Oleh: Tammasse Balla
Menulis itu seperti udara pagi yang menembus sela-sela dedaunan, menghidupkan embun di ujung rumput. Ia bukan sekadar kegiatan, bukan sekadar hobi, melainkan kebutuhan jiwa. Tanpa menulis, pikiran hanya akan berputar-putar seperti angin yang kehilangan arah, tak pernah sampai menjadi badai yang mampu mengubah dunia. Seperti akar pohon yang mencengkeram tanah, menulis adalah cara manusia menautkan dirinya pada kehidupan, pada sejarah, pada perasaan yang sering kali tak mampu diungkapkan hanya dengan kata-kata lisan.
Sejarah tidak pernah lahir dari sekadar bisik-bisik di pasar atau obrolan di warung kopi. Sejarah ada karena ada yang mencatat, ada yang berani mengukirnya dalam barisan huruf yang berderet rapi di atas kertas atau layar. Kita mengenal para pemikir, para raja, bahkan para pemberontak karena mereka meninggalkan jejak dalam tulisan. Jika harimau mati meninggalkan belang, manusia mati meninggalkan tulisan. Tidak ada yang lebih abadi daripada kata-kata yang tertulis. Suatu saat, suara bisa hilang, wajah bisa dilupakan, tetapi tulisan tetap setia menjadi saksi bahwa seseorang pernah ada, pernah berpikir, pernah bermimpi.
Menulis juga seperti cermin bagi jiwa. Kadang kita merasa penuh, seperti cangkir teh yang terus dituangi air hingga meluber ke meja. Pikiran-pikiran yang menumpuk, perasaan yang meledak-ledak, semuanya butuh ruang untuk dikeluarkan. Menulis adalah cara mengosongkan bejana batin, agar kepala tak terlalu berat menampung luka dan bahagia sekaligus. Ia menjadi sahabat paling jujur, tempat bersembunyi dari hiruk-pikuk dunia, sekaligus jembatan menuju pemahaman diri.
Namun, menulis juga bisa jadi makhluk liar, seperti kuda yang masih liar di padang rumput. Jika tak dijinakkan, ia hanya berlari tanpa tujuan, menghamburkan tenaga tanpa arti. Menulis membutuhkan kesabaran, keuletan, dan keberanian untuk mengolah kata menjadi makna. Seperti petani yang menanam padi, menulis juga butuh dipupuk dengan membaca, diasah dengan berpikir, dan dipanen dengan keberanian untuk membagikannya kepada dunia.
Orang boleh pandai bicara, tetapi tanpa menulis, kata-katanya akan lenyap secepat asap dupa yang dibakar di altar. Menulis adalah cara agar pikiran tetap hidup, bahkan setelah jasad tak lagi bernapas. Lihatlah para penyair yang karyanya masih dibaca ratusan tahun setelah mereka kembali ke tanah. Lihatlah para filsuf yang tulisannya masih didiskusikan meski mereka telah lama menjadi debu. Kata-kata memiliki nyawa kedua di dalam tulisan, sesuatu yang tak bisa diberikan oleh sekadar ucapan.
Menulis bukan hanya untuk mereka yang ingin terkenal. Menulis adalah makanan jiwa, sama seperti nasi bagi tubuh. Bayangkan jika kita tak makan berhari-hari, tubuh akan lemas, kepala pusing, dan hidup kehilangan keseimbangannya. Begitu pula dengan jiwa—tanpa menulis, ia menjadi kering, kehilangan daya untuk merenung dan memahami dunia. Bahkan jika hanya untuk diri sendiri, menulis adalah vitamin bagi batin, tempat membangun rumah bagi ingatan dan harapan.
Karena itu, menulislah! Sebelum tinta kering, sebelum kertas putih berubah menjadi kenangan kosong. Sebelum menulis itu dilarang. Jangan tunggu tua untuk mencatat perjalanan, jangan tunggu sepi untuk menyusun kata-kata. Karena menulis bukan sekadar kebiasaan, bukan sekadar keterampilan—ia adalah kebutuhan. Manusia tak akan pernah benar-benar hidup tanpa meninggalkan jejak kata.