeri ini akan dibawa? Kalau arah dan tujuan pendidikannya tidak jelas, dan peraturannya tidak ketat pada para muridnya. Malah murid yang mengatur lagi para guru untuk mengikuti kemauannya.
Meski letak geografis Timor Leste di persimpangan jalan, menggunakan banyak bahasa, tapi tidak menguasai salah satu bahasa, maka akan kewalahan jika menghadapi penulisan skripsi. Menurut Konstitusi RDTL ada dua bahasa resmi yakni Tetun dan Portugis tapi tidak menguasai salah satu bahasa tersebut akan mengalami kendala di akhir studi di perguruan tinggi nanti.
Pendidikan yang baik adalah pendidikan yang mempunyai visi dan misi tertentu sesuai dengan motto dan lambang negara tersebut. Tujuan utamanya adalah memanusiakan manusia dalam bidang apa saja demi tercapainya tujuan yang dinginkan, dalam membentuk sumber daya manusia yang diperlukan oleh segala instansi terkait. Tetapi sekolahnya saja pling-plang, tidak mau belajar, dan berbuat semau gue…apa jadinya nanti?
Semoga pemerintah ke-9 ini dapat membuat peraturan yang ketat bagi para murid di sekolah agar dapat tenang dan belajar, supaya kelak mereka dapat meneruskan cita-cita bangsa ini, layaknya bangsa-bangsa lain di dunia. Bukan hanya bertepuk sebelah tangan dengan mengikat para guru untuk bereaksi, tapi buatlah peraturan yang adil untuk guru dan murid demi kelangsungan pendidikan yang berkualitas bagi negeri buaya Timor Leste kini dan nanti.
By Aldo Jlm
Edisi BN-Lpls, 120923
Prof. ESG LAT-Lospalos