Berdasarkan penjelasan dalam buku “Sumpah Pena” karya Ruslan Ismail Mage, surah Al-‘Alaq ayat 1 hingga 5 dari Al-Qur’an adalah wahyu pertama Allah Swt yang diturunkan, berisi perintah untuk membaca (iqra’). Tanpa kemampuan membaca, seorang hamba tidak akan bisa memahami apa yang sedang atau akan dilakukannya.

Dikisahkan bahwa Muhammad menanggapi perintah membaca dengan berkata lima kali, “Aku tidak bisa membaca.” Namun, Malaikat Jibril tetap menegaskan bahwa Muhammad harus membaca.

“Apa yang harus aku baca?” tanya Muhammad.

Bacalah! Dengan nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah dan Tuhanmu Maha Pemurah; yang mengajar manusia dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” (QS. Al-‘Alaq [96]: 1–5)

Sumpah Pena

Jika dipahami lebih dalam, perintah “membaca” ini tidak berdiri sendiri. Perintah tersebut diikuti dengan frasa “dengan perantaraan kalam.” Penggunaan kata “kalam” atau pena, yang memungkinkan kita mengetahui “apa yang sebelumnya tidak kita ketahui,” menegaskan bahwa membaca tidak bisa dipisahkan dari menulis. Karena itu, membaca dan menulis adalah komponen penting dalam membangun peradaban sejak masa kenabian. Kedua aktivitas ini menjadi jalur yang membawa manusia menuju kemuliaan dan kesempurnaan.

Pentingnya menulis dalam Islam ditegaskan dengan adanya “sumpah pena” dalam Al-Qur’an. Allah Swt bersumpah dengan pena dalam QS. Al-Qalam ayat 1, “Nun, wal-qalami wamaa yasthuruun (Nun, demi pena dan apa yang mereka tulis).”

Imam Besar Masjid Istiqlal, Prof. Dr. Nasaruddin Umar, M.A., Ph.D., dalam tulisannya menjelaskan bahwa “wal-qalam” adalah sumpah Tuhan (qasm) pertama dalam Al-Qur’an, yang turun tidak lama setelah lima ayat pertama dari surah Al-‘Alaq.

Ini menunjukkan betapa pena dan tulisan memiliki nilai tinggi di hadapan Allah Swt. Bahkan, beberapa sufi dan ulama memberikan penafsiran mengenai sumpah pena ini. Aziz Al-Din Nasafi (wafat 695 H/1295 M), seorang sufi dari Bani Kubrawi, menjelaskan bahwa “nun” adalah “bak tinta,” sedangkan “qalam” adalah “pena,” yang merupakan substansi pertama. “Nun” sebagai bak tinta adalah tempat menyimpan tinta, yang melengkapi pena untuk menulis.

Syaikh Dr. Muhammad Sulaiman Al-Asyqar dari Universitas Islam Madinah menafsirkan sumpah ini sebagai bentuk pengagungan terhadap aktivitas menulis, yang merupakan salah satu alat untuk mendapatkan ilmu. Syaikh Prof. Dr. Wahbah Az-Zuhali, seorang ahli fikih dari Suriah, menafsirkan sumpah ini sebagai bagian dari pemuliaan, pengagungan, dan penghormatan terhadap pena sebagai alat tulis.

Prof. Dr. Nasaruddin Umar lebih lanjut menjelaskan bahwa pena atau kalam adalah ciptaan pertama Allah Swt yang muncul dari tiada melalui perintah “kun fayakun.” Dalam sebuah hadis yang sering dikutip dalam kitab-kitab tasawuf, pena ini diperintah dengan kata-kata, “Tulislah pada lingkaran pertama ini, yaitu lembaran Tuhan.” Pena menjawab, “Wahai Tuhan, apa yang harus aku tulis?” Kemudian datang perintah berikutnya, “Tulislah segala sesuatu yang telah terjadi, yang sedang terjadi, dan yang akan terjadi hingga hari kebangkitan.” Pena pun menulis semuanya, dan setelah itu pena menjadi kering. “Tuhan telah selesai dengan penciptaan, persediaan, dan ketentuan-ketentuan yang pasti.”

Kemerdekaan Si Pena Tuhan

Pernyataan “Tuhan adalah penulis dan kita adalah pena-Nya” mengandung makna filosofis dan teologis yang mendalam. Dalam konteks ini, Tuhan digambarkan sebagai penulis agung yang telah menuliskan segala sesuatu tentang alam semesta, takdir, dan kehidupan makhluk-Nya. Sementara itu, kita sebagai manusia diibaratkan sebagai “pena” yang menjalani dan merealisasikan apa yang telah dituliskan oleh Tuhan.

Sebagai “Pena Tuhan”, kita memiliki tanggung jawab besar. Di era kebebasan berpendapat saat ini, banyak penulis yang memanfaatkan kebebasan tersebut untuk menyampaikan ide dan gagasan mereka, sering kali dengan tujuan memengaruhi opini publik. Namun, tanpa itikad baik, kebebasan ini bisa disalahgunakan, sehingga muncul hoaks, framing, dan tulisan yang berisi ujaran kebencian.

Kita sering kali melihat bagaimana hoaks dan berita palsu dapat menyebar dengan cepat melalui media sosial. Berdasarkan data dari Kementerian Komunikasi dan Informatika Indonesia, hingga 2023, terdapat lebih dari 9.000 kasus hoaks yang terdeteksi dan diambil tindakan. Banyak dari hoaks ini berkaitan dengan isu-isu sensitif seperti politik, agama, dan kesehatan, yang dapat memicu konflik dan ketidakstabilan sosial.

Dalam konteks ini, penting untuk mempertimbangkan apa yang sebaiknya kita tulis, terutama ketika teknologi informasi, terutama media digital dan media sosial, memungkinkan siapa pun untuk memproduksi konten secara audiovisual dengan mudah.

Jawabannya dapat ditemukan dengan analogi sederhana tentang ibadah dan muamalah. Ketika dihadapkan pada beberapa pilihan atau perbedaan pendapat dalam hal ibadah dan muamalah, kita cenderung memilih berdasarkan aspek syariat, fikih, contoh sunnah rasul, dan koridor keagamaan lainnya. Namun, ada satu pertanyaan mendasar yang dapat membantu kita membuat keputusan yang benar: Mana yang lebih Allah sukai jika kita melakukannya?

Dalam konteks menulis, prinsip ini juga berlaku. Kita sebaiknya mempertimbangkan, tulisan seperti apa yang disukai oleh Allah? Di tengah kebebasan menulis, kita memang memiliki hak untuk menuangkan apa pun yang ada dalam pikiran kita. Namun, sebagai hamba Allah yang juga berperan sebagai pena-Nya, penting untuk merenungkan apakah tulisan yang kita hasilkan akan disukai oleh Allah atau tidak.

Tulisan yang disukai oleh Allah tentu saja adalah tulisan yang mendatangkan kebaikan, mengajak kepada kebenaran, dan membawa manfaat bagi pembacanya. Sebagai contoh, tulisan yang memberikan edukasi, menyebarkan kebaikan, serta mendorong orang untuk berbuat baik akan lebih disukai oleh Allah daripada tulisan yang menyesatkan atau menyebarkan kebencian. Penulis yang bertanggung jawab tidak hanya mengejar popularitas atau keuntungan pribadi, tetapi juga mempertimbangkan dampak dari tulisannya terhadap pembaca dan masyarakat.

Sebagai penulis yang bertanggung jawab, penting untuk memastikan bahwa tulisan kita didasarkan pada fakta yang akurat dan dapat dipertanggungjawabkan. Misalnya, jika kita menulis tentang isu kesehatan, sangat penting untuk merujuk pada sumber-sumber terpercaya seperti jurnal ilmiah, penelitian dari institusi kesehatan ternama, atau pendapat ahli yang kredibel. Dengan demikian, kita membantu memerangi penyebaran informasi yang salah dan berkontribusi pada masyarakat yang lebih terdidik dan sadar akan kebenaran.

Selain itu, tulisan yang baik juga seharusnya membangun, bukan merusak. Tulisan yang menginspirasi pembaca untuk menjadi pribadi yang lebih baik, memperbaiki hubungan antar sesama, dan mendekatkan diri kepada Tuhan adalah jenis tulisan yang disukai oleh Allah. Sebagai contoh, kisah-kisah inspiratif yang mengajarkan nilai-nilai seperti kejujuran, kesabaran, dan kasih sayang dapat memberikan dampak positif yang besar bagi pembaca.

Penulis juga harus sadar bahwa kebebasan menulis datang dengan tanggung jawab moral. Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman dalam QS. Al-Baqarah ayat 42, “Dan janganlah kamu campur-adukkan yang haq dengan yang bathil dan janganlah kamu sembunyikan yang haq itu, sedang kamu mengetahui.” Ayat ini mengingatkan kita bahwa sebagai penulis, kita harus jujur dan tidak mencampuradukkan kebenaran dengan kebatilan. Kita harus berani menulis kebenaran, meskipun itu mungkin tidak populer atau bertentangan dengan arus utama.

Pada akhirnya, menulis adalah salah satu bentuk ibadah, dan sebagai pena-Nya, kita harus berusaha menulis apa yang akan membawa ridha Allah. Tulisan yang baik adalah tulisan yang mendekatkan pembaca kepada-Nya. []

(Visited 45 times, 1 visits today)
Avatar photo

By Iyan Apt

Sosiopreneur, Writerpreneur & Book Publisher

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.