Oleh: Sumardi, S.E., Ak., M.Si., CA.*
Bagi anak sekolah, hampir pasti mengenal bilangan imajiner. Bilangan tersebut merupakan bagian bilangan kompleks yang diperoleh dari penyelesaian persamaan kuadratik. Sedangkan istilah imajiner menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah sesuatu yang hanya terdapat dalam angan-angan (bukan yang sebenarnya). Definisi tersebut tidak sepenuhnya tepat jika dikaitkan dengan fenomena munculnya Pasar Imajiner Jabatan yang akhir-akhir ini menyeruak masif di lingkungan birokrasi.
Pasar Imajiner Jabatan komponennya lengkap sebagaimana pasar tradisional yang kita kenal selama ini. Ada musimnya, ada juga penjual dan pembeli. Barang yang diperdagangkan juga ada, yaitu jabatan yang direpresentasikan melalui kursi, meja, fungsi, tugas, wewenang, serta atribut yang melekat pada jabatan tersebut. Berlaku juga hukum pasar penawaraan dan permintaan atau supply and demand.
Ada dua hal spesifik yang membedakan antara pasar imajiner dengan pasar tradisional, yaitu tidak ada standar harga yang pasti dan tidak adanya tempat khusus untuk melakukan transaksi sehingga tidak diketahui oleh khalayak umum. Bahkan transaksi tersebut sengaja dilakukan secara tersembunyi. Suatu saat mengambil tempat di warung kopi, pada saat lain di kamar hotel, atau bahkan di rumah kediaman serta berbagai cara lainnya. Pasar Imajiner ini layaknya (mohon maaf) seperti orang kentut, ada baunya tetapi tidak dapat diraba atau dilihat wujudnya.
Keberadaan Pasar Imajiner Jabatan ini sulit dibuktikan, namun beberapa pembuktian telah dilakukan oleh lembaga anti rasuah di negeri ini. Publik tentu masih ingat beberapa Kepala Daerah ditangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena diduga menerima gratifikasi dalam hubungannya dengan mutasi dan promosi di lingkungan instansi pemerintah. Patut diyakini bahwa keberlangsungan pasar ini memang benar adanya. Fenomena munculnya Pasar Imajiner Jabatan tentunya berbahaya bagi upaya memajukan bangsa Indonesia dari ketertinggalan dengan bangsa-bangsa lain di belahan bumi lainnya.
Tentu kita semua dapat membayangkan apa jadinya ketika sebuah instansi pemerintah diisi oleh orang-orang yang tidak kompeten dan berupaya menjadi pimpinan dengan cara mendongkrak dirinya dengan pemberian sejumlah uang kepada Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK).
Upaya pemerintah bersama-sama dengan legislatif menerbitkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) merupakan sebuah langkah cerdas dalam rangka mewujudkan Sistem Merit di lingkungan birokrasi. Seleksi terbuka merupakan salah satu upaya cepat untuk memilih para pejabat pimpinan tinggi kompeten yang akan menduduki posisi-posisi kunci di instansi pemerintah. Meskipun demikian, pada praktiknya di lapangan masih banyak ditemukan kelemahan.
Fenomena sudah ada calon jadi dalam seleksi terbuka, Pansel yang tidak independen, tidak obyektif dan cenderung mengakomodasi permintaan PPK, dan ketidakmampuan Pansel dalam mengeksplorasi kompetensi peserta seleksi merupakan beberapa masalah dari banyaknya masalah yang masih menggelayuti upaya untuk memilih pimpinan unggul di lingkungan birokrasi.
Jika diamati secara lebih mendalam, PPK yang berurusan dengan lembaga anti rasuah dalam kaitannya transaksi jabatan adalah para oknum pejabat politik yang sekaligus pemegang kewenangan untuk mengangkat, memindahkan, dan memberhentikan ASN. Kemudian menjadi masuk akal jika ditarik simpulan sementara bahwa carut-marutnya birokrasi dengan fenomena terjadinya Pasar Imajiner Jabatan disebabkan oleh peran Pejabat Politik di Pemerintah yang sekaligus merangkap sebagai Pejabat Pembina Kepegawaian.
Kita semua juga mafhum bahwa untuk maju sebagai Calon Kepala Daerah tentu diperlukan biaya yang banyak. Pasar Imajiner Jabatan ini konon diduga keras sebagai salah satu sumber pendapatan yang cukup menjanjikan mengingat banyaknya jabatan baik di jajaran Pimpinan Tinggi, Jabatan Administrasi, Jabatan Non Eselon seperti Kepala SMA, SMK, SMP, SD, Kepala Puskesmas, dan Direktur RSUD.
Kondisi saat ini menurut pandangan penulis harus segera diakhiri. Sudah saatnya ASN dipimpin juga oleh ASN yang sekaligus mempunyai wewenang sebagai Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK). Di lingkungan Pemerintah Provinsi, maka serahkan amanah Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) kepada Sekretaris Provinsi. Di lingkungan Pemerintah Kabupaten/Kota, serahkan amanah PPK kepada Sekretaris Kabupaten/Kota. Selanjutnya, para Sekretaris Daerah tersebut diangkat oleh Presiden sebagai Kepala Negara.
Kepala Daerah sebagai pejabat politik semestinya fokus untuk merumuskan kebijakan strategis untuk memajukan daerah dengan menetapkan visi dan misi serta melakukan pengendalian untuk memastikan tercapainya janji politik kepada masyarakat. Adapun para ASN fokus mengeksekusi visi dan misi menjadi aksi di bawah kendali Sekretaris Daerah.
Langkah ini tidak mudah dan membutuhkan jiwa besar kenegarawan serta keikhlasan melepas peran PPK bagi Kepala Daerah. Yakinlah jika revisi khusus ini tidak kunjung dilakukan, maka drama Pasar Imajiner Jabatan akan tetap tumbuh subur yang transaksinya hanya bisa didengar oleh tembok dan dinding yang tetap membisu. []
*Penulis adalah mahasiswa S3 MSDM Universitas Negeri Jakarta (UNJ).