Oleh: Ruslan Ismail Mage*

Demokrasi Indonesia: Sebuah Kebanggaan yang Terancam

Pasca-reformasi, demokrasi di Indonesia berkembang pesat, merambah hampir seluruh aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Indonesia bahkan disebut sebagai salah satu negara demokrasi terbesar di dunia. Banyak negara kagum dan ingin belajar bagaimana Indonesia mampu mengelola demokrasi di tengah keragaman luar biasa dalam budaya, agama, dan kepentingan.

Kekaguman itu bukan tanpa alasan. Dengan luas wilayah 5.193.240 km², terdiri dari 18.306 pulau, dan penduduk sekitar 267 juta jiwa yang menganut enam agama resmi, demokrasi Indonesia diakui mampu bertahan dalam kerawanan sosial yang tinggi. Ibarat monumen nasional, demokrasi Indonesia berdiri kokoh, menjadi simbol keutuhan dan harapan bangsa.

Namun, di balik pujian itu, sekelompok pemerhati muda politik—aktivis, profesional, jurnalis, dan akademisi—mulai menangkap sinyal bahwa semangat demokrasi mulai surut. Ada ancaman serius terhadap demokrasi kita, bukan dari luar, melainkan dari dalam.

Kudeta Demokrasi: Ancaman yang Berubah Wajah

Selama ini, ancaman terbesar bagi demokrasi kerap diasosiasikan dengan kudeta militer, di mana pemimpin yang terpilih secara demokratis digulingkan oleh kekuatan senjata. Namun, dalam satu dekade terakhir, muncul fenomena baru: kudeta demokrasi dari dalam. Pemimpin yang terpilih secara demokratis justru menggunakan kekuasaan mereka untuk merongrong nilai-nilai demokrasi itu sendiri.

Bagaimana caranya? Dengan mengendalikan pers, menggiring institusi negara untuk melayani kepentingan politik mereka, dan menekan kebebasan masyarakat sipil. Ironisnya, kudeta ini sering mendapat dukungan dari pendukung fanatik yang, atas nama demokrasi, membiarkan prinsip-prinsip demokrasi dihancurkan demi kepentingan politik sesaat.

Pers: Anjing Penjaga yang Menjadi Jinak

Pers, yang sejatinya merupakan kekuatan keempat demokrasi, memiliki tugas mulia untuk mengawal kebijakan publik, menjaga keseimbangan kekuasaan, dan memperjuangkan kesejahteraan rakyat. Namun, kenyataannya, sebagian pers justru bermesraan dengan kekuasaan.

Ibarat anjing penjaga demokrasi yang galak, kini ia menjadi jinak di kaki pemiliknya. Media tidak lagi menjadi suara rakyat, melainkan alat propaganda politik dan ekonomi kelompok tertentu. Dengan pers yang kehilangan independensinya, pilar utama demokrasi pun mulai runtuh.

Kebijakan yang Membelenggu Kebebasan

Selain mengontrol pers, kudeta demokrasi dari dalam juga tercermin dalam berbagai kebijakan yang membatasi ruang gerak masyarakat sipil. Kebijakan ini sering kali hadir dalam bentuk regulasi yang terlihat formal tetapi berorientasi menekan kebebasan berpikir, berkumpul, berpendapat, berekspresi, bahkan berkeyakinan.

Ruang diskusi di kampus, yang seharusnya menjadi tempat berpikir kritis dan melahirkan gagasan baru, kini justru diteror. Ketua Umum YLBHI, Asfinawati, mencatat setidaknya ada 11 kebijakan pemerintah yang mengancam nilai-nilai demokrasi. Kebijakan ini memiliki pola serupa: menekan kebebasan sipil dan memperkuat kontrol kekuasaan.

Akibatnya, demokrasi menjadi lumpuh. Kebebasan berpikir dan berekspresi yang dulu menjadi hak asasi, kini berubah menjadi barang mewah yang sulit diakses.

Membendung Kudeta Demokrasi

Demokrasi yang dikudeta dari dalam adalah ancaman yang lebih berbahaya dibanding kudeta militer. Ia merusak dari akar, menjadikan institusi demokrasi sebagai alat legitimasi untuk tindakan otoriter.

Kita tidak boleh tinggal diam. Demokrasi adalah warisan reformasi yang diperjuangkan dengan darah dan air mata. Ia adalah milik seluruh rakyat, bukan milik sekelompok elite yang menggunakannya demi kepentingan pribadi atau kelompok.

Sebagai bangsa yang besar, Indonesia harus segera menyadari bahaya ini. Demokrasi perlu dirawat dan diperjuangkan agar kembali menjadi milik rakyat, bukan alat kekuasaan.

*Akademisi Ilmu Politik, dan Founder Sipil Institute.

(Visited 8 times, 1 visits today)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.