Oleh: Firmansyah Demma

Di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), pengaderan atau kaderisasi adalah jantung organisasi. Sebagaimana jantung, apabila ia berhenti berdetak, maka selesailah nasib raganya. Seperti itulah kiranya HMI. Jika kaderisasi tak lagi menjadi laku perjuangan secara kolektif, tak lagi berdetak layaknya jantung, maka pupuslah sudah harapan perjuangan organisasi. Bahkan, organisasi akan lenyap ditelan bumi.

Teruntuk HMI, kita mesti memberikan apresiasi. Karena sampai detik ini masih tetap mempertahankan tradisi kaderisasinya. Kesadaran melakukan kaderisasi masih tetap terpatri dalam tubuh HMI. Namun, ada tapinya, terkadang proses pelaksanaannya melenceng dari energi positif yang selalu diharapkan dan diperbincangkan. Kita selalu membincangkan atau mengobrolkan cita-cita ideal pengaderan HMI, tapi pada faktanya kadangkala prosesnya dilakukan secara teledor. Misalnya kebiasaan mengolah pengaderan tidak tepat pada waktunya.

Seperti yang penulis alami di hari kemarin (Kamis, 26/10/2023). Penulis harus mengikhlaskan segenap jiwa dan raganya untuk berpasrah pada kenyataan demikian. Saat itu, saya mendapat titah dari Ketum HMI Cabang Makassar Timur (Maktim) agar mewakili beliau untuk membuka Basic Training di Benteng Somba Opu yang dilakukan salah satu komisariat yang ada di Maktim (tak usah saya sebutkan komisariat apa).

Sebagai seorang pengurus cabang yang mengemban amanah, tentu ini harus saya jalankan bagaimana pun kondisinya. Bukan semata-mata karena ini adalah titah Ketum Cabang sebagai Imam Besar HMI Maktim, tapi ini memang menjadi tanggung jawab pengurus cabang untuk menjaga etos perjuangan kader dalam hal menjalankan kaderisasi.

Pukul 11.30 Wita (saya masih dalam keadaan tertidur), Ketum Cabang menelpon saya dan memberikan perintah untuk membuka Basic Training (Bastra) berhubung beliau sedang berada di luar daerah. Mendengar instruksi itu, jawaban saya hanya ‘mengiyakan’ dan segera bergegas dari tempat tidur untuk bersiap-siap menuju lokasi.

Saya meminimalisir sebaik mungkin persiapan yang saya lakukan agar tak telat sampai di lokasi. Karena pihak pelaksana pun sudah menelpon bahwa pembukaan akan dimulai pukul 14.00 Wita. Singkat kisah, sekitar pukul 12.35 berangkatlah saya dari Takalar (Kecamatan Galesong) menuju lokasi. Jarak tempuh dari tempat saya menuju lokasi kira-kira harus memakan waktu 35 menit, tapi alhamdulillah saya bisa sampai di lokasi Basic Training 30 menit sebelum kegiatan dimulai.

Saya merasa lega dan bersyukur bisa sampai sebelum kegiatan dimulai. Tapi, perasaan itu rupanya tak bertahan lama, karena setiba saya di lokasi tak satupun orang yang kelihatan batang hidungnya. Baik pelaksana, peserta, mau pun Master Of Training utusan Badan Pengelola Latihan (BPL) Cabang Makassar Timur. Dengan penuh pasrah, saya menunggu hingga sore.

Tepat pukul 14.43 sudah ada pihak pelaksana yang mendatangi saya di sebuah warung tempat saya menunggu seorang diri. Tapi, walaupun panitia pelaksana sudah datang kegiatan masih belum bisa dibuka karena Master Of Training belum ada yang datang.

Dua jam kemudian, sekitar pukul 16.30 barulah pembukaan Basic Training itu dimulai karena sumber daya yang diperlukan dalam Basic Training sudah lengkap. Jadi bayangkan saja, penantian ini harus memakan waktu kurang lebih empat jam barulah kegiatan bisa dilangsungkan. Kalau anda berada di posisi ini, apakah anda jenuh? Kalau saya, sangat jenuh. Tapi ya sudahlah, nasi telah menjadi bubur.

Pada prinsipnya, lambat atau tepat waktu, kegiatan di HMI apalagi Basic Training pastilah akan dilanjutkan dan diselesaikan. Itu harga mati. Tetapi, menjadi kurang elok dan tidak bijaksana apabila kegiatan penting selevel Basic Training molor berjam-jam hanya karena menunggu pihak-pihak yang terlibat yang notabenenya juga adalah kader atau seorang pengader. Dalam hati saya bergumam, “jika para filsuf yang sering kita jadikan rujukan pengetahuan melihat kejadian ini, pasti mereka menertawai kita”. Mereka pasti akan bilang “kalian terlalu banyak teori tapi tindakannya masih amburadul”.

Dari kejadian tersebut, mata ini menjadi saksi, betapa dilemanya Ketua Komisariat bersangkutan mengalami kejadian seperti itu. Betapa gelisahnya dirinya hingga membuatnya berada pada pusaran perasaan ‘ketidakenakan’. Kata maaf pun terucap berulang kali dari mulutnya. Tapi saya tegaskan, bahwa tidak perlu ada maaf-maafan, kita hanya perlu untuk sekadar merenung dan merefleksi secara saksama bahwa kejadian seperti ini sesungguhnya merugikan organisasi secara etis juga mengubrak-abrik mentalitas seseorang.

Keadaan memaksa saya untuk memaklumi kondisi semacam ini. Demi menjaga semangat para peserta. Tetapi di sisi lain, saya bertanya-tanya kok bisa yah hal remeh-temeh seperti ini sangat susah ditaklukkan bagi seorang kader HMI? Apapun alasannya, ini mesti menjadi pembelajaran besar dan harus diakui sebagai ketidakmampuan menanamkan nilai-nilai moral yang baik terhadap calon kader. Padahal, jika dipikir-pikir, Tuhan telah menganugerahi kemampuan akal pada diri kita agar dapat memikirkan segala kemungkinan terburuk dan mencari jalan keluar yang terbaik. Salah satunya memikirkan jalan keluar agar tidak terperangkap dalam kebiasaan buruk ‘tidak tepat waktu’.

Ada banyak alasan yang saya serap dari kisah ini. Mulai dari tergantinya Master Of Training tanpa sepengetahuan pelaksana kegiatan, mulai dari adanya informasi bahwa SK MOT baru terbit beberapa jam sebelum kegiatan, adanya Master Of Training yang tidak tahu kapan jadwal pembukaan hingga memutuskan untuk datang telat, bahkan ada juga yang menyampaikan memiliki kesibukan lain di daerah yang berbeda.

Untungnya, ada satu Master Of Training yang legowo untuk datang meskipun telat karena alasan transportasi. Kalau tidak, bisa-bisa orang-orang yang menunggu akan membusuk di lokasi.

Sebagai seorang pengader yang memahami bagaimana nilai-nilai yang harus ditanamkan dalam proses Basic Training, sudah selayaknya tidak mempertontonkan hal-hal seperti ini. Bahkan, jika perlu, lebih baik sang pengader yang menunggu lama daripada calon kader yang dibuat menunggu. Menunggu peserta berjam-jam jauh lebih baik ketimbang peserta yang dibuat menunggu sekalipun hanya satu menit atau bahkan lima belas detik saja. Memang, terkadang kita menganggap ini sepeleh. Padahal sebetulnya ini hal prinsip dan substansial. Ini bukan soal waktu saja, ini soal nilai dan etika pengaderan.

Hal ini cukup membingungkan dan sekaligus mengherankan. Kita terkadang berdebat serius soal konsep pengaderan, soal kurikulum pengaderan, soal cita-cita ideal pengaderan, tetapi di sisi lain kita justru terjebak pada hal-hal yang sangat fundamental. Menjadi sangat memalukan bagi kita seorang kader HMI yang memiliki kemampuan akal dan kemampuan kepemimpinan tapi tak dapat melepaskan diri dari kebiasaan buruk seperti ini.

Catatan kecil ini tidak mencoba untuk menyampaikan bahwa penulis adalah orang yang paling tepat waktu. Tidak sama sekali. Ini hanya semacam keresahan yang harus kita refleksi dan renungi dengan sungguh-sungguh. Penulis bahkan menyadari, bahwa fenomena telat menjadi tantangan kita bersama. Penulis berharap, cuitan ini bisa menjadi obat penawar untuk penyakit yang telah lama diderita.Diakui atau tidak, disadari atau tidak, ini adalah kebiasaan buruk! Kalau ada yang mengatakan ini tidak buruk, bisa dipastikan itu adalah pembelaan yang sangat menyesatkan.

Maka pertanyaannya sederhana saja, akankah kebiasaan buruk ini terus terawat dalam proses pengaderan HMI?

Jawabannya terletak pada dinding jiwa kita masing-masing.

(Visited 79 times, 1 visits today)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.