Di kampung, aku hanya beberapa minggu saja. Setelah acara nikahan saudaraku selesai, aku pun memutuskan untuk berangkat ke Hong Kong lagi. Aku tidak kapok atas apa yang telah terjadi sebelumnya.
Terbiasa kerja dan mendapat penghasilan tiap bulan, rasanya tidak nyaman kalau harus berlama-lama nganggur di rumah. Aku juga tidak tahu apa yang harus aku kerjakan. Di kampung susah sekali untuk mencari pekerjaan.
Uang hasil kerjaku selama beberapa bulan di Hong Kong, semuanya digunakan untuk membantu biaya adik-adikku sekolah dan juga untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Mengenai uang dari tuntutan itu, aku gunakan untuk membeli beberapa ubin tanah, meskipun tidak seberapa luas. Setidaknya uang itu tidak sia-sia, kelak akan bermanfaat juga untukku.
Aku menumpang proses di salah satu agen tenaga kerja di Jakarta. Tidak di agen yang kemarin. Di sini tidak seperti di agenku dulu. Di sini lebih banyak belajar bahasa dan tidak digembleng sedemikian rupa. Berbeda jauh dari agenku dulu.
Dasar bahasa sedikit banyak sudah aku miliki, meskipun tidak semuanya aku kuasai. Setidaknya untuk percakapan sehari-hari aku tidak begitu merasa kesulitan.
Banyak para calon tenaga kerja yang meminta izin pulang, mereka lebih memilih menunggu visa kerjanya turun di kampung. Aku malah meminta kepada pihak kantor untuk dicarikan majikan yang bersedia mempekerjakan aku untuk sementara waktu sampai visa kerjaku turun.
Uangnya nanti bisa aku gunakan untuk membantu memenuhi kebutuhan adik-adikku sekolah. Aku berpikir, aku sudah memutuskan untuk bekerja dan aku tidak mau harus bolak-balik ke kampung. Perjalanan dari kampung ke Jakarta itu tidak gratis, semua membutuhkan biaya. Aku tidak mau merepotkan keluarga di kampung.
Baru sekitar sebulan aku bekerja, aku sudah dipanggil oleh pihak kantor. Ini dikarenakan visa kerjaku sudah turun. Alhamdulillah, majikan di tempatku bekerja sangat baik dan dia malah menyuruhku jangan pergi kerja ke Hong Kong, tetapi bekerjalah di rumah dia saja.
Di kontrak kerjaku ini tertulis, kalau aku bekerja sebagai pengasuh anak perempuan umur empat tahun. Majikan semuanya bekerja. Di tempat kerjaku ini, seharusnya aku bekerja di alamat yang tertera di kontrak kerja. Tetapi ini tidak, kedua majikanku menempatkan aku kerja di rumah nenek, ibu dari majikanku yang perempuan. Mungkin majikanku merasa tidak tenang kalau anaknya hanya berdua saja denganku di rumah.
Alhasil, setiap hari aku bekerja di rumah nenek. Anak semata wayangnya pun setiap hari dititipkan di situ. Hanya beberapa hari sekali aku dan anaknya diajak pulang ke rumah majikan. Jadi,aku bekerja di dua rumah, di rumah nenek dan di rumah majikan.
Aku merasa was-was dan khawatir, jangan-jangan nanti si nenek ini sama seperti si nenek waktu aku PKL dulu. Dari raut mukanya terlihat dingin, tidak ada senyum dan terkesan judes.
Ternyata dugaanku tidak meleset. Dua minggu bekerja di sini, aku merasa sangat tidak nyaman. Nenekku ini ibarat kamera berjalan. Setiap hari kerjaannya mengawasiku, cerewetnya minta ampun.
Anehnya, kalau ada majikanku datang menengok anaknya, nenek terlihat baik kepadaku. Tetapi kalau majikanku tidak ada, dia suka menyalahkan aku.
Kalau aku salah, entah dari kerajaan atau mengurus cucunya, dia selalu lapor ke majikanku. Baik itu lewat telepon maupun ngomong secara langsung ketika majikanku datang menengok anaknya.
Kadang majikanku hanya diam mendengarkan laporan si nenek, kadang pula majikan memarahiku. Aku tidak pernah mengeluarkan suara apa pun kalau majikanku sedang marah. Tidak ada kata lain selain meminta maaf. Aku tidak mau banyak omong. Aku takut kalau si nenek semakin berbuat ulah.
Selain libur, aku tidak boleh keluar rumah. Meskipun keluar rumah, itu pun selalu dalam pengawasan nenek. Gerak-gerikku selalu diawasi nenek. Bahkan, mengajak bermain cucunya ke taman bermain anak yang berada di bawah apartemen rumah pun, si nenek selalu membuntutiku.
Aku tidak boleh bercakap-cakap sesama pembantu. Di taman, banyak para pembantu Indonesia yang sedang menjaga anak majikannya bermain. Mereka sudah tahu dan hafal dengan nenekku ini, karena si nenek juga sering pergi ke taman untuk menemani cucunya bermain dengan pembantu sebelumnya.
Aku, kalau bertemu dengan sesama pembantu di taman hanya bermain kedip-kedipan mata, sebagai tanda bahwa si nenek tidak suka kalau pembantunya ngobrol dengan orang lain.
Aku libur sebulan sekali. Otomatis aku tidak bisa membeli banyak kebutuhan pribadiku seperti sabun, sampo, dan lain sebagainya ketika semuanya habis. Sebenarnya aku bisa saja membelinya ketika aku libur, tetapi yang jadi masalah adalah ketika aku pulang libur, tasku kadang digeledah. Jadi, kalau nenek tahu, omongannya nanti bisa macam-macam.
Katanya aku gemar belanja lah, ini lah, itu lah… aku jadi pusing dibuatnya. Aku lebih suka bilang terus terang kepada si nenek kalau kebutuhanku habis. Itu lebih aman. Nanti aku belinya dikawal oleh sang nenek.
Di rumah ini ada aku, ada nenek, anak majikan yang aku asuh, anak lelakinya dan menantu perempuan. Untuk urusan memasak, neneklah yang memasak. Bagianku adalah cuci-mencuci semua bahan makanan yang akan dimasak.
Kebanyakan orang Hongkong kalau makan itu menggunakan sumpit. Aku yang tidak terbiasa menggunakan sumpit, kadang sering ditertawakan menantu perempuan nenek. Daripada aku kesusahan mengambil makanan, lebih baik aku memakai sendok saja.
Nenek sering memberiku makanan sisa. Nasi dan lauk sisa semalam meskipun itu tersisa sedikit, tetap tidak boleh dibuang. Katanya buat makan pembantunya. Aku yang setiap hari melihat cara mereka makan, aku tidak ada selera untuk memakan makanan sisa semalam.
Sumpit yang digunakan untuk makan, digunakan pula untuk mengambil makanan di piring. Keluar masuk mulut berkali-kali, kadang sumpit yang buat makan digunakan juga untuk mengaduk-aduk makanan. Aku jijik melihatnya, perutku terasa mual.
Nasi semalam yang sudah aku panaskan dan aku taruh di meja makan, aku masukkan ke kantong kresek dan aku buang ke tempat sampahyang berada di luar, bukan tempat sampah yang ada di dalam rumah.
Nanti kalau si nenek tanya, sudah makan apa belum, aku jawabnya sudah. Si nenek pun tidak curiga karena aku makannya belakangan, setelah semua makan baru aku yang makan.
Kenapa makanan itu tidak aku buang di tempat sampah yang ada di dalam rumah, itu karena si nenek suka ngorek-ngorek sampah, untuk meneliti.
Pernah suatu waktu awal aku bekerja di situ, perutku terasa lapar karena makanan sisa semalam yang nenek berikan untukku aku buang ke tempat sampah. Mumpung nenek sedang belanja di pasar dan cucunya sedang tidur, secepat kilat aku ambil mie instan di gudang. Biasanya kalau si nenek pergi, aku main kucing-kucingan dengan pembantu sebelah.
Pembantu sebelah setiap hari bisa keluar, sehingga aku bisa nitip makanan untuk persediaan. Makanan itu aku simpan di gudang biar tidak ketahuan oleh nenek.
Meskipun aku membeli makanan dengan menggunakan uangku sendiri, itu pun tidak boleh.
“Mbak, kamu kok betah kerja di situ, pembantu sebelumnya tidak ada yang betah lho, paling lama itu pun hanya setahun, malah pernah ada yang bertahan beberapa bulan saja!”
“Bener Mbak, kerja di situ tidak ada yang pernah finish kontrak, sekali kontrak kerja kan dua tahun, tetapi majikanmu ngambil pembantu berkali-kali selama tiga tahun. Ada yang dari Indonesia dan ada juga yang dari Filipina, semua pada menyerah. Itu nenek lampirmu kebangeten banget kok!” Kata beberapa teman yang kebetulan sedang libur.
Dua atau satu jam sebelum aku masuk rumah majikan, biasanya sisa waktu liburku aku gunakan untuk duduk-duduk di taman bawah rumah. Aku ngobrol sama mereka, sambil bertanya bagaimana para pembantu sebelumku.
“Sebenarnya aku kerja di sini merasa tertekan, tetapi aku tahan-tahanin aja. Ibarat sekolah, aku sedang menjalani ujian!”
“Soal ujiannya susah-susah, jadi aku harus bekerja ekstra keras untuk bisa menyelesaikannya. Semoga bisa lulus dengan predikat cumlaude. hahaha…” jawabku.
Aku sering diajak oleh nenek untuk makan siang di luar. Aku selalu ikut karena aku harus menjaga cucunya. Ke mana pun nenek pergi, cucunya selalu dibawa.
Kadang nenek makan siang di luar bersama teman ataupun saudaranya. Sebenarnya, aku tidak senang kalau diajak nenek makan siang di luar. Ujung-ujungnya nenek selalu menjelek-njelekan aku di depan mereka. Telingaku risih mendengarnya.
Aku merasa serba salah menghadapi nenek. Kalau aku melawan, itu tidak mungkin. Kalau aku diam, hatiku semakin mangkel dibuatnya. Meskipun ini terasa berat, mau tidak mau harus aku jalani. Aku harus bisa, aku harus kuat. Kalau aku finish kontrak, berarti aku lulus ujian. Ke depan aku akan lebih mudah untuk mencari pekerjaan.
Aku sudah lupa akan tujuan awal aku kerja ke Hong Kong. Dulu aku berniat untuk kuliah, tetapi sekarang aku tidak memikirkan itu. Sekarang yang aku pikirkan adalah bagaimana membiayai adik-adikku sekolah. Adikku tiga, laki-laki semua. Aku tidak mau kalau mereka hanya lulus dengan ijazah SMP.
Dua adik laki-laki ku bersekolah di SMK dan satunya lagi di sekolah pelayaran. Mereka harus lulus. Aku tidak mau mereka putus sekolah. Aku harus berjuang untuk membiayainya.
Kebutuhan keluarga sedang banyak-banyaknya. Bapakku sakit strok. Adik-adikku butuh biaya sekolah. Belum lagi kebutuhan sehari-hari.
Memang aku dibantu oleh saudara. Tetapi, mereka sekarang sudah pada menikah, sudah berkeluarga. Mereka mempunyai kebutuhan sendiri dan aku tidak boleh egois. Mereka sudah menyekolahkan aku sampai lulus SMA. Sekarang, giliran aku untuk berjuang demi keluarga. Mereka membantu, tetapi tidak seperti dulu.
Inilah yang membuat aku kuat dan bertahan meskipun kerjaanku di sini banyak menguras emosi.
Pembantu sebelumku tidak kuat dengan omongan nenek yang suka cari muka. Apa pun itu, selalu lapor ke majikan. Yang namanya anak, kadang lebih percaya kepada ibunya daripada orang lain. Majikan termakan omongan nenek.
Hari demi hari aku lalui, alhamdulillah bulan ini aku aman. Aku bisa menjalaninya. Aku harus menyiapkan mental untuk menghadapi bulan berikutnya. Begitu seterusnya sampai tibalah hari dimana aku keluar dari rumah ini.
Yapssss….aku lulus ujian, aku finish kontrak. Majikan marah karena majikan menginginkan aku untuk memperpanjang kontrak kerja. Aku tidak mau. Cukup dua tahun saja. Dua tahun, waktu yang cukup lama untuk aku memendam kesabaran. Keluar dari rumah nenek aku seperti burung yang terlepas dari sangkarnya. Seperti tahanan yang baru keluar dari lapas.
Memang sekarang aku digaji full, pun dengan uang libur dan uang libur nasional, semuanya lancar tidak ada kendala.
Ketika seorang pekerja finish kontrak, biasanya masih ada visa dua minggu untuk si pekerja mencari majikan baru. Tetapi, majikanku tidak memberikan waktu dua minggu itu kepadaku.
Karena marah ,majikan mengizinkan aku keluar dari rumah nenek pas visaku di Hongkong habis. Aku kelabakan. Hari ini visa habis, hari ini pula aku keluar dari rumah nenek.
Di lain sisi, aku bersyukur sudah finish kontrak. Tetapi, di sisi lain aku harus lari pontang-panting ke sana kemari mencari majikan baru. [bersambung]