Oleh: Ruslan Ismail Mage*

Pada awal proses demokratisasi bangsa ini pasca reformasi yang dimotori mahasiswa, kehidupan berbangsa bagi pejuang kebebasan dianalogikannya laksana berdiri di atas tanah gersang di musim kemarau puluhan tahun tiba-tiba diguyur hujan. Lalu tumbuh dan bertumbuhlah dengan subur pohon-pohon kebebasan di setiap sudut dan ruang bangsa ini. Rakyat yang selama Orde Baru merasakan bagaimana penguasa memandulkan fungsi-fungsi hampir semua institusi demokrasi, perlahan mulai merasakan suasana demokrasi.

Proses transisi demokrasi pasca reformasi itulah menjadi perhatian beberapa institusi baik dalam maupun luar negeri. Menjadi perhatian, karena dalam proses transisi demokrasi itu masih ada dua kemungkinan bisa terjadi. Apakah demokrasi berjalan maju ke depan atau justru sebaliknya mundur ke belakang ke arah sebelumnya. Karena itu, proses transisi yang rawan itu perlu dikawal agar selamat sampai negara demokrasi sesungguhnya. Dalam konteks itulah lembaga survei hadir di Indonesia untuk menjadi salah satu bagian dalam mengawal demokrasi berjalan dengan baik.

Karena itu, lembaga survei harus bersifat independen, non partisan atau tidak berafiliasi ke salah satu kelompok kepentingan, profesional, dan pro demokrasi. Dana operasionalnya pun waktu itu jelas sumbernya untuk melakukan survei tentang konsolidasi demokrasi. Namun dalam perkembangannya lembaga survei yang bermunculan di mana-mana, terlebih jelang pemilu mulai diragukan independensinya. Ada keraguan publik dana survei yang bisa berjumlah milyaran itu didapat dari mana. Keraguan itu semakin membesar karena lembaga survei selama ini tidak pernah berkenan mengumumkan ke publik biaya surveinya dari mana.

Celakanya lagi, tidak jarang hasil survei yang diumumkan ke publik berbeda dengan kenyataannya di lapangan. Pilkada DKI 2017 adalah contoh nyata bagaimana lembaga survei dibungkam.
Dikutip dari republika.co.id ada lima survei pada Pilkada DKI 2017 yang hasil surveinya dijungkirbalikkan oleh Anies Rasyid Baswedan. Hasilnya bertolak belakang dengan kenyataan di lapangan. Kelima lembaga survei itu Poltracking pimpinan Hanta Yuda, Indikator Politik Indonesia pimpinan Burhanuddin Muhtadi, Charta Politika pimpinan Yunarto Wijaya, Lingkaran Survei Indonesia (LSI) pimpinan Denny JA, dan Lembaga Survei Indonesia (LSI) pimpinan Dodi Ambardi.

Kelima lembaga survei papan atas Indonesia ini hasil survei putaran pertama Pilkada DKI 2017 seperti kompak menempatkan pasangan Anies-Sandi di urutan buncit dari tiga pasangan yang berlaga. Kalau hasil survei kelima lembaga ini dikumpulkan dan dibuat angka rata-ratanya waktu itu, diperoleh hasil elektabilitas pasangan Agus-Sylvi 29,58 persen, Ahok-Djarot 27,2 persen, dan Anies-Sandi 23,82 persen. Dari hasil kelima lembaga survei itu berarti Anies gagal masuk putara kedua, tetapi hasilnya di putaran kedua Anies-Sandi menang telak lawan Ahok-Djarot.

Dari kasus itu rasanya cukup data untuk mengatakan hasil survei tidak bisa terlalu dipercaya. Lalu bagaimana prediksi survei menuju Pemilu Presiden 2024 nanti? Dari beberapa lembaga survei papan atas yang turun gelanggang lagi melakukan survei, sudah mulai nampak ada fenomena kalau cara lama pada Pilkada DKI 2017 lalu hendak dipakai lagi. Artinya potensi kesalahannya kemungkinan cukup besar lagi.

Hampir semua lembaga papan atas itu kalau merilis hasil survei capres 2024 menempatkan elektabilitas capres dari Koalisi Perubahan untuk Persatuan Anies Rasyid Baswedan selalu di urutan ketiga dibawah Ganjar dan Prabowo. Kalaupun hasil survei berubah maka yang berubah posisi satu dan dua. Kalau Ganjar di posisi pertama, Prabowo pasti kedua, kalau Prabowo pertama, pasti Ganjar kedua. Anies tidak bergeser posisinya buncit urutan ketiga.

Memaknai hasil survei capres 2024 akhir-akhir ini, pertanyaan budayawan Sujiwo Tejo di acara ILC beberapa waktu lalu menarik di renungi. Katanya, mana yang bohong? Penjegalan Anies atau hasil survei Anies selalu berada diurutan ketiga? Karena kalau Anies betul-betul nomor tiga semestinya tidak perlu di jegal. Yang hoaks berita penjegalan, berarti benar survei itu seharusnya Anies memang di atas karena itu harus di jegal, atau sebetulnya yang hoaks itu survei sehingga Anies di atas maka harus dijegal.

Untuk menjawab pertanyaan budayawan yang dikenal lantang menanggapi berbagai isu terkini di Indonesia ini, tidak perlu menggunakan logika tingkat tinggi. Logika sederhana pun bisa memahaminya, bahwa kalau hampir semua hasil survei selalu menempatkan Anies di urutan ketiga, lalu buat apa ada gerakan menjegal dengan berbagai macam cara. Publik tidak bisa digiring pendapatnya bahwa kasus Partai Demokrat yang diobok-obok kedaulatannya tidak ada kaitannya dengan pencapresan Anies. Publik pun tidak bisa dikanalisasi pikirannya bahwa perpanjangan jabatan ketua KPK tidak ada hubungannya dengan pencapresan Anies. Publik pun tidak bisa diajarkan bahwa hasil survei capres itu murni hasil kerja profesional, tanpa pesanan yang membiayai. Tidak salah juga mungkin kalau mengatakan mempercayai hasil survei di era kapitalisasi politik ini adalah suatu kekeliruan. []

*Akademisi, inspirator dan penggerak, penulis buku-buku politik dan motivasi

(Visited 43 times, 1 visits today)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.