Oleh: Ruslan Ismail Mage*

Dunia sudah tua, Ibu Pertiwi menangis, anak-anak negeri pun kabur. Tiga kalimat ini mengawali penjelajahan batin tentang kondisi negeri ini.

Sering kita mendengar kisah memilukan seorang gadis yang diperkosa oleh orang terdekatnya—bapaknya, pamannya, atau kakaknya—orang-orang yang seharusnya menjadi pelindung, justru merenggut kehormatannya. Atas nama iblis, mereka melampiaskan nafsu bejat dan menghancurkan masa depan anak gadis itu. Dunia pun berseru: “Betapa biadabnya!”

Namun, sadarkah kita bahwa tragedi serupa juga dialami oleh Ibu Pertiwi? Negeri yang dianugerahi kekayaan melimpah, sumber daya alam yang tak terhingga, keindahan yang memesona, justru terus-menerus diperkosa oleh mereka yang seharusnya menjadi pelindungnya.

Bagaimana mungkin Ibu Pertiwi tidak menangis ketika tanah surga yang diberikan Tuhan ke bumi Nusantara justru menjadi arena perburuan rente ekonomi yang tak mengenal rasa kemanusiaan?

Bagaimana Ibu Pertiwi tidak merintih ketika 10.000 buruh PT Sri Rejeki Isman Tbk. (Sritex), perusahaan tekstil legendaris, dilempar ke selokan pengangguran, menjadi korban janji palsu tentang kesejahteraan buruh yang tak pernah ditepati?

Bagaimana Ibu Pertiwi tidak meraung ketika ratusan triliun rupiah uang negara—dari kas Pertamina, dari pertambangan timah, dari BUMN lainnya—raib begitu saja, berpindah ke saku para pengkhianat bangsa yang berseragam merah putih, tetapi hanya membungkus nasionalisme semu?

Bagaimana Ibu Pertiwi tidak hancur hatinya melihat anak-anak bangsanya terpaksa meninggalkan negeri ini, mengadu nasib di negeri orang demi mencari sesuap nasi, karena tanah air mereka sendiri tidak lagi bisa memberikan penghidupan yang layak? Apakah mereka kurang nasionalis? Jangan pernah mempertanyakan nasionalisme rakyat kecil! Walaupun rupiah tak berpihak kepada mereka, walaupun kebijakan negara terus menyudutkan mereka, tetap saja mereka yang akan maju pertama kali jika negeri ini terancam perang.

Coba tanyakan pada para nelayan yang lautnya dipagari, tanyakan pada petani yang tanahnya dirampas, tanyakan pada buruh yang kehilangan pekerjaannya, tanyakan pada rakyat kecil yang bertahan dengan sisa-sisa harapan. Siapa yang benar-benar siap membela negara ini? Lalu tanyakan kepada para pemburu rente, kepada pejabat bersafari yang berlilit dasi, kepada mereka yang menikmati mobil dinas berpelat merah. Siapa yang siap ke medan perang demi Indonesia?

Indonesia adalah laksana gadis seksi yang dikelilingi oleh para lelaki berlibido tinggi. Sejak zaman kolonialisme hingga era globalisasi saat ini, negeri ini tak henti-hentinya dirampas, dihisap, dan dieksploitasi oleh para pendatang yang datang dengan topeng investasi.

Atas nama investasi, mereka diberi karpet merah untuk meraup kekayaan negeri ini. Mereka menelanjangi sumber daya alam kita, meninggalkan luka yang dalam bagi rakyat kecil. Rakyat yang seharusnya menjadi pemilik sah tanah air ini justru dikubur impiannya di lubang-lubang tambang, dibakar harapannya oleh harga bahan bakar yang terus melambung tinggi, dan dibujuk dengan janji-janji kesejahteraan yang tak pernah ditepati.

Namun, lebih sadis lagi ketika sang gadis seksi itu tidak hanya diperkosa oleh para pendatang, tetapi juga oleh bapaknya sendiri!

Bapaknya—penguasa negeri ini, para pembuat kebijakan—seharusnya menjadi pelindung, tetapi justru merampas kehormatannya. Mereka menelanjangi konstitusi demi melanggengkan dinasti. Mereka memanipulasi suara rakyat dalam pemilu demi mempertahankan kekuasaan. Mereka menjadikan negeri ini ladang rente, di mana hanya mereka yang berkuasa yang boleh menikmati hasilnya, sementara rakyat hanya mendapat remah-remah penderitaan.

Para paman, kakak, dan kolega yang melihat bapaknya kencing berdiri, berlomba-lomba mengikuti jejaknya. Mereka tidak hanya kencing berdiri, tetapi bahkan kencing berlari! Negeri ini dirampok habis-habisan oleh orang-orang yang seharusnya melindunginya.

Lebih menyedihkan lagi, mereka yang ingin melindungi sang gadis malang ini justru dicurigai. Teman yang peduli dan ingin menyelamatkan negeri ini malah diragukan nasionalismenya. Mereka yang berani bersuara justru dicap sebagai perusuh, sebagai pembangkang, bahkan sebagai ancaman bagi negara.

Benarkah dunia sudah tua, sehingga tak mampu lagi menahan beban kerusakan moral yang semakin menjadi-jadi? Benarkah Ibu Pertiwi sudah habis air matanya setelah berkali-kali dikhianati oleh para pemimpinnya sendiri?

Negeri ini berjalan terseok-seok, memikul ribuan karung hasil jarahan para koruptor. Sementara rakyat kecil hanya mampu meratap, menyaksikan tanah surga yang dititipkan Tuhan ke bumi Nusantara semakin hari semakin terkoyak.

Sungguh malang nasib gadis seksi itu, yang kini terkulai lemah, meratapi nasibnya. Bukan hanya diperkosa oleh orang asing, tetapi juga oleh darah dagingnya sendiri.

*Penulis buku “Politik Kebhinekaan Membangun Bangsa”

(Visited 316 times, 10 visits today)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.