Oleh: Tammasse Balla

Di sebuah kampung yang tenteram, di mana rumah-rumah panggung masih berdiri kokoh dengan tiang-tiang kayu yang telah menua, hiduplah seorang perempuan yang dulu dikenal sebagai Bu Anonim. Sebelum ia menunaikan ibadah haji, ia adalah sosok yang gesit. Setiap ada pesta pernikahan atau khitanan, tangannya yang cekatan selalu bergerak cepat, membersihkan piring-piring kotor di belakang dapur. Suaranya riang, sesekali bercanda dengan ibu-ibu lain yang sibuk meracik makanan atau mengatur hidangan. Ia dikenal bukan hanya karena kebaikannya, tapi juga karena keikhlasannya.

Namun, ada sesuatu yang besar terjadi dalam hidupnya. Ia berangkat ke tanah suci. Sebuah perjalanan yang diimpikan oleh banyak orang di kampungnya. Ia kembali dengan predikat baru, Bu Aji Anonim. Namanya dulu biasa saja, kini mendapat lapisan makna yang lebih dalam. Ada sorot hormat dalam setiap pandangan yang ditujukan padanya. Ada perubahan dalam cara orang-orang menyapanya. Kalau dulu mereka memanggilnya dengan nada akrab, kini suara mereka lebih tertata, lebih rendah, lebih penuh takzim.

Bukan hanya masyarakat yang berubah, melainkan Bu Aji sendiri pun kini berbeda. Tangan yang dulu sigap mencuci piring kini lebih sering terlipat di pangkuan. Kalau ia datang ke pesta, ia tidak lagi mengambil sendok dan membantu di dapur. Ia duduk manis di barisan depan, mengenakan baju gamis dengan jilbab yang lebih panjang dari sebelumnya. Ia tersenyum, tetapi tidak seperti dulu. Senyumnya kini lebih halus, lebih penuh wibawa.

Di kampung ini, hajatan besar selalu ditandai dengan ritual Mappacci, malam sakral sebelum pernikahan, di mana calon mempelai mendapatkan restu dari orang-orang terhormat. Daun pacar disematkan ke telapak tangan mereka, sebuah simbol keberkahan dan doa. Sebelum menunaikan haji, Bu Anonim tidak pernah dipanggil untuk menyematkan daun pacar. Ia hanya menyaksikan dari jauh, tersenyum di antara ibu-ibu lain yang sibuk mengurusi makanan. Tapi kini, setiap kali ada Mappacci, namanya selalu disebut oleh MC.

“Bu Aji Anonim, mohon berkenan untuk menyematkan daun pacar.”

Ia bangkit dengan anggun, melangkah pelan. Ia duduk di antara bapak-bapak haji dan ibu-ibu lain yang telah lebih dulu naik haji. Tangan yang dulu lincah mencuci piring kini menyentuh telapak tangan pengantin dengan lembut. Setiap sentuhan menjadi doa, setiap gerakan menjadi pertanda bahwa ia kini bukan sekadar warga biasa. Ia adalah Bu Aji.

Perubahan ini menimbulkan banyak bisik-bisik di kampung. Ada yang hormat, ada yang iri, ada yang menganggap itu wajar, ada yang menganggapnya berlebihan. “Dulu dia rajin cuci piring, sekarang duduk manis saja,” bisik seorang ibu di dapur. “Memang kalau sudah haji, beda kelas,” jawab yang lain, setengah bercanda, setengah serius.

Bu Aji tidak pernah ambil pusing. Ia tahu dunia kampung punya aturan yang tak tertulis, punya hierarki yang dibangun dari tradisi dan persepsi sosial. Menjadi Bu Aji bukan hanya tentang pergi ke Mekkah, tapi juga tentang bagaimana orang lain melihat dirinya setelah pulang dari sana. Ia telah memasuki tingkatan baru dalam tangga sosial kampungnya, dan ia menjalani peran itu dengan anggun.

Namun, ada satu hal yang tidak berubah. Saat malam-malam sepi, ketika pesta telah usai dan tamu telah pulang, ia masih mengambil air wudu dengan cara yang sama. Ia masih menengadahkan tangan ke langit dengan doa yang sama. Mungkin kini ia lebih dihormati, lebih dipandang tinggi, tetapi di hadapan Tuhannya, ia tetap perempuan yang dulu. Hanya seorang hamba yang terus belajar. []

(Visited 24 times, 1 visits today)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.