Oleh: H. Tammasse Balla*
Pada tiap perguruan tinggi, jabatan Rektor adalah simbol kehormatan dan tanggung jawab. Namun ironisnya, pada salah satu universitas ternama di Negeri Antah Berantah, peran Rektor dipertanyakan setelah ditemukannya kasus mencengangkan: pabrik uang palsu di lingkungan kampus. Peristiwa ini menampar wajah dunia akademik, mengguncang kepercayaan publik terhadap lembaga pendidikan yang seharusnya menjadi benteng moral dan intelektual. Pertanyaannya, di mana Rektor? Di mana para Wakil Rektor? Bagaimana mungkin aktivitas ilegal ini berlangsung tanpa terdeteksi?
Seorang Rektor tidak hanya simbol pemimpin, tetapi juga penjaga nilai, integritas, dan visi kampus. Namun, fenomena “Rektor Kamaruddin”, istilah sarkastis untuk pemimpin yang hanya nyaman tidur di kamar dan duduk di kursi empuk tanpa perhatian pada tanggung jawabnya kian relevan dalam dunia pendidikan kita. Rektor yang seharusnya menjadi mata dan telinga institusi,’malah beralih fungsi menjadi penonton bisu dari berbagai persoalan kampus. Kamar kerja berubah menjadi tempat beristirahat, bukan ruang berpikir strategis.
Mengapa pengawasan seperti ini bisa longgar? Jawabannya mungkin terletak pada sistem yang cenderung melanggengkan formalitas tinimbang substansi. Banyak Rektor sibuk dengan seremonial, namun lalai terhadap persoalan akar yang merusak fondasi kampus. Fenomena ini mirip metafora kapal besar tanpa nakhoda. Ketika nakhoda hanya duduk nyaman di kabin tanpa melihat badai, kapal itu akan karam.
Kasus pabrik uang palsu seharusnya menjadi alarm keras. Apakah fungsi pengawasan kampus hanya formalitas? Mengapa pemimpin kampus, bersama jajarannya, tidak mampu mendeteksi praktik ilegal ini sejak awal? Seharusnya, Rektor menjadi pelopor dalam mendorong budaya integritas di kalangan mahasiswa, dosen, dan seluruh warga kampus. Namun, apa yang terjadi jika Rekror justru menjadi “Rektor Kamaruddin,” simbol ketidakhadiran moral dan intelektual?
Rektor adalah wajah institusi. Dalam setiap kebijakannya, ia memengaruhi ribuan mahasiswa, dosen, dan tenaga kependidikan. Ketika kepemimpinannya lemah, kampus hanya menjadi sekumpulan gedung tanpa jiwa. Ironisnya, banyak kampus yang menonjolkan slogan besar-besaran, tetapi nihil dalam praktik etika dan pengawasan. Jika Rektor hanya sibuk membangun reputasi dengan retorika tanpa realisasi, maka institusi itu layak diragukan.
Kita membutuhkan Rektor yang benar-benar hadir, bukan hanya fisik, tetapi juga pikirannya. Pemimpin yang memikirkan solusi atas masalah, bukan sekadar menutupi skandal. Rektor yang berani mengusir mentalitas korup dari lingkungannya dan menjaga kampus sebagai pusat pendidikan yang bersih. Jika pemimpin tertinggi kampus tidak mampu menjaga marwah institusi, maka tidak ada bedanya ia dengan “Rektor Kamaruddin.”
Peringatan ini bukan sekadar kritik, tetapi ajakan refleksi. Rektor, kembalilah ke esensi jabatan Anda. Jangan hanya menjadi nama di balik tanda tangan ijazah, tetapi jadilah pemimpin sejati. Jangan hanya sibuk di kamar rapat tanpa peduli apa yang terjadi di luar dinding. Jangan biarkan kampus yang Anda pimpin menjadi berita buruk di media. Jadilah benteng, bukan penonton dari kehancuran moral dan intelektual. Camkan, kampus bukan pabrik uang palsu, tetapi pabrik intelektual untuk masa depan bangsa.
*Akademisi senior Universitas Hasanuddin Makassar