Oleh: Ruslan Ismail Mage*

Ketika seorang pemimpin berbohong dan mengingkari janji politiknya setelah pemilu, publik tidak lagi terkejut. Fenomena ini bukan sekadar rahasia umum, melainkan sudah menjadi pola yang terus berulang dalam setiap kontestasi politik. Seorang Machiavellian sejati memahami bahwa kekuasaan menuntut fleksibilitas, bahkan dalam hal moralitas. Seperti kata Niccolò Machiavelli, “Pemimpin harus pintar mengubah-ubah wajahnya.” Kapan ia harus menjadi singa yang gagah, kapan ia cukup menjadi kucing yang jinak, dan kapan pula harus berlagak seperti pelanduk yang licik.

Emma Goldman, aktivis sosial asal Amerika, bahkan lebih lugas dalam menyingkap realitas ini. Ia mengatakan, “Politisi akan menjanjikan surga sebelum pemilu, dan memberikan neraka sesudahnya.” Sebuah sindiran yang tak lekang oleh waktu, dan tampaknya masih relevan di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia.

Lalu, bagaimana dengan politisi di negeri ini? Sebuah kutipan anonim mencoba menjawabnya dengan getir, “Maaf, saya sudah berada di zona tidak mempercayai lagi politisi. Kalau pun mereka mengatakan api panas, itu pun masih harus diragukan.” Pernyataan yang menggambarkan betapa skeptisisme rakyat terhadap pemimpin semakin mengakar.

Seorang teman pernah berkomentar, “Hampir semua pemilu presiden di negeri ini cuma ganti ‘casing’, bukan ganti isi.” Artinya, secara tampilan fisik, pemimpin boleh berganti, namun di dalamnya tetap saja diisi oleh orang-orang dengan pola kepemimpinan yang sama: gemar mengobral janji manis saat kampanye, tetapi sulit menepatinya ketika berkuasa. Celakanya, sebagian rakyat masih lebih terpikat oleh kesing ketimbang memahami kualitas isi di dalamnya.

Sejak terpilihnya pemimpin baru dalam Pemilu Presiden 2024, berbagai terobosan mulai dilakukan. Dari sekian banyak kebijakan yang muncul, ada dua hal yang paling menyita perhatian publik.

Pertama, kebijakan penghematan anggaran yang menyebabkan pemangkasan dana di berbagai kementerian dan lembaga negara. Di satu sisi, kebijakan ini terlihat seperti langkah rasional di tengah ketidakstabilan ekonomi global. Namun, di sisi lain, keputusan ini memunculkan paradoks yang sulit dibantah. Bagaimana mungkin pemerintah mengklaim ingin berhemat, sementara pada saat yang sama justru membentuk kabinet tergemuk dalam sejarah, mendirikan berbagai badan baru, dan menambah deretan staf khusus yang tak terhitung jumlahnya?

Bagi publik yang kritis, kebijakan ini lebih tampak sebagai strategi politik untuk mengakomodasi kepentingan kelompok pendukung presiden, bukan sebagai langkah nyata dalam menyehatkan anggaran negara. Jika benar ingin berhemat, mengapa justru struktur pemerintahan semakin melebar dan penuh dengan jabatan yang tidak jelas efektivitasnya?

Kebijakan kedua yang tidak kalah kontroversial adalah pembentukan Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara atau BPI Danantara. Secara konsep, keberadaan Danantara memang tampak menjanjikan, terutama dalam mengelola keuntungan perusahaan-perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Rakyat tentu berharap, badan ini dapat menjadi solusi atas kebocoran anggaran yang selama ini kerap terjadi di BUMN.

Selama ini, publik tidak benar-benar mengetahui berapa besar keuntungan yang diperoleh BUMN dan bagaimana dana tersebut digunakan. Dengan adanya Danantara, harapannya adalah transparansi dalam pengelolaan dana perusahaan milik negara dapat terwujud, sehingga keuangan negara lebih sehat dan dapat digunakan untuk kesejahteraan rakyat.

Namun, harapan itu mulai terkikis saat publik mengetahui bahwa Danantara kemungkinan besar tidak dapat diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Ketiga atas UU No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN, disebutkan bahwa Danantara hanya akan diperiksa oleh akuntan publik, bukan oleh lembaga negara yang memiliki kewenangan penuh dalam mengaudit penggunaan anggaran.

Ketika kabar ini mencuat, skeptisisme rakyat pun menguat. Jika memang Danantara bertujuan untuk menyehatkan keuangan negara, mengapa transparansinya justru dikebiri? Mengapa badan investasi ini tidak tunduk pada audit negara yang sah, melainkan hanya diawasi oleh pihak independen yang tidak memiliki kekuatan hukum seperti BPK atau KPK?

Jika benar Danantara tidak bisa diaudit oleh BPK dan KPK, maka wajar jika rakyat mulai berasumsi liar. Jangan-jangan, Badan Pengelola Investasi yang digadang-gadang sebagai tonggak perekonomian bangsa ini justru berubah fungsi menjadi Badan Pengelola Income bagi segelintir elite?

Danantara, yang awalnya diharapkan menjadi solusi, bisa saja menjelma menjadi Dana Tak Kentara—sebuah kantong raksasa yang mengalirkan dana ke arah yang tak kasatmata. Jika hal ini terjadi, maka bukan hanya ekonomi negara yang dipertaruhkan, tetapi juga kepercayaan publik terhadap pemerintah.

Mungkin inilah yang disebut paradoks kepemimpinan: di satu sisi mengumbar jargon reformasi dan transparansi, tetapi di sisi lain menciptakan instrumen-instrumen keuangan yang sulit diawasi oleh rakyat.

Teori politik hope for the best, prepare for the worst tampaknya perlu diingat. Kita tentu berharap bahwa Danantara benar-benar menjadi mesin pertumbuhan ekonomi yang sehat, bukan justru menjadi ladang rente baru bagi segelintir elite. Namun, jika sejarah politik negeri ini menjadi cerminan, publik harus bersiap menghadapi kemungkinan terburuk.

Seperti kata pepatah, “Sejarah mengajarkan kita bahwa pemimpin datang dan pergi, tetapi permainan tetap sama.” Mari kita berharap Danantara tidak menjadi episode baru dalam rangkaian panjang kisah pengelolaan dana publik yang gelap dan sarat kepentingan.

*Penulis buku-buku politik, demokrasi, dan kepemimpinan.

(Visited 33 times, 1 visits today)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.