Oleh : Hamsah*
 Kepercayaan adalah sesuatu yang niscaya bagi segenap individu di muka bumi. Dari sebuah kepercayaan akan melahirkan tata nilai yang akan menggerakkan nalar kehidupan masyarakat. Karena kepercayaan itu menjadi kebutuhan maka tidak sedikit kepercayaan itu dibangun dan diinternalisasikan melalui komunikasi budaya sehingga membentuk tata nilai yang dapat menjadi falsafah hidup yang pada akhirnya menjadi spirit pembebasan.

Masyarakat Bugis pada khususnya memiliki sistem tata nilai yang menjadi spirit bagi generasinya dengan filosofi Mattola Palallo. Mattola Palallo dapat diartikan seorang anak bisa tumbuh dan berprestasi melebihi kemampuan orang tua (Baik dari segi pekerjaan, pendidikan dan tingkat kesejahteraan). Tentu istilah ini tidak hadir begitu saja. Namun, pasti dilatarbelakangi oleh histori geoekonomi masyarakat, di mana dengan keterbatasan ekonomi menyebabkan masyarakat tidak semuanya pernah mengenyam pendidikan formal.

Bagi keluarga yang sadar akan ketidakberdayaan tersebut, maka  filosofi mattola palallo akan senantiasa didengungkan melalui nyanyian dengan harapan seorang anak mampu tumbuh dewasa dan memiliki kecakapan melebihi orang tuanya. Dalam hal ini, semoga kelak dewasa ia bisa bekerja tidak seperti yang dikerjakan oleh orang tuanya, yaitu seperti bertani misalnya. Meskipun bertani itu adalah hal yang mulia.

Mattola palallo adalah ungkapan yang selalu disampaikan orang tua kepada anaknya yang berfungsi agar anak dapat belajar, mau bersekolah setinggi-tingginya kemudian bekerja dengan baik. Tujuannya agar seorang anak dapat membawa manfaat bagi keluarga dan masyarakat pada umumnya, dan bisa melampaui arus prestasi orang tuanya. Hal tersebut akan menjadi kebanggaan tersendiri bagi orang tua jika anaknya berhasil menorehkan prestasi atau meningkatkan taraf ekonomi keluarga.

Semangat mattola palallo jika dikaitkan dengan pendidikan adalah suatu semangat para orang tua yang berusaha melatih emosi anak dalam membentuk pengetahuan, sikap, dan keterampilan, sebagaimana dengan taksonomi pendidikan Bloom (perubahan pada rana kognitif, afektif dan psikomotorik). Anak-anak dilatih untuk disiplin mental dalam mencari ilmu, bukan hanya memenuhi rasa ingin tahu intelektual atau hanya berorientasi pada kepentingan materi dunia, tetapi juga mengembangkan rasio, membentuk akhlak mulia dan mewujudkan kesejahteraan keluarga dan baik secara moral dan spiritual.

Oleh karena itu, seyogyanya semangat mattola palallo tidak sebatas nilai spirit bagi orang Bugis, orang desa atau orang menengah ke bawah. Tetapi jauh lebih bermakna jika nilai mattola palallo ini dapat dimiliki oleh kalangan masyarakat kota atau kelas menengah ke atas. Ibaratnya, orang kota dan kelas menengah ke atas akan lebih mudah mendapat akses untuk jauh lebih berhasil dan bisa memberikan kemanfaatan yang lebih luas kepada masyarakat.

Namun , sebuah utopia dengan kegandrungan perkembangan teknologi menjadikan sebagian generasi, baik dari kalangan pedesaan maupun perkotaan yang harus menyesal karena keterlenaan dengan tawaran manis dari perkembangan zaman, sehingga lupa menyiapkan diri untuk menjadi lebih baik dari keadaan yang sebelumnya. Anak petani tidak mampu melampaui pekerjaan petani, anak jenderal tidak mampu melampaui jenderal, anak pengusaha tidak mampu meneruskan dan mengembangan usaha keluarga, anak pejabat tidak mampu menjadi pejabat, dan lain-lainnya. Meskipun ini kasuistik dan bisa jadi juga banyak yang sebaliknya.

Hal demikian juga sejalan dengan apa yang diungkapkan oleh Nietzsche seorang filsuf Jerman bahwa untuk menjadi murid dari seorang guru, maka kita harus berbeda dari guru. Mungkin ini juga yang diharapkan dari semangat mattola palallo, hendaknya seorang anak mampu berbeda dari aspek pekerjaan dan pengetahuan (nilai lebih) dari orang tua.

Bagi penulis, spirit mattola palallo bukannya suatu yang terlampau klasik. Namun, betul-betul masih menjadi ingatan yang terus melekat dan terus menjadi spirit dalam perjalanan mendapatkan pendidikan sampai meniti karir.  Oleh karena itu, melalui filosofi mattola palallo, diharapkan mampu memotong garis ketidakberdayaan, dan tumbuh sebagai pelopor pembebasan terutama membebaskan masyarakat dari buta huruf dan buta hati.
 
*Akademisi Universitas Negeri Manado

(Visited 407 times, 7 visits today)
Avatar photo

By Hamsah

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

%d blogger menyukai ini: