Oleh: Ruslan Ismail Mage*

Radikalisme bukanlah fenomena baru dalam sejarah peradaban manusia, termasuk dalam perjalanan bangsa Indonesia. Namun, kehadirannya sering kali berubah bentuk, tergantung pada dinamika sosial, politik, dan ekonomi yang melingkupinya.

Radikalisme dalam Demokrasi

Gerakan radikal tidak dapat tumbuh subur pada era Orde Baru. Sistem otoritarianisme yang diterapkan pemerintah saat itu menjadi penghalang bagi kelompok-kelompok yang memiliki agenda radikal untuk muncul ke permukaan. Namun, situasi berubah drastis setelah Indonesia memasuki era demokrasi. Demokratisasi, yang membuka ruang kebebasan berekspresi, memberikan peluang bagi kelompok radikal untuk hadir dan bahkan memengaruhi panggung politik nasional. Mengapa ini bisa terjadi? Salah satu alasannya adalah karena demokrasi mengharuskan adanya toleransi, termasuk terhadap keberadaan individu atau kelompok yang memiliki pandangan ekstrem. Dalam konteks ini, penguasa di era demokrasi sering kali terpenjara oleh tuntutan menjaga citra sebagai pemimpin yang menghormati kebebasan. Akibatnya, mereka cenderung bersikap permisif, bahkan terhadap perilaku kelompok radikal yang menggunakan kekerasan untuk memperjuangkan ideologi mereka.

Kaum moderat, yang semestinya menjadi penyeimbang, justru sering kali bersikap diam. Diamnya kelompok moderat ini bukan berarti mereka mendukung aksi radikal, tetapi lebih karena enggan terlibat atau takut disalahartikan. Meski demikian, ada pula segelintir kaum moderat yang diam-diam menyetujui tindakan kelompok radikal. Dukungan ini muncul bukan semata karena kesamaan ideologi, melainkan karena mereka melihat gerakan radikal tersebut sejalan dengan kepentingan atau nilai yang mereka perjuangkan. Fenomena ini semakin memperkuat posisi kelompok radikal di tengah masyarakat, khususnya di negara-negara demokrasi seperti Indonesia.

Dalam konteks Indonesia, yang dikenal sebagai salah satu negara demokrasi terbesar di dunia, peluang munculnya gerakan radikal perlu dilihat melalui dua pendekatan utama. Pertama, radikalisme yang dipicu oleh kerusakan sistem. Pendekatan ini melihat bahwa radikalisme lahir dari ketidakpuasan masyarakat terhadap sistem yang dianggap tidak mampu memenuhi harapan mereka. Ketika sistem hukum, ekonomi, atau politik dianggap korup dan tidak adil, masyarakat yang kecewa cenderung mencari alternatif. Dalam situasi ini, kelompok radikal sering kali menawarkan solusi yang dianggap lebih tegas dan memberikan harapan bagi mereka yang merasa terpinggirkan.

Pendekatan kedua adalah radikalisme berlatar belakang agama. Dalam hal ini, gerakan radikal muncul dari keyakinan bahwa sistem yang ada tidak sesuai dengan nilai-nilai agama tertentu. Meskipun demikian, sejarah Indonesia menunjukkan bahwa radikalisme berbasis agama tidak sebesar ancaman yang ditimbulkan oleh radikalisme yang berakar pada kerusakan sistem. Gerakan radikal berbasis agama, seperti yang terjadi pada masa pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII), lebih banyak disebabkan oleh dendam akibat pengkhianatan politik dibandingkan dengan alasan teologis semata. Di era reformasi ini, partai-partai Islam cenderung lebih moderat dan berkomitmen pada nilai-nilai kebinekaan.

Kedua pendekatan ini menunjukkan bahwa radikalisme di Indonesia tidak dapat dipandang sebagai fenomena tunggal. Demokrasi yang membuka ruang kebebasan telah menjadi paradoks. Di satu sisi, demokrasi memungkinkan masyarakat menyuarakan aspirasi mereka, tetapi di sisi lain, juga memberikan panggung bagi kelompok radikal untuk menyebarkan ideologi mereka. Oleh karena itu, pemerintah dan masyarakat harus bekerja sama untuk memperkuat fondasi demokrasi sambil tetap waspada terhadap ancaman radikalisme. Dengan memahami akar penyebabnya melalui kedua pendekatan ini, kita dapat mengidentifikasi langkah-langkah strategis untuk mencegah radikalisme merongrong stabilitas bangsa.

Pendekatan Kerusakan Sistem

Radikalisme tidak muncul dalam ruang hampa. Seperti ditegaskan oleh David Apter dalam teorinya tentang kerusakan sistem, “Ketika kerusakan sistem tidak segera diperbaiki atau terlambat diperbaiki, sistem itu yang memaksa rakyatnya menjadi radikal.” Pemikiran ini memberikan perspektif tajam dalam memahami potensi berkembangnya radikalisme di Indonesia. Dengan melihat fakta bahwa hampir seluruh elemen berbangsa dan bernegara telah menunjukkan kerusakan sistemik, maka tidak mengherankan jika radikalisme dapat menemukan ruang untuk tumbuh subur. Sistem hukum, misalnya, telah menjadi salah satu indikator nyata kerusakan tersebut. Ungkapan bahwa “hukum tajam ke bawah dan tumpul ke atas” mencerminkan ketidakadilan yang semakin kasat mata di masyarakat. Akibatnya, hukum justru menjadi “ibu kandung” yang melahirkan radikalisme karena gagal mendistribusikan keadilan secara merata.

Di bidang ekonomi, situasi tidak kalah memprihatinkan. Sistem ekonomi kerakyatan yang digariskan dalam UUD 1945 tampaknya telah tergantikan oleh adopsi sistem kapitalis liberal. Penerapan konsep laissez-faire, di mana pasar dibiarkan berjalan tanpa campur tangan pemerintah, menjadi salah satu penyebab utama ketimpangan ekonomi. Rakyat kecil, yang sering kali berada di garis depan potensi rentang radikalisme, semakin sulit bertahan hidup karena harga kebutuhan pokok melambung tinggi tanpa regulasi yang memihak mereka. Fenomena ini tampak jelas dalam data kemiskinan struktural, di mana orang miskin bukan karena malas bekerja, melainkan karena sistem yang hanya menguntungkan pemilik modal besar. Ketika kebutuhan dasar seperti makanan sulit dijangkau, potensi rakyat untuk terjerumus dalam gerakan radikal menjadi semakin besar.

Sebagai contoh nyata, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pada 2023 bahwa jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 9,57% dari total populasi. Di balik angka tersebut, ada ketimpangan yang lebih mencolok. Menurut laporan Oxfam (2017), empat orang terkaya di Indonesia memiliki kekayaan yang setara dengan gabungan kekayaan 100 juta orang termiskin di negeri ini. Selain itu, data menyebutkan bahwa 80% tanah di Jakarta kini dikuasai oleh segelintir kelompok tertentu, yang mayoritas bukan pribumi. Kekayaan alam, seperti minyak dan hutan, sebagian besar telah dikelola oleh perusahaan asing, bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945 yang menekankan bahwa kekayaan alam harus digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Situasi ini menunjukkan bahwa sistem ekonomi tidak hanya gagal, tetapi juga menciptakan kondisi yang memicu frustrasi kolektif.

Kerusakan sistem ini tidak hanya berhenti pada aspek hukum dan ekonomi, tetapi juga berakar pada ketidakmampuan negara untuk menjamin hak dasar rakyatnya sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 34 ayat (1) UUD 1945: “Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara.” Ketika negara gagal mengalokasikan sumber daya secara merata, pemerintah secara tidak langsung menabur benih radikalisme. Dalam konteks ini, radikalisme bukan semata-mata masalah ideologi, apalagi agama, melainkan persoalan sistemik yang menciptakan kesenjangan ekstrem. Di sinilah kerusakan sistem hukum dan ekonomi menjadi faktor pemicu utama lahirnya gerakan radikal.

Teori Kekerasan Struktural yang dikemukakan oleh Johan Galtung memperkuat analisis ini. Kekerasan struktural terjadi bukan karena tindakan individu tertentu, tetapi sebagai hasil dari sistem sosial yang tidak adil. Dalam kerangka teori ini, kekerasan tidak selalu bersifat langsung atau fisik, melainkan dapat berupa pengabaian hak-hak dasar oleh aparatur negara. Ketidakadilan sistemik yang tercermin dalam birokrasi, regulasi, dan kebijakan ekonomi menciptakan kondisi di mana rakyat merasa tertekan tanpa jalan keluar. Dua teori ini—Kerusakan Sistem dan Kekerasan Struktural—dengan jelas menunjukkan bahwa potensi berkembangnya radikalisme di Indonesia adalah konsekuensi dari kegagalan sistem. Jika tidak ada upaya serius untuk memperbaiki kerusakan ini, ancaman radikalisme akan terus membayangi stabilitas bangsa.

Pendekatan Berlatar Agama

Pendekatan berlatar agama dalam memotret potensi gerakan radikalisme di Indonesia memiliki peluang yang lebih kecil dibandingkan dengan pendekatan yang menekankan kerusakan sistem sebagai pemicu utama. Hal ini sejalan dengan fakta historis bahwa hampir tidak pernah gerakan radikalisme di Indonesia muncul untuk melawan pemerintahan yang sah secara konstitusional atas nama agama. Sebagian besar pergerakan yang muncul justru dilatarbelakangi oleh dendam akibat pengkhianatan, bukan oleh alasan ideologis keagamaan. Meski demikian, potensi munculnya radikalisme dengan pendekatan agama tetap relevan untuk dianalisis, terutama mengingat posisi Islam sebagai agama mayoritas di Indonesia. Pandangan Al-Asymawy, seorang intelektual Mesir, menjadi relevan dalam konteks ini. Ia mengingatkan bahwa “Ketika Islam dekat dengan politik dan kekaisaran, maka arah Islam sendiri diganti secara radikal oleh manipulasi politik.”

Sejarah panjang Islam di Indonesia membuktikan bahwa agama ini tidak hanya memiliki peran spiritual, tetapi juga kekuatan politik yang signifikan. Mulai dari masa sebelum kemerdekaan hingga era reformasi, Islam selalu memainkan peran dalam menentukan arah perpolitikan nasional. Meskipun demikian, munculnya dikotomi antara kelompok Islam dan nasionalis secara tidak sengaja telah memisahkan Islam sebagai kekuatan politik tersendiri. Namun, pasca reformasi, fenomena “repolitisasi Islam” menjadi perbincangan yang hangat. Partai-partai Islam bermunculan, seperti PPP, PKB, PAN, dan PKS, dengan berbagai pendekatan terhadap politik dan nilai-nilai Islam. Di satu sisi, repolitisasi ini bernilai positif karena menunjukkan bahwa Islam, seperti agama-agama lain, tidak bisa dipisahkan dari kehidupan politik. Namun di sisi lain, repolitisasi ini juga dianggap manipulatif jika agama hanya dijadikan simbol untuk menarik suara masyarakat.

Fenomena ini memunculkan pertanyaan besar: sejauh mana partai politik Islam benar-benar mengimplementasikan nilai-nilai Islam dalam politiknya? Dalam kenyataannya, partai-partai ini lebih sering menggunakan simbol agama untuk menarik simpati pemilih daripada menerapkan prinsip Islam yang sesungguhnya dalam praktik politik. Misalnya, doktrin halal-haram yang menjadi bagian dari ajaran Islam tidak dijadikan acuan utama dalam pengambilan kebijakan politik. Alih-alih menjadi kekuatan ideologis yang solid, partai-partai Islam lebih sibuk bersaing untuk mendapatkan suara, tanpa menawarkan solusi konkret berbasis nilai Islam yang relevan dengan tantangan zaman. Dengan demikian, potensi militansi berbasis agama dalam politik Islam di Indonesia masih sangat terbatas.

Selain itu, sifat moderasi Islam di Indonesia juga memainkan peran penting dalam menahan potensi radikalisme. Meskipun Indonesia adalah negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia, Islam di Indonesia cenderung menampilkan wajah yang moderat dan damai. Tokoh-tokoh Islam yang aktif dalam politik pun konsisten menjaga bahwa Islam adalah agama cinta damai yang tidak mendukung kekerasan. Hal ini berbeda dengan beberapa negara lain di mana politik Islam sering kali diwarnai oleh aksi militan. Dalam konteks ini, kekhawatiran Al-Asymawy tentang manipulasi Islam untuk kepentingan politik tidak terlalu relevan di Indonesia. Sebaliknya, Islam tetap menjadi kekuatan politik yang berusaha menjaga keutuhan bangsa dan negara, tanpa melupakan prinsip kebhinnekaan.

Melihat perjalanan bangsa selama satu dasawarsa terakhir, potensi munculnya gerakan radikalisme berbasis agama untuk melawan pemerintahan yang sah sangat kecil. Meskipun demokratisasi memberi ruang bagi setiap kelompok untuk memperjuangkan ideologi dan keyakinannya, masyarakat Indonesia sudah terbiasa dengan keberagaman. Konflik berbasis agama lebih banyak dipicu oleh masalah sosial dan ekonomi daripada faktor ideologi agama itu sendiri. Oleh karena itu, dibandingkan dengan pendekatan kerusakan sistem atau kekerasan struktural, pendekatan agama memiliki peluang yang lebih kecil untuk menjadi faktor utama dalam memicu radikalisme di Indonesia. Namun demikian, upaya terus-menerus untuk menjaga moderasi dan harmoni tetap diperlukan agar radikalisme, dalam bentuk apa pun, tidak mendapatkan ruang untuk tumbuh. []

*Akademisi, penulis buku-buku politik, demokrasi, dan kepemimpinan.

(Visited 4 times, 1 visits today)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.