Oleh: Ruslan Ismail Mage*
Kita baru saja lega melewati tahun politik yang penuh hiruk-pikuk ambisi kekuasaan. Demokrasi diobok-obok, konstitusi dicungkirbalikkan, bahkan alat negara dimobilisasi demi satu tujuan: melanjutkan kekuasaan. Janji-janji surga ditebar, memenuhi ruang publik seolah menjadi harapan baru bagi rakyat.
Meski pesimisme menyelimuti hati banyak orang saat menyaksikan pemilihan presiden yang kerap jauh dari esensi demokrasi, harapan itu sempat muncul kembali. Pidato pelantikan sang presiden terpilih yang menyentuh hati, penuh narasi berapi-api tentang perubahan dan kemajuan, membuat rakyat meneteskan air mata haru.
Namun, belum lima bulan memimpin, harapan itu mulai pudar. Gejala déjà vu muncul: 11-12 dengan pendahulunya. Janji mengejar koruptor hingga Antartika ternyata hanya menjadi permainan kata-kata. Koruptor justru terlihat nyaman berkeliaran di lingkar kekuasaan. Janji menjaga kekayaan alam demi kesejahteraan rakyat berubah menjadi mimpi di siang bolong ketika tambang ilegal terus merajalela.
Lebih mengecewakan lagi, pemerintah tetap menggantungkan pembangunan bangsa pada pajak rakyat. Ini bukan hanya ironi, melainkan bukti kemiskinan kreativitas dalam memimpin.
Fakta berbicara: sekitar 82% penerimaan pajak dipakai untuk membangun bangsa dan menjalankan roda birokrasi. Lalu, ke mana hasil kekayaan alam negeri ini yang begitu melimpah? Emas, batu bara, minyak bumi—ke mana semuanya? Jika pembangunan negeri hanya mengandalkan pajak rakyat, maka setiap tukang becak pun bisa menjadi pemimpin.
Ketergantungan pada pajak menunjukkan kepemimpinan yang miskin visi dan lemah negosiasi. Kepemimpinan yang tunduk pada modal asing, memfasilitasi keuntungan korporasi, dan membiarkan perampokan kekayaan alam terus berlangsung. Hingga kapan penguasa akan mengandalkan pajak rakyat sebagai tumpuan pembangunan?
Mengandalkan pajak sama artinya dengan memeras rakyat. Baru saja rakyat tersenyum pahit menerima kenaikan PPN menjadi 12%, kini harus menghadapi dampaknya dalam segala aspek kehidupan, termasuk biaya listrik PLN yang kian membebani rumah tangga. Kenaikan pajak dengan alasan pembangunan hanyalah kedok.
Rakyat harus berhenti diam. Sudah terlalu lama diperas tanpa henti, tanpa transparansi tentang ke mana hasil kekayaan alam negeri ini disalurkan. Indonesia tidak miskin, tetapi kekayaan alamnya dikelola dengan joget-jogetan dan omong kosong belaka.
Negeri ini butuh pemimpin berkarakter macan—pemimpin yang berani menerkam koruptor dan para perampok sumber daya alam. Sebagaimana dikatakan Jeffrey Winters, “Indonesia dikuasai para maling. Ada demokrasi, tapi seperti tanpa hukum. Demokrasinya tumbuh, tapi hukumnya tunduk di bawah kendali uang dan jabatan.”
Peringatan dari Ibnu Khaldun seharusnya menggema di telinga para pemimpin: “Di antara tanda sebuah negara akan hancur adalah semakin besar dan beragamnya pajak yang dipungut dari rakyatnya.”
Rakyat harus menjadi macan yang bangkit melawan macan ompong. Jangan lagi mau diperas tanpa alasan jelas. Negeri ini kaya. Kekayaannya tidak hanya cukup untuk membangun bangsa, tetapi juga untuk membuat rakyat hidup sejahtera. Yang dibutuhkan bukan pajak yang mencekik, melainkan pemimpin yang berani mengambil alih kendali atas sumber daya alam demi kemaslahatan rakyat.
*Penulis adalah akademisi dan penulis buku “Radikalisme, Demokrasi, dan Kemiskinan”.