Oleh: Ruslan Ismail Mage*
Jika ada negara yang sering mengganti kurikulum pendidikan dengan harapan menjadi lebih baik, Indonesia mungkin pemegang rekor dunia. Data menunjukkan bahwa sejak merdeka, negara ini telah mengalami lebih dari sepuluh kali pergantian kurikulum, masing-masing dirancang oleh menteri yang berbeda, seolah berlomba mengikuti siklus politik lima tahunan. Alih-alih menciptakan sistem pendidikan yang kokoh dan berkesinambungan, pendekatan ini justru membuat arah pendidikan seperti kapal tanpa kompas, terombang-ambing tanpa kepastian.
Dampaknya begitu nyata: pembangunan sumber daya manusia berjalan di tempat, atau bahkan mundur. Indonesia seperti terjebak dalam metode kilometer nol, kembali ke titik awal setiap kali kepemimpinan berganti. Bukannya maju, justru terus mengulang eksperimen yang hasilnya belum tentu lebih baik dari sebelumnya. Seorang pemerhati pendidikan pernah berkata, “Teori pendidikan Indonesia sudah ke langit, tetapi akarnya tercerabut sebelum berbuah.”
Memang sulit membantah bahwa selama ini kurikulum pendidikan dirancang dengan pendekatan coba-coba. Kita masih ingat berbagai jargon seperti sekolah percontohan, sekolah penggerak, hingga merdeka belajar. Semua terdengar indah di atas kertas, tetapi hasilnya sering kali tidak jelas selain hanya melahirkan generasi pengelola pendidikan yang lebih pandai mengurus anggaran daripada menciptakan inovasi.
Sementara Indonesia sibuk dengan eksperimen kurikulum, negara tetangga seperti Malaysia telah lebih dulu merancang pendidikan dengan visi jangka panjang. Sejak dua dekade lalu, Malaysia merancang blueprint pendidikan yang berisi peta jalan jelas, termasuk visi, tujuan, serta prinsip dasar yang dijaga konsisten lintas generasi. Hasilnya? Output pendidikan Malaysia kini melampaui Indonesia. Ironisnya, dahulu Malaysia mendatangkan guru dari Indonesia, kini justru Indonesia berkiblat ke sistem pendidikan Malaysia.
Saatnya Meninggalkan Kurikulum Coba-Coba
Memasuki era Indonesia Emas 2045, sudah saatnya kita meninggalkan kebiasaan mengutak-atik kurikulum tanpa arah. Para perancang kebijakan pendidikan harus memiliki blueprint yang jelas, tidak lagi bergantung pada selera politik jangka pendek. Kita bisa belajar dari era Orde Baru, di mana ada kesinambungan dalam kebijakan pendidikan yang dirumuskan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Meskipun ada banyak kritik terhadap Orde Baru, satu hal yang tak bisa disangkal adalah sistem pendidikan yang relatif stabil dan memiliki arah yang jelas.
Namun, pendidikan bukan sekadar soal kurikulum dan blueprint, tetapi juga soal strategi konkret dalam membentuk pola pikir generasi muda. Salah satu strategi itu adalah dengan menanamkan budaya menulis sebagai bagian dari sistem pembelajaran nasional.
Menghidupkan Kembali Tradisi Menulis
Pada era Orde Baru, mata pelajaran Bahasa Indonesia memiliki banyak varian yang memicu kreativitas siswa. Kegiatan seperti menulis indah, lomba mengarang, hingga karya tulis ilmiah remaja di tingkat SMA adalah contoh bagaimana pendidikan saat itu masih memperhatikan pentingnya literasi. Kini, semua itu hampir tidak lagi ditemukan dalam sistem pendidikan modern kita.
Yang lebih ironis, praktik pendidikan yang dihilangkan di Indonesia justru diterapkan di universitas terbaik dunia. Di Harvard University, misalnya, hanya ada satu mata kuliah wajib yang harus diikuti oleh seluruh mahasiswa—dan itu bukan matematika, melainkan kelas menulis.
Mengapa menulis begitu penting? Menurut Prof. Stella Christie, Wakil Menteri Pendidikan, “Menulis itu berpikir.” Sebuah tulisan yang buruk mencerminkan pola pikir yang tidak terstruktur, tidak sistematis, dan berantakan. Jika seseorang bisa menulis dengan baik, maka itu menunjukkan bahwa ia mampu berpikir dengan jernih, mengorganisasi gagasan, serta mengkomunikasikannya dengan efektif.
Menulis bukan sekadar menuangkan kata-kata, tetapi juga melatih otak untuk berpikir runtut dan sistematis. Orang yang terbiasa menulis dengan baik cenderung lebih mampu menyampaikan gagasan secara lisan dengan percaya diri. Maka, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa menulis adalah dasar dari kecerdasan intelektual dan komunikatif seseorang.
Menulis Sebagai Kunci Pendidikan Masa Depan
Oleh karena itu, jika Indonesia ingin menciptakan generasi emas di tahun 2045, menulis harus menjadi mata ajar wajib dalam kurikulum nasional. Perancang kebijakan pendidikan harus memahami bahwa literasi bukan hanya tentang membaca, tetapi juga tentang menulis.
Sebagai analogi sederhana, pembaca buku belum tentu bisa menulis, tetapi seorang penulis pasti membaca buku. Dengan kata lain, mengajarkan anak-anak menulis sejak dini berarti mendorong mereka untuk berpikir, menganalisis, dan mengolah informasi—keterampilan yang sangat dibutuhkan dalam dunia modern.
Jadi, kepada para guru dan orang tua, berhentilah hanya menyuruh anak-anak membaca untuk menjadi pintar. Sebaliknya, doronglah mereka untuk mulai menulis. Biarkan mereka mengungkapkan ide, menuangkan gagasan, dan mengasah kreativitas mereka melalui tulisan. Karena, seperti kata Prof. Stella Christie, “Menulis itu berpikir, dan berpikir itu menciptakan.”
*Akademisi, penulis buku-buku motivasi, Founder Bengkel Narasi dan Pena Anak Indonesia.