Oleh: Ruslan Ismail Mage*

Pasca-reformasi, para pencinta kebebasan bersyukur atas datangnya demokrasi yang menawarkan ruang lebih luas untuk berekspresi. Euforia kebebasan itu menyebar, menelusuri lorong-lorong kota hingga ke sudut kampung. Demokrasi berhasil menghapus Undang-Undang Subversif Nomor 11/PNPS/Tahun 1963, yang selama era Orde Baru menjadi alat untuk membungkam kritik terhadap kekuasaan.

Dengan runtuhnya undang-undang tersebut, pergerakan politik dan sosial di Indonesia mengalami kebangkitan. Partai-partai politik bermunculan seperti jamur di musim hujan, diikuti oleh organisasi kemasyarakatan yang tumbuh pesat. Mahasiswa kembali turun ke jalan, menghidupkan semangat perlawanan.

Namun, dua dekade setelah reformasi, kebebasan yang dijanjikan demokrasi ternyata tidak sepenuhnya digunakan untuk merawat kebhinnekaan, fondasi penting dalam membangun bangsa. Sebaliknya, kebebasan sering disalahgunakan hingga melanggar hak orang lain. Keadilan hukum dan distribusi ekonomi tetap tidak merata, menimbulkan kecemburuan sosial yang tajam.

Hukum Tumpul ke Atas, Tajam ke Bawah

Harapan akan reformasi sebagai alat untuk menghapus korupsi, kolusi, dan nepotisme ternyata jauh dari kenyataan. Narasi ketidakadilan hukum semakin mengemuka, menggambarkan realitas sosial yang ironis. Pepatah lama, “hukum tumpul ke atas, tajam ke bawah,” tetap relevan. Bahkan, ketidakadilan hukum ini sering dipertontonkan secara terang-terangan.

Perampasan keadilan terlihat dari pusat kekuasaan hingga ke tingkat desa. Konstitusi, yang seharusnya menjadi fondasi negara, sering diacak-acak untuk kepentingan elit. Netizen muak, menyebut produk hukum yang lahir dari manipulasi ini sebagai “anak haram demokrasi.”

Pemimpin yang seharusnya memberi teladan malah merusak tatanan hukum dengan dalih memperpanjang kekuasaan. Akibatnya, birokrasi di seluruh level pemerintahan meniru tindakan pemimpin, menempatkan ambisi di atas kepentingan rakyat. Nepotisme dan korupsi terus berkembang biak, mencederai tujuan reformasi yang dibangun dengan darah para mahasiswa.

Para penegak hukum, alih-alih menjadi pilar keadilan, sering memanfaatkan posisi mereka untuk menumpuk kekayaan melalui korupsi. Rakyat yang terpinggirkan kini hanya bisa bersuara melalui media sosial, menyerukan ironi dalam sistem hukum. Kasus Harvey Moeis yang hanya dihukum 6,5 tahun meski merugikan negara triliunan rupiah menjadi contoh nyata ketimpangan ini. Ketidakadilan semacam ini berpotensi memicu konflik sosial di tengah rakyat yang sudah jenuh dengan keadaan.

Rakyat Sebagai Penonton di Tanah Sendiri

Selain ketimpangan hukum, ketidakadilan ekonomi juga menjadi bom waktu. Sejak era kemerdekaan hingga reformasi, distribusi kekayaan negara tidak pernah benar-benar merata. Salah kelola sumber daya alam terus terjadi, membuat rakyat Indonesia menjadi penonton di negeri sendiri.

Kapitalisme global, berkolaborasi dengan elite bangsa, merampok kekayaan alam Indonesia. Sebutan “mafia kekayaan alam” bukanlah hiperbola; itu adalah kenyataan pahit yang dirasakan rakyat, khususnya di daerah-daerah kaya seperti Papua. Di atas tanah emas, rakyat masih hidup dalam kemiskinan struktural.

Ironi ini semakin dalam ketika pemerintah lebih memilih menggusur rakyat untuk memberikan karpet merah kepada investor asing. Pajak rakyat terus menjadi tumpuan utama dalam membangun bangsa, sementara hasil tambang yang melimpah sering kali menghilang entah ke mana.

Polarisasi dan Risiko Kerusuhan Sosial

Ketidakadilan hukum dan ekonomi tidak hanya merusak kepercayaan rakyat terhadap negara, tetapi juga menciptakan polarisasi yang semakin tajam. Dalam situasi ini, perut yang lapar dan keadilan yang absen menjadi kombinasi berbahaya. Jika kondisi ini terus dibiarkan, ledakan kerusuhan sosial hanya tinggal menunggu waktu.

Reformasi yang diharapkan membawa perubahan kini terasa hambar. Perjuangan mahasiswa di masa lalu seolah diinjak-injak oleh mereka yang mengkhianati amanah reformasi. Sudah saatnya bangsa ini mengevaluasi kembali perjalanan reformasi, memperbaiki ketimpangan hukum dan ekonomi, serta mengembalikan keadilan kepada rakyat.

Demokrasi Indonesia: Bangunan yang Mulai Rapuh

Jika dianalogikan, demokrasi Indonesia ibarat sebuah bangunan megah di atas tanah kaya raya. Namun, megahnya bangunan ini mulai rapuh karena rayap yang menggerogoti pondasi utamanya. Dalam literatur yang diajarkan di berbagai kampus, dua pilar utama demokrasi adalah keadilan hukum dan keadilan ekonomi. Lantas, bagaimana keadaan dua pilar tersebut di negeri ini?

Data dan fakta berbicara dengan gamblang: kedua pilar tersebut sedang diruntuhkan oleh berbagai aktor, termasuk para pemimpin tertinggi negeri ini. Dalam satu dekade terakhir, tiang-tiang hukum menjadi sasaran utama. Penegakan hukum tidak lagi menjadi alat keadilan, melainkan alat kekuasaan. Hukum lebih sering berpihak pada pemilik modal dan elite politik, sementara rakyat kecil menjadi korban.

Kasus Timah: Cermin Ketimpangan Hukum

Salah satu contoh mencolok adalah kasus dugaan korupsi tata niaga timah di Bangka Belitung. Kerugian negara yang mencapai Rp300 triliun hanya menghasilkan hukuman ringan bagi para pelaku. Direktur PT Stanindo Inti Perkasa (SIP), M.B. Gunawan, divonis 5 tahun penjara. Sementara itu, Harvey Moeis dari PT Refined Bangka Tin (RBT) hanya dijatuhi hukuman 6,5 tahun penjara dengan alasan yang sulit diterima: sikap sopan selama persidangan, tanggungan keluarga, dan statusnya yang belum pernah dihukum sebelumnya.

Ironisnya, di saat yang sama, rakyat kecil yang melakukan pelanggaran jauh lebih ringan malah divonis lebih berat.

Empat Kisah Pilu: Hukum yang Tajam ke Bawah

Ketimpangan ini paling terasa dalam kasus-kasus rakyat kecil. Tengoklah empat kisah berikut ini:

  1. Nenek Asyani (63 tahun): Divonis 1 tahun penjara dan denda Rp500 juta karena dituduh mencuri kayu jati milik Perhutani.
  2. Nenek Minah (55 tahun): Hanya karena memetik tiga buah kakao dari perkebunan PT Rumpun Sari Antan, ia diganjar hukuman 1 bulan 15 hari penjara dengan masa percobaan 3 bulan.
  3. Seorang nenek pencuri singkong: Demi memberi makan cucunya yang kelaparan, ia mencuri singkong dari lahan PT Andalas Kertas. Jaksa menuntut hukuman denda Rp1 juta atau penjara 2,5 tahun. Untungnya, hakim berempati dan membayar denda tersebut dari kantong pribadinya.
  4. Nenek 92 tahun di Toba Samosir: Divonis 1 bulan 14 hari penjara hanya karena menebang pohon durian kecil di tanahnya sendiri.

Kasus-kasus ini seperti puncak gunung es dari ketidakadilan yang terjadi di tengah masyarakat. Mereka mengungkap wajah hukum Indonesia yang tajam ke bawah tetapi tumpul ke atas.

Ketidakadilan yang Menggerogoti Kebhinekaan

Ketimpangan hukum ini tidak berdiri sendiri. Ketidakadilan hukum selalu berjalan beriringan dengan ketidakadilan ekonomi. Rakyat kecil tidak hanya menjadi korban sistem hukum, tetapi juga korban eksploitasi ekonomi.

Isnur dari LBH Jakarta dengan tepat menyatakan, “Kelompok lemah dikriminalkan, sementara negara justru tidak hadir melindungi.” Ketimpangan ini menjadi ancaman nyata bagi keberlangsungan kehidupan berbangsa. Jika terus dibiarkan, benih-benih ketidakadilan ini akan memicu konflik sosial yang dapat merusak kebhinekaan Indonesia.

Bangunan demokrasi Indonesia tidak akan bertahan jika dua pilarnya—hukum dan ekonomi—terus dirusak oleh tangan-tangan tak bertanggung jawab. Harapan rakyat yang telah mengorbankan banyak hal untuk reformasi kini tergantung pada kesadaran bersama untuk memperbaiki keadaan.

Kita tidak bisa terus diam. Seperti bangunan yang mulai roboh, demokrasi Indonesia membutuhkan perbaikan segera sebelum semuanya benar-benar runtuh.

*Akademisi, penulis buku-buku politik, demokrasi, dan kepemimpinan.

(Visited 26 times, 1 visits today)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.