Oleh: Juli Harmet*
Aku seorang anak laki-laki dari tujuh orang bersaudara, terdiri dari lima orang laki-laki dan dua orang perempuan. Aku terlahir sebagai anak kelima yang memiliki dua orang adik, satu perempuan dan satu laki-laki. Kelas 5 sekolah dasar, ayahku sudah meninggalkanku dan berpulang kepada Tuhan Maha Kuasa.
Kehilangan tulang punggung keluarga membuat ibuku seketika berperan ganda sebagai pencari nafkah di luar rumah sekaligus penjaga kami dalam rumah. Ibu tidak pernah lelah menjalani peran ganda itu. Perempuan kuat yang tidak pernah mengeluh. Aku digendong di pungguhnya, sementara kakak bersandar di dadanya, sambil menyuapi adeku.
Hidup yang biasanya tercukupi oleh ayahku sekarang semua di tanggung ibuku yang terus meraba ke mana hendak melangkah untuk membesarkan anak-anaknya. Laksana kapal sedang berlayar di tengah lautan yang tiba-tiba kehilangan nahkoda. Tidak jarang gelombang kehidupan menghempas kami tak menentu tanpa arah.
Untungnya saat ombak mulai tenang, Ibu mengambil alih kemudi mencoba mengarahkan kapal yang di sana sini sudah mulai bocor. Untuk menambal yang bocor, ibuku dan aku serta satu lagi kakak mencoba bekerja sebagai pembuat sagu untuk dijual. Sagu adalah sejenis tepung yang diolah dari pemrosesan teras batang rumbia atau pohon sagu.
Jadi, setelah pulang sekolah, anak-anak seusiaku dapat bermain-main dengan teman-temannya. Sedangkan aku, setelah pulang sekolah makan dulu, setelah itu langsung membantu Ibu untuk menghaluskan sagu bersama kakak. Ibu yang mengayaknya hingga nanti ada saripati sagunya.
Kami melakukan itu kadang sampai malam agar sagu yang dihasilkan lebih banyak. Kalau sagu yang sudah diolah di rumah habis, aku bersama kakak dan ibuku akan membeli batang sagu yang tempatnya cukup jauh dari rumahku. Setelah ditemukan pohon, sagu yang bagus baru ditebang dan di potong-potong untuk diangkut ke rumah.
Masih terbayang dalam ingatanku sagu yang sudah dipotong dan dibelah dibawa pulang ke rumah dengan cara menempatkan di atas kepala. Jarak rumah dari tempat menebang pohon sagu lumayan jauh dan melewati pematang sawah. Tidak jarang aku terpeleset dan jatuh, bahkan sudah jatuh ditimpa lagi sagu yang aku bawa.
Namun, itu tidak menyurutkan semangatku untuk membantu dan meringangkan beban ibuku dalam menafkahi aku dan dua adikku. Kerja membuat tepung sagu ini saya jalani bersama ibuku sampai saya kelas 3 MTs. Setiap harinya selalu membantu Ibu, terkecuali hari rabu kami ke pasar untuk menjual sagu.
Itulah sebabnya, setiap hari Rabu aku selalu bahagia. Sudah terbayang ibuku tersenyum akan membelik kebutuhan rumah di pasar. Membeli lauk pauk yang akan dimasak di rumah dengan masakan yang enak bagiku, karena aku dan adik serta kakak jarang makan enak.
Jika mengingat semua itu, mataku langsung basah mengenang masa-masa kecilku sebagai pembuat sagu. Ibu, engkau guru sejatiku sepanjang hayatku. Engkau guru kehidupanku yang paling tangguh. Engkau mengajariku bagaimana bertahan melewati gelombang kehidupan. Dadamu adalah dinding terkuat tempat kami menyandarkan tangga kehidupan.
Sepanjang hidupmu, tidak pernah meneteskan air mata kelelahan. Hampir tidak pernah fisikmu istirahat sejenak, walau hanya sekadar merebahkan tubuhmu, demi anak-anakmu.
Ibu, engkaulah motivator terbaik sepanjang hidupku. Maafkan atas segala kesalahanku, Ibu. Aku ingin selalu melihat Ibu tersenyum, sebagaimana masa kecilku setiap hari Rabu aku dan kakak membuat Ibu tersenyum menikmati hasil jualan sagu di pasar. []
*Guru UPT SDN 12 Api-Api Bayang Pesisir Selatan.
Mengandung bawang hiks hiks trimakasih sudah berbagi pengalaman bg… smngat utk karya-karya selanjutnya 💪👍