Oleh: Musrafil

Nenek moyangku seorang pelaut. Gemar mengarungi luas samudra. Menerjang ombak tiada takut. Menempuh badai sudah biasa. Angin bertiup layar terkembang. Ombak berdebur di tepi pantai. Pemuda berani bangkit sekarang ke laut kita beramai-ramai.

Lirik lagu ciptaan Ibu Sud ini begitu familiar dalam pikiranku waktu masih sekolah dasar dulu di pulau Wakatobi. Sebagai anak pulau, tiada hari tanpa bermain dengan pantai, tiada hari  tanpa melihat nelayan  dengan ikan tangkapannya. Bermain dengan gelombang di pantai adalah keseharian yang membentuk karakter kami anak pulau menjadi tangguh, pemberani, dan selalu siap menghadapi tantangan.

Sebagai anak pulau, sudah ribuan anak Wakatobi pergi mengadu nasib ke pulau, daerah, atau kota lain. Bahkan melewati batas-batas negara lain untuk mencari keberuntungan diri. Saya salah seorang diantara anak Wakatobi yang sudah puluhan tahun hidup di daerah rantau. Dengan bermodalkan ijazah SMA saya berani merantau menuju pulau Batam untuk mengadu nasib. 

Dari pulau Batam saya bisa menjelajahi tiga negara yaitu Singapura, Malaysia, dan Thailand, dengan harapan bisa menjadi orang yang sukses. Namun, Tuhan menghendaki lain. Dalam pengembaraan di tiga negara itu, saya tidak mendapatkan titik-titik terang kesuksesan dari segi finansial, tetapi Alhamdulillah mendapatkan seorang perempuan Minangkabau yang kini sudah memberiku anak. Keinginanku mencari peruntungan diri di negeri orang seketika hancur ketika tahun 2004 pihak imigrasi Singapura menuduhku tanpa bukti sebagai teroris. Berakhirlah mimpi-mimpi indahku di pulau Batam.

Untuk menenangkan diri atas tuduhan itu, kami sekeluarga pulang ke Bumi Minangkabau untuk bertani. Sambil menjalani rutinitas sebagai petani, sesekali saya jalan ke Kota Padang mencari orang Sulawesi sebagai teman diskusi di rantau. Alhamdulillah, atas petunjuk Allah Swt, saya bisa bertemu dengan Prof. Dr. H. Andi Mustari Pide, SH yang ternyata seorang Rektor Universitas Ekasakti Padang yang sangat mulia hatinya. Setelah bincang-bincang dengan beliau, saya langsung diminta bekerja di kampus tersebut sambil bisa kuliah gratis.

Masuk kuliah sambil kerja di bagian perlengkapan, ternyata membawa keberuntungan dalam hidupku. Saya beruntung selalu kenal dengan orang baik yang membantu dan terus membimbing bagaimana bisa lancar kuliah sambil kerja. Keberuntungan saya yang kedua adalah bertemu dan dibimbing seorang dosen muda visioner, intelektual muda yang akrab dan familiar di kalangan mahasiswa bernama bapak Ruslan Ismail Mage.

Cara mengajarnya lain daripada yang lain. Katanya ia mengadopsi cara mengajar filosof besar Socrates yang berhasil melahirkan dua murid besar dalam sejarah ilmu pengetahuan sepanjang abad bernama Plato dan Aristoteles. Metode mengajarnya adalah “Metode dialog” yang akan memicu keberanian seluruh panca indra untuk menyatakan diri. Metode dialog sangat ditekankan Bapak Ruslan dalam kelas, karena menurutnya 80% jabatan manajer dalam perusahaan diduduki oleh karyawan yang menguasai “Public speaking”.

Jadi semua mahasiswa wajib tampil di depan kelas menjelaskan apa yang ada dalam pikirannya. Salah seorang mahasiswa perempuan bercerita pengalamannya diajar Bapak Ruslan Ismail Mage. Menurutnya, “Baru kali ini saya dipaksa untuk bercerita apa saja di depan kelas hingga hendak buang air kecil ditahan”. Namun, apa yang terjadi setelah itu jurusan kami ilmu komunikasi bangkit, punya keberanian, dan percaya diri berbicara di depan publik.

Pada saat itulah kami paham akan arah metode mengajar yang diterapkan Bapak Ruslan. Kami merasa sangat bangga bisa bertemu dengan dosen sekaligus inspirator seperti Bapak Ruslan Ismail Mage. Sampai teman mengatakan, kalau kita diterima di kampus lain pasti tidak akan pernah bertemu dosen, penulis buku, inspirator dan penggerak. Biar pun di dalam kelas kelihatannya menakutkan, tetapi cara Bapak Ruslan memoles otak dan mental kita benar-benar luar biasa membuahkan hasil. Hampir semua satu kelas kami kini sudah menjadi sukses di bidang pekerjaannya masing-masing.

Rahasia kesuksesan teman-teman sekelas dulu adalah karena selalu memaknai dan menerapkan salah satu kalimat inspiratif Bapak Ruslan Ismail Mage yang mengatakan, “Lakukan baru katakan, karena lebih baik menjadi anak pantai yang berani menantang gelombang, daripada berselancar di atas bibir penuh busa”. Kalimat inspiratif ini telah mendarah daging dalam diriku. Terima kasih Bapak Ruslan Ismail Mage atas segala bimbingannya selama ini. In syaa Allah, si tertuduh teroris tanpa bukti dulu itu kini menjadi teroris literasi yang haus ilmu pengetahuan.

(Visited 144 times, 1 visits today)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.