Lagi-lagi saya mendapatkan bahan ini dari sebuah coretan di medsos facebook, dengan akun Riwoko Sedjati dalam group Kawruh Jawa. Disitu tertuang sebuah judul “Bajingan” terbaca singkat, nyeleneh namun penuh makna yang luput dari tangkapan nalar kita sebagai manusia terpelajar.

Dari guratan itu tertuang kata Bajingan adalah sebuah istilah kata yang muncul di tanah Jawa untuk menunjuk seorang pengendara (sopir) gerobak sapi.

Lantas kenapa istilah bajingan kemudian bergeser menjadi sebuah kata makian? Padahal kata itu adalah merujuk sebuah profesi seseorang?.

Dahulu kala pada tahun 1940 an, di daerah Banyumas sarana transportasi sangat sulit untuk ditemui. Masyarakat yang ingin berkegiatan di kota seperti berdagang, atau hanya mejeng biasanya menggunakan jasa gerobak sapi (cikar).

Pada saat itu gerobak sapi merupakan satu satunya alat transportasi yang bisa diandalkan oleh masyarakat pinggiran untuk membawa mereka ke kota, selain berjalan kaki.

Namun kedatangan cikar yang disopiri oleh Bajingan ini tidak menentu, bisa siang hari, pagi hari, bahkan tengah malam. Karena ketidakpastian waktu tersebut, masyarakat yang ingin numpang gerobak sapi terpaksa jalan kaki jika mau bepergian.

Nah.. Karena itulah keluar kalimat sedikit sindiran atau umpatan seperti ini: “Bajingan suwe tenan to tekane!” (bahasa Jawa) yang artinya: “Bajingan lama sekali sih datengnya”.

Dari situ Bajingan mengalami pergeseran makna menjadi kata umpatan. Bahkan kebencian sejuta makna terhadap seseorang.

Dahulu, umpatan bajingan hanya digunakan sebagai analogi atas keterlambatan sesuatu atau seseorang, misalnya “Seka ngendi bae kowe, suwe temen to kaya bajingan” yang artinya: Darimana saja kamu, lama sekali seperti bajingan.

Namun pada masa sekarang, bajingan menjadi kata umpatan, makian, kebencian yang lebih umum dan tidak merujuk pada kekesalan mengenai keterlambatan atas sesuatu.

Terlepas dari salah kaprah tidaknya torehan diatas, mari kita ambil makna terkandung dalam mengisi sejarah budaya bangsa sendiri, ambil sisi terbaiknya dan buang jauh-jauh jeleknya. Sebab, kesempurnaan mutlak milik Allah SWT, sementara manusia tumpukannya khilaf dan dosa.

(Visited 73 times, 1 visits today)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

%d blogger menyukai ini: