Oleh: Ruslan Ismail Mage*
Rocky Gerung pernah berkata, “Tidak usah hentikan perilaku penguasa, biarkan saja apa yang mereka ingin lakukan.” Mungkin maksudnya, jika tak ada lagi daya untuk melawan, biarkan saja rezim menumpuk dosa-dosanya sendiri. Biarkan mereka terus melakukan kerusakan hingga pilar-pilar negeri ini runtuh. Setelah itu, biarkan semesta yang mengambil alih, menyelamatkan Indonesia dengan caranya sendiri.
Namun, apakah kita hanya akan berpasrah kepada semesta? Apakah kita akan duduk diam dan menonton negeri ini dijarah oleh oligarki, oleh penguasa yang tunduk pada pemilik modal, sementara rakyat kecil hanya bisa meratap? Dua dasawarsa terakhir, kita menyaksikan bagaimana rezim telah sukses menjinakkan perlawanan. Keberanian kaum pergerakan telah dikumpulkan dan dikandangkan. Nyali aktivis direduksi, idealisme mahasiswa dikerdilkan, suara kritis kampus dibungkam, palu pengadilan dipesan sesuai kepentingan, pena jurnalis dipatahkan, dan senjata aparat justru diarahkan kepada rakyat yang menuntut keadilan.
Kini, rakyat tak tahu lagi harus berharap kepada siapa. Mahasiswa lebih memilih jalan sunyi, aktivis terdiam membisu, kampus menjelma menara gading yang tak lagi peduli pada kondisi sosial-politik, dan jurnalis tengkurap di bawah meja penguasa.
Namun, masih ada waktu. Sebelum semuanya terlambat, sebelum negeri ini benar-benar jatuh ke jurang kehancuran, bangkitlah! Bergeraklah! Jangan biarkan para penghancur negeri ini terus merajalela tanpa perlawanan. Kepada para aktivis, teruslah berkonsolidasi dan merapatkan barisan. Kepada mahasiswa, suarakanlah realitas bangsamu. Kepada akademisi, berilah panggung bagi mahasiswa untuk turun ke jalan. Kepada kampus, jangan hanya sibuk mengurus akreditasi dan peringkat, tetapi kembalilah menjadi pusat produksi gagasan revolusioner.
Pengadil negeri, jangan berpaling dari keadilan! Aparat, arahkan senjata kalian kepada pengkhianat bangsa, bukan kepada rakyat kecil yang memperjuangkan haknya! Mahkamah, pukullah palu dengan keberanian, jangan tunduk kepada kekuasaan! Para jurnalis, jadilah pengawal demokrasi yang setia, bukan alat propaganda penguasa!
Dan kepada para seniman, budayawan, dan sastrawan, suarakanlah keresahan negeri ini dengan karya-karya kalian! Kepada para penyair, menulislah tentang kegetiran rakyat. Kepada para pelukis, gambarkanlah wajah penguasa yang serakah. Kepada para penyanyi, lagukanlah kebohongan yang merajalela. Kepada para penari, pentaskanlah tarian perang melawan kemunafikan.
Jangan pernah memilih diam, karena diam berarti ikut merestui kehancuran negeri ini. Diam berarti membiarkan Ibu Pertiwi terus diperkosa oleh tangan-tangan jahat, baik dari luar maupun dari dalam. Jangan memilih diam, karena kalau kita memilih diam, kita akan menjadi seperti bapak tua penjaga masjid dalam novel Robohnya Surau Kami karya A.A. Navis.
Dalam novel tersebut, seorang bapak tua yang sepanjang hidupnya hanya membersihkan masjid, mengumandangkan azan lima waktu, dan rajin shalat berjamaah, terkejut saat di hari pembalasan justru dimasukkan ke dalam neraka. Ia pun protes kepada Tuhan, “Ya Tuhan, aku adalah hamba-Mu yang taat. Aku selalu menjaga rumah-Mu, aku selalu beribadah kepada-Mu. Mengapa aku harus masuk neraka?”
Lalu Tuhan menjawab, “Kamu dimasukkan ke neraka bukan karena lalai beribadah, tetapi karena kau tidak menjaga anugerah yang Aku berikan kepadamu. Kau tidak peduli dengan bangsamu. Kau membiarkan kekayaan alam bangsamu dirampas oleh orang asing. Kau hanya diam membisu, sementara tanah airmu dirampok oleh orang-orang yang tak berhak.”
Membaca kisah itu, aku sadar: aku tidak boleh diam. Aku tidak boleh memilih jalan sunyi, berpura-pura tak tahu, atau bersembunyi dalam kesibukan pribadi. Aku harus terus bersuara, meski hanya melalui tulisan-tulisanku. Bagiku, menulis adalah demonstrasi dalam bentuk lain. Aku tidak peduli apakah tulisanku dibaca atau tidak, yang penting aku terus menulis. Hampir semua karya-karyaku adalah bentuk perlawanan terhadap sistem yang korup, yang menindas, yang merampas hak rakyat.
Sahabat, apa pun profesimu, jangan pernah memilih diam! Jangan menjadi seperti bapak tua penjaga masjid yang akhirnya menyesali kebisuannya. Suarakan kebenaran, perjuangkan keadilan, dan jadilah bagian dari perlawanan untuk menyelamatkan negeri ini. []
*Penulis buku “Politik Kebhinekaan Membangun Bangsa”