Oleh: Ruslan Ismail Mage*

Imam Al-Ghazali, sang cendekiawan muslim besar, pernah memberi nasihat yang terus menyala di hati para pencinta literasi: “Kalau engkau bukan anak raja atau putra ulama besar, maka menulislah!” Sebuah nasihat sederhana, namun memiliki daya dorong yang luar biasa.

Berkat nasihat itu, saya pernah merasakan fasilitas kerajaan, meski bukan anak raja. Pernah berjalan di atas karpet merah, disambut ribuan orang yang meminta foto bersama—semua berkat karya, bukan garis keturunan. Nasihat itu pula yang membawa gagasan-gagasan saya melanglang buana, menembus batas kota dan negara, meski jasad saya terbaring di kamar.

Betapa dahsyat energi yang terkandung dalam setiap tulisan. Sebuah tulisan mampu menghidupkan kembali pemikiran orang yang telah meninggal puluhan, bahkan ratusan tahun lalu. Penulis tak pernah benar-benar mati; ia hidup berkali-kali melalui setiap karya yang dibaca. Sastrawan Pramoedya Ananta Toer menyebut dunia tulisan sebagai dunia keabadian.

Tulisan adalah medium yang mampu menembus segala sekat: suara kaum hedonis, tirani kekuasaan, hingga dinding-dinding diskriminasi. Saat suara lantang tak didengar, tulisan hadir sebagai senjata yang tak pernah habis daya pukulnya. Ia melilit lidah para penjilat, menaklukkan keangkuhan kekuasaan, dan mengangkat mereka yang terpinggirkan ke pusat pusaran diskusi publik.

Bagi mereka yang direndahkan oleh keadaan—ekonomi, pendidikan, atau status sosial—tulisan adalah jalan sunyi yang membawa ke puncak intelektualitas. Sekecil apa pun sebuah tulisan, ia mampu menempatkan penulisnya di tempat terhormat. Tak percaya? Jadilah penulis.

PMI Memilih Jalan Pena

Beberapa waktu lalu, seorang Pekerja Migran Indonesia (PMI) di Hong Kong menelepon saya. Suaranya bergetar, diselingi isakan haru, ia mengucapkan terima kasih. “Saya tidak pernah menyangka, Pak,” katanya, “orang kampung seperti saya, yang hanya pekerja migran, bisa dihargai sedemikian rupa.”

Ia bercerita tentang undangan-undangan yang diterimanya. Sebagai narasumber, ia diundang ke forum-forum terhormat di Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) Hong Kong, bahkan diminta berbicara di depan komunitas pembelajar. “Padahal saya ini cuma orang biasa, dari pinggiran kampung di Jawa, tanpa pendidikan tinggi. Tapi, semua berubah setelah saya bergabung di Bengkel Narasi Indonesia (BNI).”

BNI, sebuah komunitas literasi yang saya rintis bersama sahabat-sahabat penulis, menjadi rumah jiwa bagi mereka yang ingin menjadikan menulis sebagai jalan ibadah. Sarmini, nama PMI tersebut, mengisahkan bagaimana ia mulai belajar menulis dari nol bersama mentor-mentor BNI. Dari kumpulan artikel sederhana, lahirlah sebuah buku—bukan sekadar buku, tetapi kartu namanya di dunia literasi.

Kini, karya-karya Sarmini telah dicetak dalam dua bahasa. Perempuan yang dulu merantau untuk mencari sesuap nasi kini berbicara di forum-forum terhormat, tidak hanya sebagai peserta tetapi juga sebagai pembicara. “Saya tidak pernah membayangkan, Pak, tulisan bisa mengubah hidup saya seperti ini.”

Cerita Sarmini adalah bukti nyata betapa dahsyatnya energi sebuah tulisan. Ia menggerakkan, menginspirasi, dan membawa nama penulisnya ke panggung kehidupan yang lebih luas. Semoga energi tulisan ini terus menjalar, menyentuh lebih banyak pekerja migran Indonesia, mengubah keterbatasan menjadi kekuatan.

Selamat kepada Sarmini, satu dari sedikit pekerja migran yang menjadikan buku sebagai kartu namanya. Semoga kisahmu menjadi inspirasi bagi banyak orang, dan tulisan-tulisanmu terus melintasi batas negara, membawa cahaya ke mana pun ia pergi. []

*Penulis adalah Founder Bengkel Narasi Indonesia.

(Visited 62 times, 2 visits today)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.