Pada suatu hari, Syarif Ahmad Barmawi diundang menyanyi di Kafe Joglo. Laki-laki berumur 78 tahun ini bersemangat sekali untuk datang karena tahu musik yang akan mengiringinya dibawakan oleh Dody. Cukup lama Syarif kenal dengan Dody.

Di situ, Syarif baru tahu bahwa yang mengelola kafe adalah Ati Sriati. “Saya kaget. Oh, ini yang namanya Ati Soedaryanto? Yang juara nasional seriosa itu?” jelas Syarif menyebut nama almarhum suaminya Ati Sriati.

Sebelum bernyayi, Syarif minta agar Ati mengoreksinya nanti. Ternyata, selama ini Syarif hanya merasa bisa bernyanyi. Banyak sekali kesalahan dan akhirnya mendapat banyak masukan dari Ati.

Pada kesempatan lain, ketika Syarif sedang menikmati live performance di kafe yang sama, di meja sebelah ada sekelompok ibu-ibu, termasuk Ati.

“Ribut amat, sih? Lagi rapat membahas negara atau apa? Saya sedang menikmati lagu nih…” celetuk anggota senior Kompi A Yon II Unpad/Diklatsarmil 1964 ini.

Ternyata, Ibu Ati dan teman-temannya sedang membicarakan rencana konser. Syarif lupa siapa yang waktu itu bertanya kepadanya.

“Kang, kalau konser itu kan harus ada namanya. Namanya apa?”

“Eh, bukan duniaku. Mana saya tahu?”

Namun kemudian saya menangkap bahwa pertanyaannya serius.

“Betul bertanya pada saya?”

“Betul.”

“Sebentar.”

Syarif terdiam. Jika ada sesuatu, Syarif biasa bertanya ke dalam dirinya. “Ya Allah, apa ini namanya?”

Kemudian, muncullah kata-kata yang disepakati sebagai judul konser: Nada-Nada Nan Tak Bertepi. Mengapa Syarif berpikir itu? Karena penerjun freefall sipil pertama di Indonesia ini tahu betul bahwa Ati sudah puluhan tahun bernyanyi dan tidak pernah berhenti. Artinya, nada-nadanya tidak pernah bertepi. Maka, untuk pertama kalinya dalam hidup Syarif menonton konsernya Ati Sriati.

Syarif terkagum-kagum. Ternyata konser tersebut tanpa mikrofon. Dengan suaranya tinggi dan menggema, Ati menguasai Auditorium Institut Francais Indonesia (IFI), Bandung, Minggu (3/11/2019).

Baca juga: Ati Sriati, Setengah Abad Soprano Nan Memesona

Saat ini, di akhir tahun kedua pandemi COVID-19, Ati berencana untuk menggelar kembali konser amal “Denting Bening Suara Jiwa” didukung oleh Osi Prisepti dan rekan-rekannya di “Main Teater” sebagai event organizer. Judul konser ini pun ide dari Syarif.

Di sini, muncul ide Ati untuk memberi warna lain dalam konser tersebut. Jika biasanya Ati tampil didampingi para penyanyi tenor. Kali ini, Ati ingin konsernya didampingi oleh bapak-bapak yang basic-nya bukan penyanyi profesional. Maka, Ati meminta Syarif untuk mencari teman.

Dari teman sekomplek, teman penerjun freefall, teman dosen, dan beberapa teman Syarif di Jakarta, terkumpullah sekelompok bapak-bapak yang akan menjadi penyanyi latar. Mereka inilah yang kemudian menjadi bagian dari para lansia di Komunitas Denting Ligar. Mereka rutin berkumpul dan bernyanyi sebagai hobi.

“Hanya saja, saya selalu bilang ke grup bapak-bapak ini, jangan sampai kita diminta memberi warna lain dalam konser tetapi malah mendegradasi kualitas penampilan bintang utamanya itu sendiri.”

Dari situ, atlet merpati putih dan teman-temannya ini semakin giat berlatih. Tidak ada hari tanpa bernyanyi. Setiap pagi harus humming. Saat bertemu, mereka berlatih dengan serius.

Syarif mendapati bernyanyi sebagai sebuah terapi. Pada suatu kesempatan, pemilik sejumlah brevet untuk terjun payung dan menembak ini membawakan lagu “Damai Bersamamu” yang dipopulerkan oleh Chrisye. Seperti biasa, setiap latihan pasti direkam.

Pada lirik “Hanya pada-Mu Tuhan tempatku berteduh dari semua kepalsuan dunia”, Chrisye terdengar datar saja dalam versi rekamannya. Sementara itu, ketika tiba pada kata “Tuhan“, Syarif merasakan emosional yang luar biasa. Bagaimana dirinya seakan-akan sepenuhnya berada di dalam jiwa lagu tersebut. “Untung saja lagu itu bisa selesai,” curhatnya.

Praktisi hipnoterapi dan grafologi ini menyebutnya sebagai terapi bening batin. Menyanyi itu melatih diri untuk memelihara dan meningkatkan kehalusan rasa yang banyak hilang saat ini.

“Orang berteriak dengan mata nyalang dalam takbir-takbir yang seharusnya syahdu.”

Puitis sekali. Ternyata, mantan pemain baseball nasional ini pun punya hobi menulis. Ide menulis biasanya didapat di pagi hari. Banyak teman bilang agar tulisan saya dijadikan buku.

“Tidak, saya hanya menulis saja. Sewaktu-waktu dibaca lagi untuk mengingat nuansanya. Seperti di pagi hari saya beranjak dari kamar menuju ruang baca, melihat embun menggantung di ujung daun di halaman pun menjadi tulisan.”

Baca juga: Bening

Sepanjang obrolan, kedua mata mantan bintang iklan dan sempat bermain sinetron ini terlihat berkaca-kaca. “Saya orang yang mudah terharu, mudah menangis. Saya menangis untuk kesusahan orang lain, untuk cinta, untuk persahabatan. Tetapi, saya tidak menangis untuk kesusahan diri sendiri,” tegas mantan Pembantu Rektor III Universitas Padjadjaran Bandung ini. []

(Visited 450 times, 1 visits today)
Avatar photo

By Abah Iyan

Sosiopreneur, Writerpreneur & Book Publisher

One thought on “Terapi Bening Batin Syarif Barmawi”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.