Oleh: Ruslan Ismail Mage*
“Lebih baik terkesan bodoh daripada melawan berdebat orang yang menggunakan Logical fallacy yang memperkuda ilmunya”. Quote ini saya tulis beberapa tahun lalu menyikapi semakin banyaknya silang pendapat atau debat kusir di media sosial yang melibatkan orang yang secara akademik memiliki pendidikan tinggi tetapi gemar membungkus kebohongan dengan narasi yang terbalik.
Dalam catatan sejarah lahirnya bangsa besar salah satunya karena kaum terdidiknya tumbuh subur bersatu padu menjadi salah satu pilar bangsa yang menyuarakan keadilan dan kesetaraan. Sebaliknya, runtuhnya sebuah bangsa salah satunya juga karena kaum terdidiknya mengingkari nilai-nilai keilmuannya untuk kepentingan diri sendiri.
Kondisi keruntuhan sebuah bangsa, sesungguhnya sudah dijabarkan oleh Ali Syari’ati seorang sosiolog revolusioner Iran yang terkenal dan dihormati karena karya-karyanya dalam bidang sosiologi agama. Ia dikenal sebagai salah satu cendekiawan Iran termasyhur abad ke-20. Ali Syari’ati mengambil iluastrasi dari jaman Nabi Musa bahwa salah satu variabel hancurnya sebuah negara disebabkan oleh kaum terdidiknya yang menggunakan ilmunya untuk kepentingan dirinya sendiri.
Pada jaman Nabi Musa dikenal seorang ternama bernama Haman. Disebut arsìtek bangunan tertinggi sepanjang masa, Ilmuwan segala urusan. Namun kecerdasannya hanya digunakan untuk kepentingan dirinya sendiri dan kelompoknya. Menggunakan ilmunya untuk melakukan keburukan mendukung ke dzoliman, ia buta kebenaran, anti kejujuran, dan menginjak keadilan. Segala kepintaran yang dimiliki dipergunakan hanya untuk mencari peruntungan diri. Norma agama, hukum, kesusilaan, dan kesopanan tidak berlaku baginya untuk memuaskan diri sendiri.
Lalu apakah ilmuwan seperti Haman di zaman Nabi Musa ini masih ada sampai sekarang? Hampir bisa dipastikan kalau belum bisa dipastikan, mental Haman sudah merasuki jiwa dan pikiran sebagian kaum terdidik bangsa ini. Dalam konteks kekinian semakin tidak sulit untuk menemukan kaum terdidik bangsa ini yang mengabaikan kebenaran, kejujuran, dan keadilan. Bahkan tidak sedikit orang bergelar akademik tinggi tetapi mengabaikan norma dan memupuk terus mental korupnya.
Satu dasawarsa terakhir saya sudah berteriak melalui karya buku dan di forum-forum pelatihan investasi politik khususnya memasuki tahun politik bahwa, “Kalau ada yang pantas disalahkan akibat terjadinya salah pengelolaan negara, pemilu hanya melahirkan pemimpin dan politisi bermental korup, maka yang pantas disalahkan adalah kaum terdidik yang melakukan dua hal. Pertama, berlomba-lomba menjadi propaganda politik atas nama kapital. Kedua, hanya diam membisu membiarkan rakyat selalu dijadikan obyek politik setiap musim pemilu.
Lebih celakanya lagi, virus Haman ini terus menjalar ke hampir semua zona kehidupan. Tidak hanya berkembangbiak di zona politik, tetapi menerobos masuk ke pagar institusi pendidikan. Karena itu, mencari akademisi yang lebih “memuja pendapatan daripada pendapat” tidak sesulit mencari jarum dalam tumpukan jerami. Apa jadinya kalau pengelola institusi pendidikan lebih mementingkan pendapatan daripada pendapat, kaya pendapatan tetapi miskin gagasan dan konsep visioner pengembangan institusi. Kalau ini yang terjadi berarti pilar bangunan pendidikan sudah rapuh dimakan rayap berjubah intelektual.
Saya menyebut kaumnya Haman yang masih banyak gentayangan di dunia pendidikan, yang kemudian bermetamorphoses menjadi rayap berjubah intelektual ini, dengan sebutan kaum terdidik yang menikmati memperkuda ilmunya. Menjadikan gelar akademik sebagai tunggangan untuk dipacu mencari peruntungan diri, tanpa memperhatikan kepentingan orang lain. Inilah kegagalan paling dramatis orang terdidik memaknai himbauan Tan Malaka jauh sebelum kemerdekaan, bahwa sistem pendidikan bangsa ini harus dikelola untuk “Mempertajam pikiran, melembutkan akal budi dan memperhalus perasaan”. Semoga pembaca tulisan ini tidak termasuk kaum terdidik yang memperkuda ilmunya.
*Akademisi, inspirator dan penggerak, penulis buku-buku motivasi