Dalam Negeri kita, jangan kita yang menumpang (Agus Salim)
Prolog
Historia Magistra Vitae, Nuntia Vetustatis: Sejarah adalah Guru Kehidupan dan Pesan dari Masa Silam. Marcus Tullius Cicero, orator ulung, anggota senat, ahli hukum dan filsuf yang hidup di masa Republik Roma (106-43 SM), dalam bukunya bertajuk de Orator, menegaskan petuah bijak, “Historia vero testis temporum, lux veritatis, vita memoriae, magistra vitae, nuntia vetustatis.” Ia memaknai realita “Sejarah adalah saksi zaman, sinar kebenaran, kenangan hidup, guru kehidupan dan pesan dari masa silam.Sejatinya pemikiran Marcus Tullius Cicero melampaui zamannya. Dia menegaskan tentang hikmah peradaban, tidak ada ke-kini-an tanpa ke-lampau-an, kedua era itu sungguh tak terpisahkan sebagai proses sejarah kehidupan. Maka pernyataan legendaris Marcus sering dikutip sebagai keniscayaan mengenai fakta bahwa “Sejarah adalah guru kehidupan dan pesan dari masa silam” (Historia Magistra Vitae, Nuntia Vetustatis).Peristiwa sekecil apa pun yang berlalu, adalah guru kehidupan pun jua memberikan pesan dari masa silam dalam konteks kekinian ruang dan waktu.Keniscayaan mengenai sejarah sebagai guru kehidupan dan pesan dari masa silam, kini banyak mahasiswa sejarah yang tidak paham sejarah tokoh nasional. Melalui berbagai sumber dan referensi saya mencoba mereduksi dan mengedit secara sederhana tentang sosok sang kancil H. Agus Salim.semoga dapat bermanfaat.
Tentang H.Agus Salim
Haji Agus Salim (lahir dengan nama Mashudul Haq (berarti “pembela kebenaran”); lahir di Koto Gadang, Agam, Sumatera Barat,Hindia Belanda, 8 Oktober 1884 – meninggal di Jakarta, Indonesia, 4 November 1954 pada umur 70 tahun) adalah seorang pejuang kemerdekaan Indonesia. Haji Agus Salim ditetapkan sebagai salah satu Pahlawan Nasional Indonesia pada tanggal 27 Desember 1961 melalui Keppres nomor 657 tahun 1961.Agus Salim lahir dari pasangan Soetan Salim gelar Soetan Mohamad Salim dan Siti Zainab. Jabatan terakhir ayahnya adalah Jaksa Kepala di Pengadilan Tinggi Riau.
Pendidikan dasar ditempuh di Europeesche Lagere School (ELS), sekolah khusus anak-anak Eropa, kemudian dilanjutkan ke Hoogere Burgerschool (HBS) di Batavia. Ketika lulus, ia berhasil menjadi lulusan terbaik di HBS se-Hindia Belanda.
Setelah lulus, Salim bekerja sebagai penerjemah dan pembantu notaris pada sebuah kongsi pertambangan di Indragiri. Pada tahun1906, Salim berangkat ke Jeddah, Arab Saudi untuk bekerja di Konsulat Belanda di sana. Pada periode inilah Salim berguru padaSyeh Ahmad Khatib, yang masih merupakan pamannya.
Salim kemudian terjun ke dunia jurnalistik sejak tahun 1915 di Harian Neratja sebagai Redaktur II. Setelah itu diangkat menjadi Ketua Redaksi. Menikah dengan Zaenatun Nahar dan dikaruniai 8 orang anak. Kegiatannya dalam bidang jurnalistik terus berlangsung hingga akhirnya menjadi Pemimpin Harian Hindia Baroe di Jakarta. Kemudian mendirikan Suratkabar Fadjar Asia. Dan selanjutnya sebagai Redaktur Harian Moestika di Yogyakarta dan membuka kantor Advies en Informatie Bureau Penerangan Oemoem (AIPO). Bersamaan dengan itu Agus Salim terjun dalam dunia politik sebagai pemimpin Sarekat Islam.
Pada tahun 1915, Salim bergabung dengan Sarekat Islam (SI), dan menjadi pemimpin kedua di SI setelah H.O.S. Tjokroaminoto.
Peran Agus Salim pada masa perjuangan kemerdekaan RI antara lain:
anggota Volksraad (1921-1924)
anggota panitia 9 BPUPKI yang mempersiapkan UUD 1945
Menteri Muda Luar Negeri Kabinet Sjahrir II 1946 dan Kabinet III 1947
pembukaan hubungan diplomatik Indonesia dengan negara-negara Arab, terutama Mesir pada tahun 1947
Menteri Luar Negeri Kabinet Amir Sjarifuddin 1947
Menteri Luar Negeri Kabinet Hatta 1948-1949
Presiden Sukarno dan Agus Salim dalam tahanan Belanda, 1949.
Di antara tahun 1946-1950 ia laksana bintang cemerlang dalam pergolakan politik Indonesia, sehingga kerap kali digelari “Orang Tua Besar” (The Grand Old Man). Ia pun pernah menjabat Menteri Luar Negeri RI pada kabinet Presidentil dan pada tahun 1950 sampai akhir hayatnya dipercaya sebagai Penasehat Menteri Luar Negeri.
Pada tahun 1952, ia menjabat Ketua di Dewan Kehormatan PWI. Biarpun penanya tajam dan kritikannya pedas namun Haji Agus Salim dikenal masih menghormati batas-batas dan menjunjung tinggi Kode Etik Jurnalistik.
Setelah mengundurkan diri dari dunia politik, pada tahun 1953 ia mengarang buku dengan judul Bagaimana Takdir, Tawakal dan Tauchid harus dipahamkan? yang lalu diperbaiki menjadi Keterangan Filsafat Tentang Tauchid, Takdir dan Tawakal.
Ia meninggal dunia pada 4 November 1954 di RSU Jakarta dan dimakamkan di TMP Kalibata, Jakarta. Namanya kini diabadikan untuk stadion sepak bola di Padang.
Sebagai seorang diplomat dengan kemampuan berbahasa asing yang bagus, Haji Agus Salim tak pernah canggung dalam pergaulan internasional. Dia selalu percaya diri pada event-event internasional penting yang dihadiri.
Salah satu acara penting yang dihadiri Haji Agus Salim adalah saat mewakili Presiden Soekarno dalam acara penobatan Ratu Elizabeth II sebagai Ratu Inggris di Istana Buckingham, pada tahun 1953.
Acara tersebut berlangsung seminggu lamanya dengan diisi berbagai kegiatan. Kegiatan selama Haji Agus Salim di Inggris diceritakan oleh R. Brash, duta besar Inggris untuk Indonesia pada 1982-1984, yang pernah mendampingi Haji Agus Salim pada 1953.
Cerdik Dan Humoris
Menurut R. Brash, saat penobatan ratu itu, setiap hari dipenuhi dengan aneka acara. Sri Ratu sendiri mengadakan santapan resmi serta resepsi, dan selain itu diadakan beraneka resepsi lainnya, antara lain oleh Perdana Menteri Sir Winston Churcill. Memang seminggu itu penuh dengan beraneka acara dan pengaturan serta ketetapan waktu adalah sangat penting. Menurut Brash, Haji Agus Salim sungguh-sungguh menikmati segala itu.
R Brash selalu bertugas mengiringi Haji Agus Salim pada upacara di Westminster Abbey. Mereka harus siap dini hari untuk menyertai iringan mobil para perutusan negara. kebiasaan merokok Haji Agus Salim juga disiasati oleh R Brash. “Karena beliau merokok kretek secara bersambung-sambung, saya minta ia berjanji bahwa beliau boleh merokok sepuas hati selama di mobil, namun harus berhenti merokok sebelum memasuki gedung Westminster Abbey itu. Tidak pernah kami mengalami kesulitan untuk tiba pada tempat yang tepat dan pada waktu yang tepat. Beliau nampaknya tidak pernah lelah, sekalipun sudah agak lanjut usia,” ujar R Brash.
Bila diwajibkan mengenakan pakaian nasional, Haji Agus Salim mengenakan busana gaya Minang. Seingat dia, Haji Agus Salim terutama menyenangi setiap resepsi di mana beliau sempat berjumpa dengan utusan-utusan dari daerah yang kelak dijadikan negara Malaysia, dan bercakap-cakap dengan mereka soal keadaan di Asia Tenggara.
Soal kebiasaan merokok ini, ada cerita yang unik. Soal ini diceritakan oleh Jojet, anak ketiga Haji Agus Salim dalam buku Seratus Tahun Haji Agus Salim.
“Walaupun sudah beberapa kali diceritakan dalam buku, majalah dan koran-koran, namun karena rasanya penyajiannya kurang tepat menggambarkan konteks ceritanya, ingin juga saya kisahkan sekali lagi hikayat rokok kretek Paatje di Buckingham Palace pada resepsi yang diadakan sehubungan dengan penobatan Ratu Elizabeth II dalam tahun 1953 itu,” tulis Jojet.
Menurut Jojet, ketika Haji Agus Salim melihat Pangeran Philip yang masih muda belia (32 tahun) waktu itu agak canggung menghadapi khalayak ramai yang hadir, masih tak terbiasa menempatkan diri sekadar sebagai “pasangan” Ratu yang berperan. Demikian canggung sehingga lalai meladeni tamu-tamu asing yang datang dari jauh menghormati peristiwa penobatan.
Guna sekadar melepas ketegangan sang Pangeran, Haji Agus Salim menghampirinya seraya mengayun-ayunkan rokok kreteknya sekitar hidung sang pangeran itu sambil menanya, “Paduka (Your Highness), adakah Paduka mengenali aroma (bau) rokok ini?” Dengan menghirup-hirup secara ragu-ragu sang Pangeran mengakui tidak mengenal aroma rokok tersebut. Paatje pun dengan senyum mengatakan: “Inilah sebabnya 300 atau 400 tahun yang lalu bangsa Paduka mengarungi lautan mendatangi negeri saya”.Sang Pangeran pun tersenyum dan dengan lebih luwes bergerak dan “meladeni” tamu-tamunya dari jauh. Kisah lain pernah diungkap oleh Jef Last, penulis Belanda yang berkenalan dengan Haji Agus Salim ketika Agus Salim menemui tokoh SDAP PJ Troelstra di Belanda pada 1930. Cerita Jef Last ini dimuat dalam buku Seratus Tahun Haji Agus Salim terbitan Sinar Harapan.
Jef Last mengutip cerita Sutan Sjahrir kepadanya. “Kami sekelompok besar pemuda, bersama-sama mendatangi rapat di mana Pak Salim akan berpidato dengan maksud mengacaukan pertemuan itu. Pada waktu itu Pak Salim telah berjanggut kambing yang terkenal itu dan setiap kalimat yang diucapkan Pak Haji disahut oleh kami dengan mengembik yang dilakukan bersama-sama. Setelah ketiga kalinya kami menyahut dengan “me, me, me” (mbek), maka Pak Salim mengangkat tangannya seraya berkata.
“Tunggu sebentar. Bagi saya sungguh suatu hal yang sangat menyenangkan bahwa kambing-kambing pun telah mendatangi ruangan ini untuk mendengarkan pidato saya. Hanya sayang sekali bahwa mereka kurang mengerti bahasa manusia sehingga mereka menyela dengan cara yang kurang pantas. Jadi saya sarankan agar untuk sementara tinggalkan ruangan ini untuk sekadar makan rumput di lapangan. Sesudah pidato saya ini yang ditujukan kepada manusia selesai, mereka akan dipersilakan masuk kembali dan saya akan berpidato dalam bahasa kambing khusus untuk mereka. Karena di dalam agama Islam, bagi kambing pun ada amanatnya dan saya menguasai banyak bahasa.”
“Kami tidak tinggalkan ruangan,” kata Sjahrir. “Tetapi kami terima dengan muka merah gelak tawa dari hadirin lainnya,” imbuhnya. Masih menurut Sjahrir, sesudah peristiwa itu para pemuda masih melawannya. “Tetapi tidak pernah lagi kami mencemoohkannya,” ujar Sjahrir dikutip Jef Last.
Dunia mengakuinya sebagai negarawan besar Indonesia. Bung Karno dan Bung Hatta menjulukinya sebagai The Grand Old Man, Orang Besar yang Sudah Tua.
“Haji Agus Salim adalah seorang ulama dan intelek. Saya pernah meneguk air yang diberikan oleh Haji Agus Salim sambil duduk ngelesot di bawah kakinya. Saya merasa berbahagia bahwa saya ini dulu dapat minum air pemberian Tjokroaminoto, dan minum air pemberian Agus Salim,” demikian Bung Karno.
Solichin Salam, wartawan penulis biografi Agus Salim mengutip kesaksian dari Bung Hatta tentang Agus Salim. “Kepandaiannya luar biasa. Dalam seratus tahun hanya lahir satu manusia semacam itu,” demikian Bung Hatta.
“Kalau kita hendak menggunakan kualifikasi intelektual brilian pada salah satu putra Indonesia, maka saya rasa yang paling pertama tepat ialah pada Haji Agus Salim,” demikian kata negarawan M Natsir.
Haji Agus Salim adalah wartawan, sastrawan, ulama, ahli bahasa, diplomat, dan politikus dengan jejak-jejak keteladanan yang tak akan lekang oleh zaman. Haji Agus Salim meninggalkan warisan-warisan pemikiran yang akan terus dikenang generasi demi generasi bangsa ini.
Haji Agus Salim lahir di Kota Gadang, Bukittinggi pada 1884. Dia putra seorang jaksa kepala di Tanjung Pinang, Riau. Pendidikan Agus Salim dimulai dari Europeesche Lagere School (ELS) atau sekolah khusus anak-anak Eropa. Dia lantas melanjutkan ke Hoogere Burgerschool (HBS) di Batavia. Agus Salim adalah lulusan terbaik dari tiga HBS di Hindia Belanda saat itu.
Setelah lulus, Salim bekerja sebagai penerjemah dan pembantu notaris pada sebuah kongsi pertambangan di Indragiri. Di usia yang sangat muda ini, Agus Salim sudah berhasil menguasai sedikitnya tujuh bahasa asing yakni Arab, Belanda, Inggris, Turki, Prancis, Jepang, dan Jerman.
Kecerdasan dan kepiawaian Agus Salim dalam diplomasi ternyata menarik minat negara dan penjajah saat itu yakni Belanda. Belanda menawarkan kepadanya untuk menjadi penerjemah pada Konsulat Belanda di Jeddah pada tahun 1906 sampai 1911.
Pada saat di Mekkah itulah Salim mendalami ilmu agama dengan pamannya Syeikh Khatib al-Minangkabawi yang saat itu menjadi Imam di Masjidil Haram. Pada 1915, Salim meniti karier dengan malang melintang di dunia jurnalistik. Kepribadian Agus Salim yang tegas membuat setiap tulisannya di Neratja maupun Bataviasch Nieuwsblad selalu tajam dan mengandung kritikan pedas dalam membakar semangat kemerdekaan rakyat Indonesia.
Dunia jurnalistik ternyata bukan pelabuhan akhir karier Agus Salim di mana dia juga memutuskan untuk terjun ke dunia politik sebagai pemimpin Sarekat Islam. Pada 1946 sampai 1950 dia menjadi bintang dalam percaturan politik Indonesia.
Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, Agus Salim diangkat menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung. Selain itu Salim juga dipercaya sebagai Menteri Muda Luar Negeri dalam Kabinet Syahrir I dan II serta menjadi Menteri Luar Negeri dalam Kabinet Hatta.
Menurut catatan harian Prof Schermerhorn, pemimpin delegasi Belanda dalam perundingan Linggajati, Agus Salim adalah orang yang sangat pandai. Seorang jenius yang mampu bicara dan menulis dengan sempurna sedikitnya dalam sembilan bahasa. Hanya satu kelemahan dari Haji Agus Salim, yaitu hidup melarat.
Kehidupan Haji Agus Salim tidak hanya sederhana, bahkan mendekati miskin. Keluarga Haji Agus Salim pernah tinggal di Gang Lontar Satu di Jakarta. Kalau menuju ke Gang Lontar Satu, harus masuk dulu ke Gang Kernolong, kemudian masuk lagi ke gang kecil. Bisa dibayangkan, mana ada pejabat sekarang yang tinggal di “cucu” gang. masyarakat akan selalu mengenang prinsip yang selalu dijalani Haji Agus Salim, leiden is lijden (memimpin adalah menderita). Prinsip yang sulit dicari wujudnya zaman sekarang.
Referensi :
http://www.pkesinteraktif.com/edukasi/sosok/854-biografi-dan-pemikiran-agus-salim-1884-1954.html
http://id.wikipedia.org/wiki/Agus_Salim
Agus Salim berjuang dan membangun Indonesia dengan caranya sendiri. Pun melalui jalur agama, banyak hal yang akhirnya menjadi manfaat dalam mencapai kemerdekaan RI. Meskipun seorang Muslim sejati, ia sadar betul bahwa bernegara di Indonesia itu penuh dengan aneka kepercayaan.”
Yesy Wahyuningtyas (Creative Producer)
Materi ini bagian sesi mengenal pahlawan bagi mahasiswa baru Prodi Sejarah FKIP UPRI Makassar.
Diberdayakan oleh
Makassar, 12 September 2024
Dr.Sudirman,S.Pd.,M.Si.