Oleh: Ruslan Ismail Mage*

Era modern telah melahirkan berbagai transformasi sosial yang mengubah cara manusia menjalani kehidupan. Teknologi yang awalnya diciptakan untuk memudahkan komunikasi kini berkembang menjadi bagian tak terpisahkan dari identitas manusia. Media sosial, sebagai salah satu produk unggulan revolusi teknologi informasi, telah melampaui fungsi awalnya sebagai alat komunikasi. Ia telah bertransformasi menjadi sesuatu yang lebih besar, menjadi “agama baru” bagi masyarakat era digital.

Media Sosial sebagai Ritual Modern

Pada dekade 1980-an, George Gerbner, seorang pakar komunikasi dan televisi, mencetuskan sebuah gagasan revolusioner: televisi telah menjadi “agama baru” masyarakat industrial. Bagi banyak keluarga di dunia, khususnya di Indonesia, televisi menjadi kebutuhan mendasar yang bahkan melebihi pentingnya menjalankan ritual keagamaan. Duduk di depan layar kaca seolah menjadi kewajiban harian, menggantikan banyak momen refleksi spiritual yang sebelumnya menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat.

Namun, memasuki dekade 2000-an, arus deras perkembangan teknologi informasi menggeser posisi televisi. Media sosial, dengan daya tarik dan aksesibilitasnya, menjadi panutan baru bagi masyarakat modern, terutama kaum muda. Tidak sekadar alat komunikasi, media sosial menjelma menjadi pedoman hidup, membentuk cara pandang, gaya hidup, dan bahkan nilai-nilai moral generasi milenial dan generasi Z.

Jejaring sosial, atau yang lazim dikenal sebagai social network, telah berkembang pesat dan menjadi tren gaya hidup. Baik tua maupun muda, laki-laki maupun perempuan, kini memiliki caranya masing-masing dalam memanfaatkan fasilitas ini. Media sosial menciptakan revolusi teknologi yang menembus batas ruang dan waktu, memberikan akses instan ke dunia maya tanpa sekat geografis. Bahkan, status seseorang di dunia nyata sering kali diukur dari kehadiran dan aktivitasnya di media sosial. Dalam konteks ini, memiliki akun media sosial tidak lagi bersifat opsional, tetapi dianggap sebagai kebutuhan mendasar.
Fenomena ini, menurut saya, telah menjadi realitas sosial yang memiliki kecenderungan menjelma menjadi “agama baru” era digital. Sebagai “agama baru,” media sosial memiliki ritual yang diikuti dengan khidmat oleh “jemaatnya.” Para pengikut media sosial berasal dari berbagai kalangan, terutama kaum muda, yang tersebar hingga pelosok desa. Mereka rela duduk berjam-jam dengan jemari yang menari di atas layar ponsel demi mengikuti ritual dunia maya. Platform seperti Facebook, Twitter, Instagram, WhatsApp, dan TikTok menjadi altar digital tempat mereka menumpahkan perhatian, energi, dan waktu.
Secara tradisional, agama memiliki peran utama sebagai penyeimbang emosi dan tempat perlindungan spiritual bagi pemeluknya. Ketika menghadapi masalah yang tidak dapat dipecahkan secara logika, agama memberikan dukungan moral, menjadi pelipur lara di kala duka, dan menjadi panduan dalam menghadapi ketidakpastian. Namun, peran ini kini mulai tergeser oleh media sosial. Banyak pengguna media sosial menjadikan platform-platform tersebut sebagai tempat curahan hati saat menghadapi kegalauan, kesedihan, atau kebimbangan.

Sebuah survei di Amerika Serikat terhadap 1.000 anak berusia 8-15 tahun menemukan bahwa 40% remaja putri dan 6% remaja putra menganggap Facebook sebagai salah satu dari tiga hal terpenting dalam hidup mereka. Ini menunjukkan bagaimana peran media sosial mulai menggantikan agama dan keluarga dalam memberikan dukungan emosional dan moral. Di Indonesia, fenomena ini juga semakin terlihat. Banyak kaum muda yang lebih memilih menghabiskan waktu untuk menggulir layar ponsel daripada merenung di tempat ibadah atau berdiskusi dengan keluarga.

Jika dalam agama tradisional terdapat waktu-waktu wajib untuk beribadah, maka media sosial juga memiliki “jam wajib” bagi pengikutnya. Aktivitas seperti mengecek notifikasi saat bangun tidur, mengunggah cerita di Instagram, atau membaca cuitan terbaru di Twitter telah menjadi rutinitas yang tak kalah sakral. Bahkan, pertanyaan reflektif muncul: ketika bangun di pagi hari, mana yang lebih dahulu diambil, air wudu atau ponsel?

Media sosial juga telah menciptakan standar baru dalam relasi sosial. Jika dahulu hubungan keluarga dan komunitas keagamaan menjadi prioritas, kini jejaring sosial virtual menggantikan posisi tersebut. Orang tua, yang dulunya menjadi tempat bertanya dan berbagi cerita, kini sering kali tergantikan oleh teman-teman virtual di media sosial. Kenikmatan yang ditawarkan oleh media sosial bahkan mampu menyuguhkan euforia yang kadang lebih menggugah daripada menghadiri khotbah atau ceramah keagamaan.

Jika kita merenungkan fenomena yang telah dan sedang terjadi di sekitar kita, khususnya daya tarik dan pengaruh sosial media dalam kehidupan era digital, kita dihadapkan pada realitas yang tidak bisa diabaikan: peran dan fungsi keagamaan dalam kehidupan masyarakat, sebagian besar telah diambil alih oleh sosial media. Kehadirannya tidak hanya sekadar alat komunikasi atau hiburan, tetapi sudah menjadi bagian integral dari kehidupan sehari-hari, yang hampir dipastikan telah menguasai jiwa-jiwa para pengikutnya.

Fenomena ini membawa kita pada pertanyaan mendasar: bagaimana posisi orang tua sebagai pengarah perjalanan hidup anak-anak mereka di tengah derasnya arus digitalisasi? Berdasarkan hasil survei di negara maju seperti Amerika Serikat, anak-anak yang menghadapi persoalan hidup lebih memilih curhat kepada teman-teman mereka di Facebook dibandingkan berdiskusi atau meminta nasihat kepada orang tua. Kenikmatan dan kenyamanan yang ditawarkan sosial media mampu menggantikan peran spiritualitas tradisional, bahkan menggeser ruang-ruang keagamaan seperti majelis taklim sebagai tempat mencari ketenangan jiwa.

Realitas ini memberikan tantangan besar bagi masyarakat, khususnya bagi orang tua, pemuka agama, dan pemimpin komunitas. Bagaimana nilai-nilai spiritual yang autentik bisa kembali dimaknai di tengah era digital ini? Bagaimana peran agama dan keluarga bisa dipulihkan sebagai pemandu moral yang hakiki, di tengah derasnya arus informasi yang tidak selalu memiliki landasan etis?

Pengaruh sosial media jelas tidak dapat diremehkan. Ia telah merambah ke semua lapisan masyarakat, menawarkan ruang pelarian, validasi sosial, hingga hiburan yang tiada habisnya. Namun, kita perlu terus mengingat bahwa peran media sosial sebagai “agama baru” tidak bisa sepenuhnya menggantikan kebutuhan spiritual yang mendalam. Tantangan kita adalah menemukan keseimbangan antara kemajuan teknologi dengan nilai-nilai luhur yang telah membentuk fondasi kehidupan bermasyarakat selama ini. []

*Akademisi, penulis buku-buku politik, demokrasi, dan kepemimpinan.

(Visited 24 times, 1 visits today)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.