Keputusan Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), Yudian Wahyudi, yang meminta anggota Pasukan Pengibar Bendera Pusaka (Paskibraka) 2024 untuk melepas hijab saat pengukuhan pada Selasa lalu telah menimbulkan gelombang kontra di masyarakat. Banyak pihak yang mempertanyakan kebijakan ini, menganggapnya sebagai pelanggaran terhadap hak kebebasan beragama yang dijamin oleh UUD 1945. Kritik muncul dari berbagai kalangan yang menilai bahwa keputusan tersebut tidak sejalan dengan semangat keberagaman dan toleransi yang menjadi dasar negara Indonesia. Perdebatan pun mengemuka, mempertanyakan apakah keseragaman dalam seremonial kenegaraan harus mengorbankan identitas dan keyakinan pribadi seseorang?
Argumen yang mengedepankan keseragaman dalam seremonial pengibaran bendera dapat bertentangan dengan UUD 1945 jika mengabaikan kebebasan beragama, yang diatur dalam Pasal 29 ayat 2 UUD 1945: “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.” Penggunaan hijab adalah bagian dari kebebasan beragama bagi muslimah. Memaksa mereka untuk melepas hijab demi alasan keseragaman dapat dianggap melanggar hak konstitusional mereka untuk beribadah sesuai dengan keyakinan mereka.
Landasan BPIP dalam menerjemahkan ketunggalan sebagai keseragaman pakaian mungkin didasarkan pada interpretasi nilai “Bhinneka Tunggal Ika,” yang berarti “berbeda-beda tetapi tetap satu.” Namun, ketunggalan tidak harus berarti keseragaman dalam aspek yang tampak secara fisik, seperti pakaian. Ketunggalan bisa diartikan sebagai persatuan dalam keragaman, di mana setiap individu tetap bisa menunjukkan identitas dan keyakinan pribadi mereka sambil tetap berfungsi sebagai bagian dari kesatuan yang lebih besar.
Kondisi ini bertolak belakang dengan kebijakan yang mengizinkan muslimah di TNI, Polri, dan sekolah-sekolah kedinasan untuk berhijab mencerminkan penghargaan terhadap hak kebebasan beragama dan keragaman dalam beribadah. Kebijakan ini juga sejalan dengan semangat inklusivitas dan penerimaan terhadap perbedaan yang diakui dalam UUD 1945. Dengan membolehkan hijab, institusi ini menunjukkan komitmen untuk menghormati hak individu tanpa mengorbankan profesionalisme atau tugas mereka sebagai abdi negara. Toh hingga saat ini tidak ada yang mempermasalahkan tentang kebersatuan dalam kemajemukan di TNI, Polri, dan sekolah-sekolah kedinasan ketika anggota muslimahnya berhijab?
Pernyataan bahwa anggota Paskibraka putri melepaskan hijab mereka secara sukarela, di mana sebelum melepas hijab mereka terlebih dahulu menandatangani surat pernyataan tentang kesediaan mematuhi peraturan pembentukan dan pelaksanaan tugas Paskibraka di atas materai Rp 10.000 juga sangat tricky. Jika seorang individu merasa tidak memiliki pilihan lain, misal Paskibraka putri yang sudah terlanjur mengikuti karantina atau tahapan seleksi lainnya, maka pernyataan sukarela tersebut bisa dipertanyakan. Keputusan yang diambil dalam situasi terbatas mungkin tidak sepenuhnya mencerminkan kebebasan atau keinginan sejati individu tersebut. Mengenai meterai, di Indonesia, penggunaan meterai dalam sebuah dokumen menandakan bahwa dokumen tersebut memiliki kekuatan hukum. Namun, meterai bukanlah penentu sah atau tidaknya dokumen, melainkan sekadar alat pembuktian bahwa dokumen tersebut adalah pernyataan resmi dan dapat digunakan dalam pengadilan.
Terakhir, bagi pihak-pihak yang menyerukan agar Paskibraka putri yang aslinya berhijab untuk pulang, tolong dipikirkan bahwa saat ini mereka berada di tengah hutan Kalimantan. Bagaimana mereka bisa dengan mudah pulang ke daerahnya masing-masing? Alangkah lebih baik jika masing-masing kepala daerah tempat mereka berasal itulah yang menjemput mereka. Wahai para gubernur, apakah siap menjemput warga Anda, Paskibraka putri, yang saat berada dalam dilema melepas hijabnya? []