Kumasukkan koin, segera kupencet tombol telpon. Jantungku berdebar dag dig dug tidak karuan. Yappppssss… tersambung…

“Hallo, Mbak. Assalamualaikum. Ini aku, aku di-terminate majikan. Aku sekarang ada di stasiun kereta api, tapi aku tidak tahu ini stasiun kereta api mana. Nanti dari pihak agen ada yang menjemputku. Aku disuruh menunggu di sini!” kataku terburu-buru.

Wa’alaikumussalam… Hahhh, kamu di-terminate? Sekarang coba kamu tanya ke orang yang lewat di situ, ini stasiun kereta api mana, cepetttt… nanti aku jemput!” jawab saudaraku.

“Baik!” jawabku.

Mataku celingukan, berharap ada orang Indonesia yang sedang libur lewat. Tanganku masih memegang gagang telpon. Kakiku tidak bisa tenang. Aku gelisah.

Tidak berselang lama, kulihat segerombolan orang Indonesia, mereka berjalan di depanku, mereka pasti sedang liburan.

“Mbak Mbak….. maaf mau tanya, ini stasiun kereta api mana yah?” tanyaku.

“Ohhh, ini stasiun kereta api Wan Chai, Mbak!” jawab salah seorang dari mereka.

“Baik Mbak, terima kasih banyak!” jawabku lagi.

“Sama-sama!”dan mereka pun berlalu.

Segera ku bilang ke saudaraku, “Mbak, ini stasiun kereta api Wan Chai. Aku tunggu di depan pintu B ya?”

“Oke, aku segera ke situ. Kamu jangan ke mana-mana. Kalau bisa kamu ngumpet dulu atau kamu sembunyi di tempat yang lebih aman, agar kalau agen datang, dia tidak melihatmu!” perintah saudaraku.

“Baik Mbak!”

Segera kututup telepon. Aku celingukan melihat keadaan sekitar. Aku berlalu dari tempat itu dan menuju pintu B. Aku ambil kerudung di tasku agar agen tidak mengenaliku. Aku tutupi mukaku menggunakan bagian kerudung. Kututupi sebatas hidung, kupegangi dengan tanganku.

Sekitar sepuluh menit kemudian, saudaraku pun datang. Kami tidak banyak bicara. Kami segera keluar dari stasiun kereta, mencari tempat yang aman terlebih dahulu.

Aku mengikuti langkah saudaraku. Aku dibawa menuju sebuah masjid, tidak jauh dari stasiun kereta tadi. Saudaraku dan teman-temannya menghabiskan waktu liburannya di masjid, dan disitu pula mereka ikut sebuah organisasi yang tujuannya mensyiarkan agama Islam di Hong Kong.

Aku masih teringat wejangan saudaraku ketika aku memutuskan untuk pergi merantau ke luar negeri. “Besok kalau kamu pergi merantau ke mana pun, usahakan dekatlah dengan masjid, insyaallah kita akan aman”!

Di masjid, banyak sekali para tenaga kerja wanita asal Indonesia. Kulihat mereka ada yang sedang mengaji, ada yang mendengarkan ceramah, ada yang sedang salat sunah, dan ada pula segerombol dari mereka sedang sibuk dengan laptop dan sesekali membuka lembaran kertas.

Setelah suasana lebih tenang, aku juga sudah makan dan minum, saudaraku mulai membuka pembicaraan.

Aku belum ngomong apa-apa. Aku hanya menangis dan memeluk saudaraku. Saudaraku menenangkanku.
Aku ceritakan semua permasalahanku, dan aku di posisi yang benar.

“Aku libur hanya satu hari dan aku tidak bisa menemanimu sampai besok. Sekarang aku tanya, di mana dokumen penting kamu, itu adalah dokumen yang sangat penting!” kata saudaraku.

“Semua dokumenku di tahan sama agen, Mbak. Aku tidak boleh mengambilnya!” jawabku.

“Sekarang juga, kita ke agen, ambil dokumenmu. Kalau kita tidak boleh mengambilnya, kita minta bantuan ke polisi, karena Mbak tidak ada banyak waktu, Mbak ingin membereskan yang penting dulu!” kata saudaraku.

“Hahhhh…..polisiiii !!! Aku takut Mbak kalau harus berurusan dengan polisi!”

“Kamu jangan takut. Kita di pihak yang benar. Polisi akan membantu kita!”

Aku pun nurut saja apa kata saudaraku. Kami pun berjalan menuju agenku. Tidak semua agen itu baik. Banyak juga agen di luar yang jahat, ingin memeras tenaga para pekerja yang mencari majikan.

“Biasanya di sini banyak polisi yang sedang berpatroli, mereka berjalan menyusuri jalan ini!” kata saudaraku.

Perjalanan terasa melelahkan, panas. Kami berjalan kaki menyusuri jalan beraspal.

“Nahhh…itu dia, itu ada polisi yang sedang berpatroli. Ayo kita hampiri dia!” saudaraku menggandeng tanganku.

Kami menghampiri kedua polisi itu, laki-laki dan perempuan. Saudaraku yang berani berbincang-bincang dengan polisi itu. Aku hanya berdiri di sampingnya.

Kedua polisi itu mengangguk-anggukkan kepala tanda setuju. Tempat agenku tidak terlalu jauh dari tempat kami berjumpa dengan kedua polisi tadi. Aku, saudaraku, dan kedua polisi tadi berjalan kaki menuju ke tempat dimana dokumen pentingku ditahan.

Tidak berselang lama, sampailah aku di tempat agen. Mereka para staf kantor di agen celingukan melihatku bersama polisi, termasuk si pemilik agen dan anaknya.

Setelah izin baik-baik, kami dipersilahkan duduk, tapi kami tidak duduk dan hanya berdiri.

“Aku mau mengambil paspor dia, emkoi (kumohon)!” kata saudaraku ke pemilik agen.

Semua bengong, mereka ketakutan. Tanpa ba bi bu be bo…semua dokumen pentingku diserahkan ke aku. Setelah semua dokumen penting itu berada di tanganku, kami pun permisi dan pergi meninggalkan agen, mereka si pemilik agen dan anaknya hanya terdiam dan tidak berani berkata apa-apa.

Tidak lupa, kami pun mengucapkan terima kasih kepada kedua polisi tadi. Tanpa mereka, mungkin aku tidak bisa mengambil pasport dan kontrak kerja.

Setelah mengucapkan permisi, kami pun pergi meninggalkan kedua polisi itu, mereka melanjutkan patroli dan kami melanjutkan perjalanan.

“Kamu itu harus berani melawan kesewenang-wenangan majikan dan agen nakal. Kalau kita di pihak yang benar, kita tidak usah takut, mereka harus diberi pelajaran biar kapok, biar jera!” kata saudaraku.

“Iya Mbak, tapi aku tidak punya keberanian. Coba kalau tidak ada Mbak, mungkin aku masih di ombang-ambingkan si agen nakal itu!” jawabku.

“Apakah kamu ingat sewaktu kamu PKL, sewaktu kamu dimarahin staf kantor dan guru bahasa kantonis, ingat tidak!”

“Kamu akan terus diinjak-injak kalau kamu hanya diam dan tidak berani melawan!”

“Jadikan ini sebagai pelajaran yang sangat berharga dan juga ingat! mulai hari ini, kamu harus ubah pola pikir kamu. Hilangkan semua ketakutan itu. Kita ini sedang berada di negara orang dan kehidupan di luar itu sangat keras, tidak seperti kehidupan di kampung!”

“Aku mengerti dan memahami, kamu itu masih polos dan lugu, dari SD sampai kamu lulus SMA, kegiatan dan interaksi kamu cuma berkutat di lingkungan rumah, masyarakat, dan sekolah, tidak lebih!”

“Sehari-hari kegiatanmu hanya belajar, membantu orang tua dan mengurus adik-adik di rumah. Kamu tidak pernah tahu dan mengerti betapa di luar sana banyak orang yang licik, jahat, dan sebagainya!”

“Memang belajar itu tidak harus duduk di kelas. Belajar itu bisa di mana saja, termasuk di sini, di Hong Kong!”

“Mulai hari ini, kamu harus belajar tegas, tidak boleh lembek, cengeng apalagi. Jangan takut sama majikan dan agen, kamu harus berani menggertak mereka yang sewenang-wenang, aku akan bantu kamu semampuku, oke!”

Ceramah panjang lebar saudaraku membuat pikiranku terbuka. Aku yang ibarat anak SD yang tidak punya banyak daya dan kekuatan, tiba-tiba di berikan suntikan kekuatan yang luar biasa.

Yah… pelajaran tentang arti dari sebuah kehidupan. Pelajaran sewaktu aku masih belajar di asrama, pelajaran menghadapi orang-orang yang tidak senang dan sok cari muka seperti aku di PKL-an dulu, dan juga pelajaran menghadapi orang-orang yang hanya mencari kesalahan orang lain tanpa tahu duduk permasalahannya, dan juga belajar menghadapi ganasnya fitnahan.

Aku dulu difitnah dan dilaporkan macam-macam oleh si mata sipit, sehingga omongan si mata sipit begitu dahsyat, membuat aku dicaci-maki oleh staf kantor. Aku anggap semua ini sebagai cambuk kekuatan agar aku dapat menghadapi semua kerikil tajam yang sewaktu-waktu dapat membahayakan dan menyandung setiap langkahku.

“Perjuanganmu tidak hanya sampai di sini. Kamu harus melaporkan majikan dan agenmu ke pihak yang berwajib dan mempertanggungjawabkan semua ini. Kamu harus berani. Kamu harus lawan, aku siap bantu kamu!” kata saudaraku.

“Sekarang kamu belajar berjuang sendiri. Aku pantau kamu dari jauh. Sekarang aku antarkan kamu ke shelter, di sana kamu akan tinggal sementara sampai kasusmu selesai!”

“Jangan lupa, kamu juga harus extend visa ke imigrasi Hong Kong, visa kamu sebentar lagi akan habis. Imigrasi Hong Kong biasanya akan memberikan perpanjangan waktu selama dua minggu. Kamu harus gunakan waktu itu sebaik mungkin!” Kata saudaraku.

Aku dan saudaraku berjalan ke salah satu shelter di Wan Chai, namanya shelter Islamic Union. Setelah sampai di shelter dan meminta izin tinggal, saudaraku pun berpamitan pulang. Pulang ke rumah majikan dia.

Keesokan harinya, setelah sarapan dan menyiapkan dokumen, aku berjalan ke imigrasi Hong Kong untuk extend visa. Aku berangkat lebih awal karena kalau terlalu siang antriannya sangat panjang.

Jarak antara shelter dan imigrasi Hongkong tidaklah terlalu jauh, sama-sama di daerah Wan Chai. Setelah urusan visaku selesai, tanpa harus menunggu lama, aku pun harus gerak cepat. Aku mendatangi sebuah lembaga sosial yang ada di Hong Kong. Aku akan meminta bantuan mereka untuk menyelesaikan kasusku.

Dengan melihat alamat yang tertera, aku tidak begitu kesulitan mencari tempatnya. Aku pun sampai ke tempat tujuan. Sesampainya di sana, aku pun mengutarakan maksud kedatanganku. Aku menjelaskan semuanya. Aku dilayani dengan baik dan ramah.

“Jadi, yang harus kamu tuntut ke majikan kamu adalah kamu diberhentikan secara sepihak, gaji yang dibawah standar, uang ganti libur setiap minggunya, dan uang ganti untuk hari libur nasional!” Kata dia, seorang pria sedikit gendut, berkacamata dari Indonesia yang bertugas melayaniku.

Di sini, di lembaga ini, tidak hanya melayani tenaga kerja dari Indonesia saja, tetapi ada juga yang dari Filipina dan India. Di sini juga ada yang bertugas menerjemahkan bahasa, tergantung dari mana asal mereka dan bahasa apa yang digunakan.

“Sesuai laporanmu, aku akan membuat surat panggilan untuk majikanmu, untuk melakukan mediasi. Kalau mediasi ini tidak berhasil, kamu bisa membawa kasus ini ke pengadilan!”

“Nanti, dari pihak lembaga lah yang akan mengirimkan surat ini untuk mantan majikanmu. Kamu tinggal menunggu panggilan saja. Nanti majikan dan kamu akan bertemu di kantor pemerintahan!” kata dia lagi.

“Baik, terima kasih banyak!” jawabku.

*

Beberapa hari kemudian, aku mendapat surat yang isinya aku dan majikan akan bertemu dan melakukan mediasi. Aku yang pernah berinteraksi dan pernah satu rumah dengan majikan, membuat aku sedikit gugup. Tetapi, sesuai wejangan saudaraku, aku tidak boleh takut karena aku di posisi yang benar. Jangan tunjukkan kelemahanmu, tunjukanlah keberanianmu.

Hari mediasi pun tiba. Aku, majikan, dan seorang pendamping dari salah satu staf kantor pemerintahan duduk dalam satu meja.

Aku menceritakan semua permasalahanku kepada sang pendamping. Sang pendamping pun dengan saksama mendengarkan ceritaku. Sesekali mataku tertuju pada mantan majikanku.

Mantan majikanku tidak berani menatapku. Dia selalu memalingkan mukanya dan sesekali dia menunduk. Mukanya terlihat sedikit memerah, bahasa tubuhnya pun mengisyaratkan bahwa dia memang bersalah.

“Jadi bagaimana, kalian mau berdamai atau lanjut ke pengadilan?”

“Kalau mau berdamai, majikan harus memberikan uang ganti rugi sesuai dengan isi tuntutan si pekerja!”
Kata sang pendamping.

Awalnya majikan tidak mau membayar sejumlah uang ganti rugi tersebut karena majikan pun punya bukti-bukti kuat. Mantan majikanku membawa sejumlah kertas yang isinya adalah bukti gajikku setiap bulan, di situ tertulis aku digaji dengan gaji full, bukan gaji di bawah standar. Dan disitu terpampang dengan jelas tanda tangannku, asli tanda tanganku bukan fotokopi.

Aku tidak terima, aku tidak pernah merasa menandatangani kertas itu. Selama bekerja di rumahnya, aku tidak pernah menandatangani apa pun, termasuk ketika aku gajian. Aku mau kasus ini dilanjutkan ke pengadilan.

Ke pengadilan, berarti nama mantan majikanku ikut terseret dan ini akan merugikan dia sendiri. Namanya ikut tercantum dalam daftar nama majikan yang bermasalah dengan mantan pekerjanya.

Akhirnya mantan majikanku pun berdamai. Dia mau mengganti semua tuntutanku, meskipun itu pun tidak sebanyak yang seharusnya, dan kalaupun aku melanjutkan kasus ini ke pengadilan, akan memakan waktu yang cukup lama juga, dikarenakan bukti-bukti tanda tangannku yang asli. Dan akan membuang-buang waktuku juga.

Inilah salah satu cara licik agen nakal. Teringat pertama kali datang ke agen, aku dipaksa menandatangani sejumlah kertas kosong dalam jumlah yang banyak, ternyata inilah maksud dari semua itu. Ini sebagai alat dan taktik si agen nakal untuk berjaga-jaga kalau sewaktu-waktu si pekerja tidak terima dan kemudian menuntutnya.

Aku semakin paham sekarang. Dan setelah itu, aku memutuskan pulang kampung. Sebenarnya, aku akan mencari majikan lagi, tetapi saudaraku melarangnya, karena dia akan menikah dan aku disuruh pulang terlebih dahulu. [bersambung]

(Visited 49 times, 1 visits today)
Avatar photo

By Sarmini

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.