Ungkapan “Life begins at 40” adalah sebuah pepatah yang sering kita dengar. Banyak yang merasa bahwa usia 40 adalah awal dari babak baru dalam kehidupan. Tidak hanya menjadi bahan obrolan sosial, ungkapan ini mencerminkan pandangan yang positif tentang penuaan dan peluang yang ada ketika seseorang mencapai usia empat puluhan.
Ada persepsi bahwa pada usia 40 seseorang telah mencapai tingkat kematangan dan pengalaman yang signifikan dalam kehidupan. Mereka telah menghadapi berbagai tantangan, mempelajari banyak pelajaran, dan tumbuh sebagai individu. Pada tahap ini, seseorang mungkin merasa lebih nyaman dengan diri mereka sendiri dan lebih mengenal apa yang mereka inginkan dalam hidup. Inilah yang membuat banyak orang merasa bahwa kehidupan mereka benar-benar mulai berarti di usia empat puluhan.
Selain itu, usia ini juga sering kali menjadi waktu untuk merenung. Orang mulai melihat kembali perjalanan hidup mereka, mengambil pelajaran dari kesalahan dan keberhasilan masa lalu, serta menentukan arah yang ingin mereka ambil di masa depan. Pada usia ini, refleksi semacam ini dapat memicu perubahan yang signifikan dalam prioritas dan aspirasi seseorang.
Aku baru saja menyelesaikan desain dan mempostingnya di media sosial. Sekadar untuk menghirup udara segar, aku beranjak ke teras kantor. Sambil menikmati secangkir Americano, kulepas pandangan ke Sungai Mahakam yang tepat berada di hadapanku.
Sepertinya ada beberapa pesan WhatsApp masuk. “Apa ini? Innalillah… Siapa yang meninggal?” pikirku sambil scroll up pesan di grup. Benarkah berita duka ini? Segera kucari riwayat percakapan dan kutekan ikon WhatsApp Call.
“Kang, leres eta kabar teh?”
“Muhun, Ayi.”
“Innalillah… Ayeuna Akang di mana?”
“Hatur nuhun, Ayi. Ieu Akang meluncur ka bandara, bade ngabujeng ke Purwakarta.”
Tenyata benar, ibu dari Pak Haji, salah satu pengurus Paguyuban Warga Sunda Samarinda meninggal dunia. Aku pun bergegas kembali ke meja kerja. Sat…set…sat…set… tidak lebih dari sepuluh menit aku sudah menyelesaikan desain gambar ucapan turut berduka cita untuk dibagikan di grup.
Dua minggu kemudian
“Ayi, di mana?”
“Masih di kantor, Kang. Kumaha kitu?”
“Ba’da Magrib ka As-Salam, nya? Urang sareng takziyah ka Kang Asep, ramana ngantunkeun.”
Innalillah, bapaknya Ketua Paguyuban Warga Sunda Samarinda meninggal dunia. Aku lihat jam sudah hampir pukul 17:00. Aku pun bergegas mematikan komputer dan merapikan meja kerja. Gaskeun! kupacu motorku melintasi Jembatan Mahakam IV dan menyusuri tepian Sungai Mahakam ke arah Kota Samarinda.
Suasana di rumah duka di Jalan AWS cukup padat. Selepas jenazah dimandikan, dikafani, dan disalatkan, kami duduk-duduk di pinggir jalan sambil menunggu jadwal mobil jenazah berangkat ke bandara. Rencananya jenazah akan dibawa terbang dan dimakamkan di kampung halamannya di Cianjur.
“Ayi kedah bersyukur.”
“Kumaha kitu, Kang?”
“Ibu dan bapak masih ada, kan? Jimat eta teh…”
“Muhun, Kang.”
“Mumpung Ibu dan Bapak masih hidup, bahagiakan mereka.”
Aku terdiam mendengar perkataan Pak Haji. Aku langsung teringat Ibu dan Bapak di Sumedang.
“Kapan terakhir nelepon Ibu?”
“Eh…”
Aku mencoba mengingat kapan terakhir menelepon Ibu, mungkin seminggu yang lalu. Eh, bukan… yang menelepon justru Ibu!
Ibu tidak bisa menggunakan WhatsApp. Jadi, agak sulit juga untuk menghubungi Ibu. Masalahnya, aku sudah jarang beli pulsa untuk menelepon. Hampir semua komunikasi sudah melalui WhatsApp, baik itu pesan teks, panggilan suara, atau panggilan video.
“Geura meser pulsa, paketkeun nelepon. Da teu sabaraha pangaosna oge. Sok ku Ayi ditelepon unggal dinten. Ibu sareng Bapak pasti bungah. Mumpung mereka masih ada. Nanti kalau mereka sudah tidak ada, seperti kami-kami ini, baru Ayi menyesal.”
Aku terdiam mendengar perkataan Pak Haji.
“Ngantosan naon deui?”
“Iya, Kang.”
Aku pun membuka mobile banking. Setelah melakukan transaksi pembelian pulsa, aku melakukan proses aktivasi paket nelepon.
“Jam berapa ini?” pikirku. Ah, jam segini biasanya Ibu sudah tidur. Tak apa lah, kucoba saja. Kubuka contact list di smartphone. Ibu… mana Ibu… Nah, ini dia! Langsung saja kupilih ikon panggilan suara.
Ah, tidak diangkat. Mungkin memang sudah tidur.
“Hallo, Assalamu’alaikum…”
Ah, ternyata diangkat. Terdengar suara Ibu seperti terbangun dari tidur.
“Aya naon, Yan?”
“Teu aya nanaon. Sono weh…”
“Meni reuwas, sugan teh aya naon wengi-wengi kieu.”
“Ah, heunteu. Ari Bapa sehat?”
“Alhamdulillah, sehat.”
Untuk sesaat aku bercakap-cakap dengan Ibu melalui sambungan telepon. Terdengar Bapak pun ikut nimbrung berbicara. Tak terasa air mataku menetes. Duh Gusti, jimat awaking…
“Bulan depan Iyan pulang, cuti. Besoknya langsung ke Sumedang.”
“Alhamdulillah, sok atuh sing salamet.”
“Ibu… Bapak… sing sehat, nya?”
“Aamiin…”
Tidak lama kemudian percakapan pun selesai. Sambungan telepon diakhiri. Pak Haji pun menyodorkan kotak tisu.
Di usia 40-an, kita telah menjalani sejumlah tahun yang cukup panjang untuk membangun karier, merintis keluarga, dan mengejar impian kita. Anak-anak kita semakin mandiri, dan kita mendapati diri kita sendiri dalam peran yang lebih menuntut sebagai seorang ayah. Namun, pada saat yang sama, kita mulai merasakan pergeseran yang dalam dalam pandangan kita terhadap hidup.
Masa ini adalah saat kita merasakan betapa uniknya peran ganda yang kita emban sebagai seorang anak dan sebagai seorang ayah. Ketika kita melihat anak-anak kita tumbuh menjadi individu-individu yang mandiri, kita juga menyadari bahwa orang tua kita, jika masih ada, memasuki tahap lansia. Ini adalah momen di mana kita secara mendalam memahami arti pentingnya merawat orang tua, seperti mereka yang dulunya merawat kita.
Seiring berjalannya waktu, kita mungkin telah mencapai banyak pencapaian dalam hidup kita. Pada usia 40-an, kita sering berpikir, “Apakah masih ada sesuatu yang harus saya kejar?” Namun, tahap ini mengajarkan kita bahwa kebahagiaan sejati tidak selalu terletak pada pencapaian dan harta benda. Merawat orang tua kita dengan penuh kasih sayang dapat memberikan makna yang lebih dalam dalam hidup kita, mengisi hati kita dengan kebahagiaan yang sejati.
Di usia 40-an, banyak dari kita mulai merenungkan makna hidup. Kami melihat kembali perjalanan kami, mengambil pelajaran berharga dari kesalahan dan keberhasilan masa lalu, dan mulai menyadari bahwa waktu adalah aset yang berharga. Pada tahap ini, kita mungkin tidak lagi berlomba untuk mencapai sesuatu yang besar, melainkan mencari makna dalam kecilnya momen-momen berharga bersama keluarga dan orang tua kita. []