Oleh: Syaifuddin Gani

“Kami tahu sejak awal bahwa Spanyol adalah penguasa penguasaan bola, jadi mereka akan membuat kami bermasalah, tapi kami harus menyesuaikan diri dan berjuang keras.”

Itulah komentar Roberto Mancini, sang arsitek timnas Italia, usai menaklukkan timnas Spanyol lewat adu penalti pada semifinal Piala Eropa 2020.

Roberto memberi sebuah pengetahuan bahwa ia harus membaca keunggulan lawan sekhatam-khatamnya.

Spanyol adalah penguasa penguasaan bola. Di atas lapangan hijau, bola ada dalam kekuasaan mereka sebanyak 71%. Sisanya untuk asuhan Mancini.

Jika Chiesa dan kawan-kawan melawan dengan upaya penguasaan bola juga, bukan tak mungkin mereka remuk. Busquets dan teman-teman memiliki warisan sepak bola yang mendarah daging dalam tubuh mereka: tiki-taka.

Lewat filosofi tiki-taka, mereka melakukan umpan-umpan pendek yang ditopang pergerakan yang dinamis. Bola dapat digulirkan secara leluasa melalui beragam saluran. Xavi pernah berkata, sebelum bola sampai ke kakinya, kepala sudah bekerja terlebih dahulu, ke arah mana si kulit bundar itu dioper berikutnya.

Di titik ini, mereka memang penguasa. Penguasa penguasaan bola.

Italia?

Mereka adalah penguasa pada filosofi sepak bola lainnya: cattenacio. Lewat permainan ini, kekuatan pada pertahanan adalah koentji.

Bertahan bukan sebuah kelemahan. Ia dipilih bukan karena tidak dapat menyerang. Justru itu dilakukan secara terstruktur, terorganisir, dan sistemis agar penguasa penguasaan bola tak dapat menjaringkan si kulit bundar itu ke dalam jala gawang. Serangan balik menjadi bagian integral dari pertahanan, ketika lawan telanjur jauh berada dari titik pertahan sendiri.

Jika Spanyol mempersembahkan diri sebagai penguasa penguasaan bola, Italia hadir dengan kekuasaan pertahanan. Jika cara bertahan baik adalah dengan menyerang, dapat dikatakan bahwa cara menyerang terbaik adalah dengan bertahan. Dengan menyerang, pertahanan akan aman dari gangguan lawan. Sebaliknya, dengan bertahan, serangan balik akan mudah diselenggarakan ke wilayah lawan.

Saya yakin, bukan di pihak Mancini saja yang membaca keunggulan lawan, yang mendorongnya membuat sebuah perhitungan matang. Pihak Enrique pasti tahu keunggulan musuh. Sebuah skenario telah ia tunjukkan. Ia parkir Morata di babak pertama. Nanti menit ke-62 baru masuk menggantikan Ferran.

Apa hasilnya? Kedua tim sama-sama melesakkan sebiji gol, sampai pada babak perpanjangan waktu. Penguasa dan kekuasaan, serangan dan pertahanan keduanya, imbang.

Di titik ini, raja penguasaan bola dan sultan pertahanan bola menunjukkan kapasitas yang patut kita beri penghormatan sebesar-besarnua. Sepak bola menunjukkan kegairahan yang indah sebagai persembahan dari dua tim, dua pelatih hebat.

Kita tahu bahwa setelah lepas dari parade sebagai penguasa dan kekuasaan di babak normal dan perpanjangan waktu, keduanya memasuki babak penentuan lain: adu penalti.

Di momen adu penalti ini, kita akan melihat penguasa dan kekuasaan lain. Mental, jam terbang, konsentrasi, stamina, trauma, nama besar tim, sampai pada kemampuan teknis penjaga gawang menjadi faktor penentu dalam drama adu penalti.

Betapa banyak nama besar sepak bola yang gagal menyarangkan bola ke gawang. Dapat dihitung penjaga gawang ternama yang tertipu sepakan lawan dari titik putih. Apa saja dapat terjadi di sini. Siapa saja boleh dan gagal menaklukkan kiper. Drama menjadi sebuah tontonan epik pada momen menggetarkan ini.

Kembali ke bentrok dua tim terbaik Eropa, Spanyol vs Italia. Kita tahu bahwa penguasa baru dari adu penalti keduanya adalah Italia.

Pelajaran penting dari laga ini adalah kemenangan tidaklah lahir dari sebuah kebetulan. Persiapan lahir dan batin benar-benar harus ditunaikan. Penguasa penguasaan bola dan penguasa pertahanan harus siap merampungkan tugas lain yakni adu penalti. Siapa yang berhasil menunjukkan kekuasaan di momen ini, terlahir sebagai penguasa baru.

Apa kata Enrique usai takluk?

“Kami sudah membuktikan kami adalah satu tim. Kini penting untuk bangkit dan kemudian kami akan bertemu lagi menjelang kualifikasi Piala Dunia.”

Tak ada kata menyerah dalam kepalanya. Ia tahu bahwa kekalahan adalah ruang untuk mengevaluasi diri. Ia akan menunjukkan pada dunia untuk bangkit agar terlahir lagi sebagai penguasa di Piala Dunia.

Bisa jadi, ia akan kembali bertemu Italia di sana. Kalah dan menang hanyalah sebuah konsekuensi belaka untuk suatu perjuangan. Kata Rendra, “Kemarin dan esok adalah hari ini. Bencana dan keberuntungan sama saja.”

Lalu, apa yang dapat dipetik timnas Indonesia dari pertarungan ini?

Kendari, 9 Juli 2021

Syaifuddin Gani (Foto: Andi Karman)
(Visited 57 times, 1 visits today)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

%d blogger menyukai ini: