Oleh: Ruslan Ismail Mage*
Demokrasi, dengan segala janji kebebasan, kesetaraan, dan keterbukaannya, sering kali dianggap sebagai sistem pemerintahan paling ideal di dunia modern. Namun, seperti pisau bermata dua, demokrasi tidak luput dari kekurangan. Bahkan, seorang filsuf klasik dengan sinis pernah berkata, “Demokrasi adalah sistem pemerintahan yang buruk dari yang terburuk.” Meski demikian, hingga saat ini belum ditemukan sistem yang lebih baik, sehingga demokrasi tetap menjadi pilihan utama berbagai bangsa. Di balik klaim kesempurnaannya, demokrasi juga menghadirkan sejumlah paradoks, salah satunya adalah kemampuannya memicu polarisasi sosial dan politik di tengah masyarakat. Polarisasi ini, seperti api dalam sekam, berpotensi menghancurkan fondasi persatuan jika dibiarkan tanpa pengelolaan yang bijak.
Demokrasi Tak Sempurna
Tidak ada konsep atau sistem politik yang sempurna dalam mengelola pemerintahan di dunia, termasuk sistem demokrasi. Bahkan, seorang filsuf pernah menyatakan bahwa, “Demokrasi adalah sistem pemerintahan buruk dari yang terburuk.” Pernyataan ini mengandung ironi, sebab meskipun demokrasi diakui memiliki banyak kelemahan, tidak ada sistem lain yang dianggap lebih baik. Oleh karena itu, demokrasi tetap menjadi sistem pemerintahan yang diperjuangkan dan diadopsi di berbagai belahan dunia.
Memasuki abad ke-21, dunia menyaksikan gelombang redemokratisasi, yaitu transisi sistem pemerintahan dari otoritarianisme menuju demokrasi. Georg Sorensen, dalam analisisnya tentang fenomena global ini, menyebut era tersebut sebagai “musim semi demokrasi.” Beberapa negara dengan tradisi otoritarianisme yang kuat akhirnya tidak mampu menahan gejolak gelombang demokrasi yang membawa janji kebebasan, kesetaraan, dan keterbukaan. Tunisia, misalnya, menjadi simbol keberhasilan Arab Spring, di mana masyarakatnya berhasil menggulingkan rezim otoriter untuk mengadopsi pemerintahan demokratis. Namun, seperti fenomena lainnya, transisi demokrasi tidak selalu berjalan mulus dan justru melahirkan tantangan baru.
Selama hampir tiga dasawarsa usia demokrasi di Indonesia, apa yang diperingatkan oleh Plato dan Aristoteles tampaknya semakin relevan: “Jangan terlalu mengandalkan demokrasi, karena demokrasi itu mengandung banyak kelemahan.” Demokrasi memang memiliki konsep yang sangat mulia, tetapi mengharapkan sistem ini mampu menyelesaikan semua persoalan bangsa adalah utopis. Justru, dalam praktiknya, demokrasi sering kali menjadi arena konflik yang mempertegas perpecahan sosial dan politik.
Dalam konteks Indonesia, polarisasi sosial dan politik menjadi salah satu konsekuensi dari sistem demokrasi yang diterapkan. Pemilu, yang seharusnya menjadi ajang pesta rakyat, kerap berubah menjadi medan pertempuran ideologis antara kelompok-kelompok yang saling berseberangan. Polarisasi ini semakin terlihat pada Pemilu 2014 dan 2019, di mana kontestasi politik antara dua kandidat utama—Joko Widodo dan Prabowo Subianto—membelah masyarakat ke dalam dua kubu besar yang saling menyerang satu sama lain, baik di dunia nyata maupun media sosial. Data dari Lembaga Survei Indonesia (LSI) menunjukkan bahwa 52% masyarakat Indonesia merasa polarisasi politik semakin tajam dalam satu dekade terakhir, dan lebih dari separuhnya merasa hubungan antartetangga menjadi renggang akibat perbedaan pilihan politik.
Lebih parah lagi, demokrasi Indonesia juga diwarnai oleh politik identitas yang sering kali memperkeruh suasana. Pada Pilkada DKI Jakarta 2017, isu agama dan etnis digunakan sebagai senjata politik untuk menjatuhkan lawan. Akibatnya, bukan hanya terjadi keretakan sosial di masyarakat, tetapi juga terciptanya narasi intoleransi yang bertentangan dengan prinsip dasar demokrasi itu sendiri. Polarisasi seperti ini tidak hanya membahayakan stabilitas sosial, tetapi juga memperlemah kemampuan bangsa untuk bersatu dalam menghadapi tantangan bersama.
Di sisi lain, demokrasi yang idealnya menjamin keterbukaan dan kesetaraan juga menghadapi persoalan serius terkait kualitas pemimpin yang dihasilkan. Dalam beberapa kasus, proses demokrasi justru melahirkan pemimpin-pemimpin populis yang lebih mementingkan retorika daripada substansi. Fenomena ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di berbagai negara lain, seperti Amerika Serikat di bawah Donald Trump atau Brasil di bawah Jair Bolsonaro. Para pemimpin populis sering kali menggunakan polarisasi sebagai strategi politik untuk meraih dan mempertahankan kekuasaan, tanpa memikirkan dampaknya terhadap integrasi sosial dan keutuhan bangsa.
Apa yang kita saksikan hari ini adalah paradoks demokrasi: sistem yang menjanjikan kesetaraan dan kebebasan justru sering kali menjadi penyebab utama polarisasi sosial dan politik. Plato dan Aristoteles telah memperingatkan risiko ini ribuan tahun lalu, tetapi peringatan mereka seolah tidak dihiraukan. Demokrasi memang tidak dirancang untuk menjadi sistem yang sempurna, tetapi itu tidak berarti kita harus menerima kelemahannya tanpa upaya perbaikan. Polarisasi sosial dan politik yang semakin tajam harus menjadi pengingat bahwa demokrasi membutuhkan pengawasan yang ketat dan partisipasi masyarakat yang lebih luas untuk tetap berada di jalur yang benar.
Polarisasi: Dampak Demokrasi yang Terabaikan
Salah satu kelemahan demokrasi adalah kemampuannya memicu munculnya polarisasi yang semakin mempertegas garis pemisah dalam kehidupan masyarakat. Polarisasi sosial, misalnya, adalah segregasi yang terjadi akibat berbagai faktor, seperti ketimpangan pendapatan, perbedaan status sosial, dan pekerjaan. Perubahan pola ekonomi yang cenderung meminggirkan kelompok-kelompok tertentu memperburuk situasi ini. Diferensiasi antara kelompok berpendapatan tinggi dan rendah menciptakan jurang yang sulit dijembatani.
Fenomena ini sangat terlihat di daerah perkotaan, tempat di mana kesenjangan ekonomi semakin kentara. Kota-kota besar di Indonesia seperti Jakarta menjadi contoh nyata dari ironi ini. Di satu sisi, kita bisa menyaksikan kemewahan gedung pencakar langit yang simbolik bagi kelompok masyarakat berpenghasilan tinggi, sementara di sisi lain, area-area kumuh tetap menjadi pemandangan kontras yang menyakitkan. Sebagai contoh, data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa indeks Gini Indonesia pada tahun 2022 mencapai angka 0,384, yang menandakan kesenjangan distribusi pendapatan yang masih signifikan. Kawasan elite seperti Menteng dan Pondok Indah berdampingan dengan daerah-daerah miskin seperti Tanah Abang dan Kampung Melayu, mencerminkan polarisasi sosial yang terus tumbuh.
Polarisasi sosial ini tidak hanya sekadar perbedaan ekonomi, tetapi juga melibatkan aspek ras dan kelas sosial yang kompleks. Di kota-kota besar, minoritas tertentu cenderung mendominasi sektor-sektor ekonomi tertentu, sementara mayoritas lainnya terjebak dalam pekerjaan informal atau pengangguran. Keadaan ini memicu ketegangan antar kelompok yang berbeda, baik secara ekonomi maupun etnis, memperdalam rasa ketidakadilan dan eksklusivitas dalam kehidupan perkotaan.
Di sisi lain, polarisasi politik adalah fenomena yang tidak kalah mengkhawatirkan. Polarisasi ini ditandai dengan perbedaan pandangan politik yang tajam antara kelompok-kelompok, sehingga menciptakan konflik yang terus memanas. Indonesia menjadi contoh konkret bagaimana polarisasi politik mampu mengubah lanskap sosial menjadi medan perang ideologi. Puncak dari fenomena ini terjadi pada Pemilu 2014, ketika muncul istilah “cebong” dan “kampret” yang merujuk pada pendukung dua kubu politik yang saling berseberangan. Fenomena ini terus berlanjut dalam Pemilu 2019, mempertegas pembelahan politik yang semakin sulit disatukan.
Ketegangan ini tidak hanya terjadi di tingkat elit politik tetapi juga menjalar ke akar rumput. Media sosial menjadi medan utama bagi polarisasi ini untuk berkembang. Platform seperti Facebook, Twitter, dan Instagram dipenuhi oleh konten-konten yang bersifat provokatif, membakar emosi pendukung masing-masing kubu. Sebuah studi yang dilakukan oleh Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) pada tahun 2021 mengungkapkan bahwa 60% konten ujaran kebencian di media sosial di Indonesia berkaitan dengan polarisasi politik. Polarisasi yang awalnya terjadi karena perbedaan pilihan politik, kini meluas menjadi perpecahan di masyarakat yang menyangkut agama, ras, dan identitas lainnya.
Tidak hanya itu, polarisasi politik ini juga berdampak pada stabilitas pemerintahan. Proses legislasi menjadi lebih sulit karena minimnya konsensus antar partai politik. Contohnya, pada tahun 2019, pembahasan Undang-Undang KPK diwarnai perdebatan sengit yang membelah opini publik dan para wakil rakyat di parlemen. Akibatnya, efektivitas pemerintahan menurun karena waktu dan energi lebih banyak dihabiskan untuk konflik politik dibandingkan dengan pengambilan keputusan strategis untuk kepentingan bangsa.
Demokrasi, yang sejatinya bertujuan menciptakan harmoni dalam keragaman, justru menjadi katalisator bagi segregasi yang semakin tajam di masyarakat. Polarisasi sosial dan politik bukan hanya melemahkan struktur sosial, tetapi juga menciptakan ancaman serius terhadap persatuan bangsa. Tantangan terbesar adalah bagaimana mengelola demokrasi tanpa membiarkannya menjadi alat pembelahan yang menghancurkan tatanan masyarakat. []