Oleh: Ruslan Ismail Mage*

Setiap pemimpin secara personal itu biasa-biasa saja, terlebih kalau berasal dari orang biasa, dari golongan biasa, dari keluarga biasa, hidup sederhana tak berlebih. Namun, secara kelembagaan, pemimpin dari golongan biasa, kelas paling bawah sekalipun, seketika akan menjadi luar biasa, dihormati kedudukan, dan ditinggikan derajatnya.

Hal ini disebabkan jabatan kepemimpinan apa pun memiliki roh yang akan bergerak secara alami membesarkan wibawanya, meninggikan derajatnya, siapa pun orang yang mendudukinya. Jadi, yang memiliki roh kekuasaan dan pengaruh itu adalah jabatan kepemimpinannya, bukan personalnya.

Siapa pun pemimpin yang mampu memelihara dan menjaga roh jabatannya akan dirindukan dan dilindungi rakyatnya. Menjaga roh jabatan kepemimpinan bukan dengan keangkuhan komunikasi, kesombongan sikap, memasang tameng wibawa, menjaga jarak dengan rakyat biasa, atau meninggikan hati.  

Menjaga roh jabatan adalah dengan memeluk kemanusiaan, mengurus kehidupan. Memeluk kemanusiaan berarti merasakan apa yang dirasakan rakyat bawah yang rentang kemanusiaannya dijajah oleh sistem yang tidak adil. Mengurus kehidupan berarti sudah lepas dengan hidupnya sendiri, sehingga waktunya tercurah untuk rakyatnya.

Tidak banyak pemimpin yang mampu menjaga dan merawat roh jabatan kepemimpinan dengan merendahkan hatinya. Satu di antara sedikit itu adalah Bupati Pesisir Selatan, Bapak Rusman Yul Anwar. Dalam setiap kesempatan melaksanakan aktivitas kesehariannya, baik sebagai pemimpin maupun sebagai makhluk sosial, tidak pernah mau membebani orang-orang yang ada di sekitarnya.

Tidak jarang orang-orang yang mengikuti perjalananya menelusuri kampung-kampung terpencil menemui rakyatnya, merasa terheran-heran melihat perilaku bupatinya melakukan hal-hal kecil seperti menenteng sendiri sepatunya melewati jalan becek atau melompat kecil dari batu ke batu menyeberangi sungai. Padahal, sebagai penguasa ia bisa saja memerintahkan orang lain menenteng sepatunya. Bahkan, orang yang mengikutinya akan berebut menenteng sepatunya.

Namun, hal itu tidak dilakukan karena menyadari benar bahwa sepatu itu tempatnya paling rendah, alas kaki yang dipakai menginjak tanah. Menurutnya, buta nilai kemanusiaan kalau ia harus merendahkan orang lain dengan menyuruh menenteng sepatunya, sementara dirinya masih sehat dan kuat untuk melakukan semua itu.

Benar kata orang bijak, sekaya-kaya hartanya, sebanyak-banyak gelar akademiknya, dan setinggi-tinggi jabatan pangkatnya, semua tidak akan berarti bagi kehidupan jika tidak merendahkan hati.” Kalau Sang Bupati Pesisir Selatan Bapak Rusman Yul Anwar masih menenteng sepatunya sendiri di tengah rombongan, itu karena sudah menanam hatinya di Bumi. Buahnya akan dirindukan rakyatnya. Itulah salah satu sudut kemandirian sang bupati.

[Bersambung]

*Akademisi, inspirator dan penggerak, penulis buku-buku motivasi dan kepemimpinan.

(Visited 503 times, 1 visits today)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

%d blogger menyukai ini: